Melamar Ponakan Jamaluddin

Oleh. Muhadam Labolo

Suatu ketika Jamaluddin ke Palopo. Jamal asal Gowa, sekarang tugas di Gorontalo. Jamaluddin di Sulsel ada dua. Satunya lagi tugas di Kesbangpol Kota Makassar. Kebetulan ada Sucahyo Agung. Mantan Kapolpra yang sedang liburan. Ia tugas belajar di LAN Makassar. Tugas di Papua, Kabupaten Keerom. Sekarang pejabat inspektur di Provinsi Papua Selatan.

Jamal berkunjung ke kosan. Ia mengundang saya dan kawan-kawan. Katanya, "mohon hadir dengan teman-teman di acara ponakan saya. Nikahan besok." Jawab saya singkat, "siap!" Saya segera ke rumah keluarga Rudi di perempatan Rujab Walikota Palopo. 

Disana, tempat berkumpul kawan-kawan. Ada Rudi, Andi Mappanyukki, Andi Ramlan, Sucahyo Agung, Irawan Kangiden, Syamsul Is Rasyid, Firdaus Latuconsina (05), dan Om nya Rudi, Ilyas. Ilyas pembuat kue dan rajin menerima kawan-kawan untuk transit sesaat bila gajian.

Semua setuju. Hadiri kondangan. Kebetulan esok hari Sabtu. Sepakat bawa satu mobil saja. Biar rame dan bisa ngobrol ngalor-ngidul. Mas Cahyo bercerita perkembangan purna di Papua. Disana gampang. Tinggal ketik sendiri mau jabatan apa. Ajukan ke pimpinan. Asal tak melampaui wewenangnya, ditanda tangan. Silahkan bertugas. Luar biasa.

Kami tiba di Belopa pukul 09.00 pagi. Jamal datang dengan senyum lega di rumah singgah. Ia dengan sabar menyiapkan tempat mengaso sebelum acara. Teman lain di tampung di tetangga sebelah. Pendeknya, kami tamu kehormatan. Di jamu khusus dan diberi fasilitas istimewa. Saya sendirian di satu kamar.

Jamal mengetuk pintu. Ia tiba-tiba duduk disamping saya. Membawa Sarung Sabbe dan Songkok Tobone. Katanya, "Pak Muhadam, saya mohon mewakili keluarga. Bapak yang akan menjadi pa'bicara." Saya spontan mengelak. "Lho, kan ada Pak Jamal. Pak Jamal saja yang bicara, apalagi itu kan ponakan, tentu lebih afdhol bila pamannya langsung."

Ia berhenti sejenak. Wajahnya serius dan memelas. Katanya, "bukan Pak Muhadam, maksud saya, saya yang mau diwakili oleh Pak Muhadam dkk. Saya yang mau menikah!" Saya kaget bukan kepalang. Saya tak sangka, rupanya beliau terdakwanya. Kami pikir ponakannya. Tenggorakan tiba-tiba kering.

Masalah kedua karena saya di tunjuk langsung sebagai pelamar. Terus terang, saya belum berpengalaman melamar di usia 23 tahun. Sekalipun saya lurah. Paling juga jadi saksi nikahan, atau beri sambutan. Sisanya menyumbang lagu ciptaan Broery Pesolima atau Pance Pondaag.

Saya pucat. Dengan sisa keberanian menemui teman-teman, berunding. Semua terperanjat. Menahan geli dan cemas. Tak lupa menyiapkan mental. Waktunya tinggal setengah jam prosesi lamaran. Satu persatu dibagikan sarung. Ada yang pakai dan tidak. Menyesuaikan kondisi masing-masing.

Kami tiba pukul 10.00 di rumah calon istri. Berjejer tetua adat sesuai tradisi Bugis. Lengkap dengan pakaian adat. Kami berhadapan langsung. Dibatasi penganan lokal sepanjang 15 meter. Macam-macam kue dihidangkan. Namun semua tak menarik lagi. Kami hanya perlu menyiapkan serangkain kalimat dan pantun lamaran.

Setelah pengantar protokol, Tetua Adat meminta penjelasan maksud kedatangan. Menyapa lewat dialog beraksen Bugis-Palopo. Memperkenalkan anggota keluarga besar dari kiri ke kanan. Selanjutnya dari kanan ke kiri. Para tetua itu penuh kharisma. Dihiasi kumis putih melengkung bak tanduk Kerbau Toraja. Menambah rasa ciut seperti Jawara Banten.

Saya berkali-kali menenggak teh tawar di depan belitan kaki yang kaku. Melicinkan tenggorokan. Kaki terasa kram dan kebas. Tetua adat meyakinkan kami bahwa keluarga calon istri bukan orang biasa. Mereka tokoh penting di kampung itu. Beberapa bangsawan, feodal, elit, dan aristokrat. Saya mengkerut mendengar gelar mereka.

Kini tiba kami mengenalkan diri. Tetua adat menyilahkan. Saya minum sekali lagi agar lancar bicara. Saya berpikir, bagaimana cara agar status teman-teman tak dipandang rendah dimata tetua adat. Setidaknya posisi keluarga pelamar dan yang dilamar setara. Dengan begitu, lamaran segera putus, supaya cepat. Beban saya berkurang.

Saya segera mengambil mic. Tak jauh dari kaki. Kami duduk bersila. Giliran saya mengenalkan status kawan-kawan mewakili keluarga Jamal. Saya tak habis akal. Lebih baik naikkan jabatan kawan-kawan dihadapan mereka. Toh juga para tetua adat itu tak ada yang tau siapa mereka di kecamatan. Apalagi Mas Cahyo dari Papua. 

Posisi kami waktu itu rata-rata staf kecamatan. Kecuali saya dan Firdaus 05, lurah. Saban hari masuk kantor hanya antar surat dan urus Bantuan Desa. Para tetua itu tinggal di desa yang berjauhan. Tentu tak paham latar belakang kami. Kecuali mereka benar-benar serius mau mencari tau siapa kami. Jadi tak salah kalau saya mesti berpolitik. Kali ini saja.

Saya mulai mengenalkan diri sebagai Lurah Bara, dan Firdaus Lurah Rampoang. Tiba di Mas Cahyo, saya naikkan jabatannya sebagai camat di Papua. Rudi, Andi Mappanyuki, Andi Ramlan, dan Irawan sebagai sekcam di Belopa, Suli, Larompong dan Bajo. Terakhir, Om nya Rudi, Mas Ilyas saya kenalkan sebagai pengusaha telur di Pasar Inpres.

Andi Ramlan dan Andi Mappanyukki tak jadi menelan Bolu Pecca yang tiba di mulut. Mereka terperanjat dengan jabatan yang tiba-tiba naik dihadapan para Opu. Mata Andi Ramlan melotot ke saya. Seakan menawar agar tak terlalu tinggi sebagai Sekcam. Mungkin cukup kepala seksi saja. Saya tak peduli, agar daya tawar kami naik.

Mas Ilyas tak jadi makan Bolu Pecca di dekat kakinya. Padahal itu makanan kesukaannya. Ia rupanya kesal karena statusnya kurang diangkat sebagai pejabat seperti yang lain. Ia protes abis acara. "Mengapa jabatanku rendah sekali." Saya jawab, "mohon maaf, "wajah Mas Ilyas tak representatif sebagai pejabat pemerintah, lebih pas pengusaha." 

Ia tak terima sambil marah-marah di mobil. Saya dan kawan-kawan hanya bisa menahan tawa. Bagi saya, perkenalan itu telah menaikkan derajat kawan-kawan sekaligus menyamakan posisi dengan tetua adat. Ini hanya politik saja agar kami dan Jamal tak dipermalukan. Artinya, keluarga Jamal juga bukan orang biasa. 

Saya menyampaikan maksud kedatangan. Melamar si anu menjadi bagian dari keluarga besar Jamal. Melengkapi sisi lain dari tulang rusuk yang hilang. Para tetua adat respek. Mereka bangga dilamar keluarga teknokrat. Kawan-kawan merasa bangga, sekaligus gelisah bila saja ada yang tau siapa sesungguhnya mereka.

Tetua adat menanyakan berapa kesanggupan uang dan beras. Saya jawab sesuai bisikan Jamal. Malangnya, soal logistik Pak Jamal tak sampaikan. Saya kelabakan. Teringat ada jatah beras senior yang sedang tugas belajar ke IIP, Unhas dan UGM. Mungkin bisa dipakai plus jatah teman-teman. Kebetulan saya diberi amanah menguangkan setiap bulan.

Saya sanggupi dua karung beras. Tetua adat setuju. Perkara lamaran selesai. Kami makan siang dan langsung pulang. Sepanjang jalan semua tertawa tak habis-habisnya. Mengingat posisi mereka yang tinggi waktu diperkenalkan. Itu menggelikkan dan memalukan. Rudi hampir muntah Barongko. Sampai-sampai mobil mogok di Pendakian Bua. Tak sanggup mendorong menahan tawa.

Saya sukses memimpin tim itu. Kami tak mungkin menyesali nasib. Apalagi menyalahkan Jamal. Kami juga tak mengkonfirmasi lagi apakah ini istri pertama atau kesekian. Yang pokok selamat dari prosesi adat menegangkan. Keringat dingin sempat mengucur. Lama-lama lancar juga dengan strategi politik seperti itu.

Selepas itu saya tak bisa tidur. Gelisah mempertanggungjawabkan jatah beras para senior. Saya di tuduh menggelapkan jatah beras tiga bulan. Jatah beras kurang waktu diuangkan. Saya diam saja. Menunggu waktu bila pulang tugas belajar baru dijelaskan duduk soalnya. Saya mengganti jatah beras yang hilang. Butuh waktu berbulan-bulan menutup kasus itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]