Simon Moshe, Memilih Jalan Religi dan Politik
Oleh. Muhadam Labolo
Tak ada satupun kawan Pasopati yang menyangka, mantan Polisi Praja klimis itu memilih profesi yang terkesan kontradiktif. Profesi diametral itu Ia jalani sebagai penganjur rohani dan politisi. Simon Moshe Maahury sadar betul dirinya adalah mahluk Tuhan sekaligus mahluk politik. Ia seakan mewakili Tuhan di langit sekaligus merepresentasikan manusia di bumi.
Simon pernah sebarak di Sumbar Atas. Darma C2. Binaan pengasuh Rene Renaldy, Sekda Kayong Utara. Seangkatan maklum, bagaimana anggota barak itu bisa keluar hidup-hidup di tengah tempaan luar biasa. Namun semua jadi indah bila sisi baiknya dapat di petik. Tanpa melupakan kelamnya masa lalu. Sejarah orang besar selalu begitu, tak ada yang mulus sampai puncak.
Simon Polpra tangguh. Mungkin terbiasa hidup dikampungnya yang keras, Maluku. Ia rajin membraso dan menyemir sepatu. Butuh waktu sejam sebelum tidur. Kadang Ia masih menguapi emblem lewat hawa segar dari mulut, agar di gosok makin mengkilap. Semua lambang-lambang kesatuan itu Ia pandang dengan puas sebelum pulas karena kelelahan.
Ia hidup dengan standar idealisme Polpra. Mobilitasnya hanya barak, menza, dan lapangan parade. Perdupra acuannya. Di luar barak tampak kokoh, wibawa, dan necis. Di dalam barak lain cerita. Mereka tetap saja manusia biasa. Hidup bersama intel (Indomie Telur). Ia termasuk yang disegani, diantara sekian Polpra yang rata-rata ditakuti yunior.
Tahun 1999 saya bertemu kembali di IIP. Simon memboyong istri dan anak balitanya. Mereka kontrak di sekitar kampus. Di Jakarta Ia mengalami pencerahan akademik yang luar biasa. Tak peduli soal braso dan semir lagi. Kami rajin diskusi soal buku terbaru, dan isu-isu politik-pemerintahan. Saya langganan hutang di toko buku Prof. Djo. Simon sering pinjam dan fotocopy.
Waktu menggantikan Irfan Rusli Sadek sebagai ketua senat, saya sering di undang NGO kerjasama dengan Pemda Jakarta. Saya dan Simon dapat projek sosialisasi dewan kelurahan di seluruh kecamatan. Honornya bagi dua. Bagian saya di tabung di kantor pos. Punya Simon mungkin buat bayar kontrakan dan beli susu. Entahlah. Yang jelas, kesulitan hidup kami sehari-hari teratasi.
Usai sekolah, Ia kembali ke Maluku Barat Daya. Menjadi camat di Wetar. Pulau terluar di Laut Banda. Berbatasan dengan Timor Leste. Kecamatannya banyak mendapat fasilitas sebagai beranda negara. Dengan sumber daya itu, Ia percaya diri menjalankan politik tanam paksa seperti yang dipraktekkan Van Den Bosch. Alhasil, setiap rumah kini punya 100 Pohon Kelapa dan 100 Pohon Jambu Mente yang di ekspor ke Makassar.
Pernah sekali Ia dinas ke Jakarta. Mampir di flat dan mengajak ke Mal Cilandak Town Square. Simon tak hanya ajak makan siang, juga memaksa saya belanja macam-macam. Rasanya saya sedang ikut acara reality show, dapat uang kaget. Katanya, “dulu kitonk dua pernah hidup susah di IIP, skarang kitonk dua nikmati sadiki to.” Ia tertawa puas.
Beberapa tahun menjadi camat dan kepala kepegawaian, Ia dekat dengan Bupati dan Gubernur Maluku. Relasi itu memberinya akses dengan para politisi. Simon bertarung dalam pilkada sebagai calon wakil bupati. Kekalahan kedua pasca pilkada tak menyurutkan langkahnya maju ketiga kalinya dalam posisi sebagai kepala daerah. Ia kalah sekaligus resain sebagai PNS.
Saya bantu menyiapkan visi dan misinya. Mendampingi sampai ke MK. Semua urusan politiknya di Jakarta tak sepenuhnya saya bisa hadiri. Kunci mobil saya pinjamkan kemanapun Ia butuhkan. Ia punya semangat yang terus menyala. Bangkit dan terus mengayuh. Kini Ia bicara tak lagi seperti mengambil apel pagi untuk Mudapraja, tapi kaya akan makna firman Tuhan.
Saya kagum mentalitas Simon dalam arena politik. Meski mimpinya belum terwujud, Ia tak letih dan patah arang. Hidupnya berlanjut sebagai pengkhotbah dan anggota Partai Buruh. Simon nomor urut 6 caleg DPRD MBD tahun 2024. Ia menyelesaikan pendidikan master teologi hingga doktoral. Tiap kali diklat religi di Bogor, Ia tak lupa mampir di rumah dinas. Sekedar kangen, tertawa lepas mengingat masa-masa pandir sebagai praja.
Simon punya mimpi besar tentang pemerintahan. Ia membayangkan kampung halamannya dipimpin seorang Pamong yang tak hanya mengerti soal pemerintahan, juga digerakkan oleh spirit religiusitas. Dengan begitu pemerintahan dapat dipandu, dan dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan inklusif. Dalam realitas itu, dimanifestasikan lewat pemimpin yang adil dan bijaksana
Komentar
Posting Komentar