Selamat Jalan Astha Brata Pujangga

Oleh. Muhadam Labolo

Kemaren, 13 Januari 2024, pukul 11.30, selesai mengajar di pasca sarjana, saya buka whats up. Mas Didik Chusnul Yakin, wafat. Terbayang wajah Widya, istrinya, walau belum yakin. Saya coba mengontak kawan-kawan di Mojokerto. Ada Yuliane, Zaqqi, dan Melok. Ketiganya sibuk menghibur Widya. Setelahnya, Zaqqi dan Melok mengklarifikasi. Benar, beliau telah wafat.

Mas Didik punya kenangan di Manglayang. Saya bukan kader pendidikan, kader bintalroh. Mentor saya Yosep Nugraha, yang sekarang jadi Kadis Infokom Kabupaten Bandung. Saya awalnya ingin magang di seksi pendidikan, ikut Rahmat Fajri. Seksi ini lebih sibuk dari sekedar urusan majalah abdi praja. Mereka punya akses ke bidang pengajaran.

Waktu Mas Didik beri arahan pengkaderan di Plaza Menza, saya pengen menjajal kemampuan menulis. Saya ikut memisahkan diri dari barisan. Mencatatkan nama di seksi pendidikan. Kami kumpul di sayap kanan. Mas Didik dan anggotanya melakukan pengecekan satu persatu.

Salah satu daya tarik di seksi itu, Mas Didik terlihat cerdas dari orasi pendek saat mobilisasi. Kecepatan bicaranya terukur, isinya jelas, suaranya ringan, alis matanya sesekali mengatup cepat beriringan dengan bicaranya yang lugas. Maklum, seksi pendidikan isinya kader yang tak hanya cerdas kognisi, juga psiko dan afeksi.

Saya di belakang kelompok kecil itu. Berharap di uji Mas Didik. Rupanya yang datang senior asal Lampung. Saya di ajak berbahasa Inggris. Dengan kaku di balas sependek mungkin. Mereka rileks, walau Mudapraja kesulitan merangkai conversation dalam situasi serba darurat saat itu. Di depan saya menjawab terbatas, yes or no.

Mas Didik mengarahkan tugas-tugas rutin seksi pendidikan. Salah satunya, bagaimana menangani Majalah Abdi Praja. Ia salah satu editornya. Menulis disitu tentu kebanggaan tersendiri, seperti Dwi Budi dan Mas Teguh yang kelak menggantikannya sebagai Kasi Pendidikan.

Mas Didik menjadi dirigen di seksi itu. Ia di lantik dengan tali kurt kuning. Duduk di meja makan bersama fungsionaris lainnya. Ia membawahi kader terbaik yang urusannya mengembangkan gagasan dalam bentuk narasi, diskusi, seminar, bahkan utusan debat di luar kampus bila sewaktu-waktu ada undangan. Ia mentri pendidikan.

Ketika menyusun laporan akhir, Ia memilih Prof. Soeharjono sebagai pembimbing satu. Salah satu dosen yang dihindari bukan karena killer. Soeharjono dosen kutu buku. Ia pernah direktur APDN Malang. Biasa mengambil apel dengan muatan berat hingga mengambil waktu panjang. Soeharjono wafat akibat kecelakaan tunggal.

Bersama pembimbing duanya, Ondo Riyani, Mas Didik menginisiasi dana untuk almarhum Soeharjono. Ia termasuk praja yang sangat disiplin, kreatif dan tak bisa diam. Segala sesuatu sebisanya dikerjakan saat itu juga. Ia tak suka menunda pekerjaan. Apalagi tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Semua diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Mas Didik pernah bercerita. Ia sekolah di Manglayang bukan sekedar ingin jadi pemimpin. Alasan praktisnya, ingin memberi peluang buat adik-adiknya yang masih kecil untuk sekolah. Ia sebenarnya terdaftar di perguruan tinggi bagus di Surabaya. Demi meringankan beban orang tua, Ia merelakan sepertiga semester yang telah dilaluinya. Ia masuk STPDN yang gratis.

Akumulasi kognisi, psiko, dan afeksinya tanpa disadari melahirkan prestasi tertinggi. Ia meraih astha brata di angkatan Pujangga. Kepiawainnya mengelola seksi pendidikan tak diragukan lagi, bahkan mampu melahirkan astha brata di angkatan 04. Sebagian besar anggota seksi itu, kini banyak mengambil jalan sebagai widyaiswara dan dosen di perguruan tinggi.

Ketika Mas Didik tugas di Mojokerto, Ia mulai sebagai kasubbag, kabag, camat, kepala dinas, asisten, hingga plt sekda dan bupati beberapa hari. Kinerjanya merepresentasikan apa yang selama ini tumbuh dan berkembang dalam diri. Kerja keras dan kinerja tinggi. Ia hampir sulit dijumpai karena kesibukan melayani pimpinan. 

Sebagai Pamong, Mas Didik punya wawasan tentang banyak hal, sekalipun Ia sendiri tak pernah menjadi kadis pendidikan. Ia pernah menggawangi dinas kesehatan dan lingkungan hidup. Urusan yang sepintas tak linier dengan kompetensinya. Tapi demikianlah esensi Pamong. Tau sedikit tentang banyak hal, tau banyak hal walau sedikit (generalist specialist, specialits generalist).

Dua tahun lalu Ia menapaki karier di level provinsi. Mencari suasana baru, sekaligus mengaktifkan potensi diri yang mungkin masih bisa digali. Di usia kini, kebanyakan kita mengalami apa yang di sebut comfort zone. Sebagian lagi tiba di titik jenuh. Sisanya menyerahkan nasib pada yang di atas (kumaha juragan wae). Padahal talenta kepemimpinan baru dimulai.

Di senja inilah benih kepemimpinan matang. Kedewasaan psikis relatif stabil, walau fisik mulai elastis. Semua itu membaku sebagai Pamong ideal. Kita hanya perlu menemukan ruang dan waktu yang sesuai, agar tumbuh dan menancap kuat. Banyak pemimpin mencontohkan itu. Mas Didik sedang mendayung kesitu. Mempersiapkan kelayakan diri pada derajat selanjutnya.

Ia menyiapkan hal yang mungkin dibutuhkan di usia 53 tahun. Ia menyelesaikan doktornya di Universitas 17 Agustus Surabaya. Mas Didik punya pergaulan luas di pemerintahan. Kita membayangkan Ia akan duduk di posisi pantas di kelak hari. Seperti juga peraih Adhi Makayasa di Akmil dan Akpol yang punya masa depan gemilang. Ia rajin olah raga bersama alumni dan teman kerjanya.

Namun, ibarat perantauan. Kita hanya musafir yang transit di dunia. Terkadang seleksi administrasi mampu meloloskan hingga puncak kuasa. Tapi tak seorang pun tau, kapan seleksi alam membatasi asa. Tuhan memanggilnya lebih cepat dari kinerjanya. Mas Didik berhenti selamanya, usai mengayuh sepeda pukul 09.00 di RS Islam Sakinah. Semalam, sambil menjentik organ, Ia sempatkan berpisah dengan sebuah lagu melo ciptaan Dewa 19, pergi untuk kembali.

Ia meninggalkan Widya dan tiga putri cantik. Widya, putri Kontingen Riau, angkatan kosong empat yang di boyong usai nikah. Putri sulungnya lulus di Kemenkeu. Kedua sekolah di STAN Jakarta. Si bungsu di SMA. Mas Didik salah satu produk Manglayang terbaik. Ia memberi kita teladan. Tentu saja dari sisinya sebagai manusia biasa, yang tak luput dari khilaf dan salah. Sama seperti kita semua. Semoga Tuhan memaafkan dan menerima amal baiknya. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian