Sugito, Sang Penjaga Desa Indonesia
Oleh. Muhadam Labolo
Sugito, mungkin nama yang jamak di Jawa. Ia berarti kaya. Entah kaya harta atau kaya hati. Begitulah cita-cita kecil orang tuanya di Ponorogo, tempat Ia dilahirkan. Nyatanya, Ia tak hanya kaya dalam makna itu, tapi punya derajat tinggi sebagai pejabat eselon satu di Kementrian Desa. Andai boleh di tambah, akta lahirnya mungkin menjadi Sugito Sudrajat. Tapi Itu tak mungkin.
Saya manggilnya Mas Sugito, lebih uzur dua bulan dengan saya yang lahir di agustusan. Mujurnya, orang tua tak beri nama agus seperti lainnya. Andai jadi, saya mungkin merangkap ketua paguyuban agus se-Indonesia. Bisa Agus Muhammad, Agus Adam, atau Agus Muhadam. Terserahlah, asal tak salah cetak papan nama sebelum di tempeleng senior di meja makan.
Mantan Senapati Madyapraja di Sekolah Manglayang itu punya istri seorang Panglima. Bukan istrinya Panglima TNI, tapi Paguyuban Angkatan Lima, adik kelas Paguyuban Angkatan Kosong Empat. Istrinya berhenti melakukan PPM sejak menikah dengan Mas Sugito. Katanya, relasi senioritas berakhir dengan sendirinya manakala terikat akad nikah.
Mas Gito, begitu panggilan akrabnya, serius bercerita suka-duka bertugas dilapangan selama jadi camat di Kabupaten Madiun. Saya beberapa kali menjenguk anak di Gontor, suatu saat janjian di Alun-Alun Ponorogo. Tak puas disitu kami lanjutkan ngobrol di warung pojok. Sebagai ketua, saya patut mendengarkan curhat anggota Pasopati.
Saya sudah biasa mendengar curhat anggota Pasopati mulai rahasia sampai yang paling _sexy._ Saya mesti mencarikan solusi dengan cara apa saja, sekalipun terbatas. Mulai alamat kantor, nama jalan, trayek bus, tempat belanja, nomor kontak pejabat, hingga ukuran celana. Belum lagi soal-soal sensitif yang menyita waktu dan pikiran. Tugas ketua rupanya semakin berat dari era kolonial ke milenial.
Sugito pernah bertugas di Provinsi Timor-Timor. Sekarang Negara Timor Leste. Pasca disintegrasi, balik ke Madiun. Disana Ia mulai karier dengan pengalaman yang kaya akan konflik dan cara mengatasinya. Namun perbedaan pandangan dengan bupatinya membuat Ia hijrah ke Jakarta. Ia banyak berkonsultasi sebelum mengadu nasib di ibukota.
Nasehat saya waktu itu, silahkan pindah, salah satu cara terbaik bila buntu. Saya sendiri contoh dari kebuntuan itu ketika bertugas di Palopo. Hijrah bagian dari upaya melokalisir konflik agar tak ada yang merasa disakiti, apalagi dikhianati. Demikian perilaku pembaharu di dunia ini, termasuk para nabi yang menginginkan kedamaian dimana saja.
Di pusat, ada perluasan kementrian dari PDT yang ikut ngurus desa. Butuh tambahan birokrat untuk satu direktorat jenderal baru yang mengurus seluk-beluk pembangunan dan pemberdayaan desa. Saya menyarankan kesana. Apalagi Mas Gito punya pengalaman urus IDT di Timtim semasa bertugas. Penting pula bila punya ordal, semua bisa lekas dan ringkas.
Sama seperti yang lain. Di Madiun beliau pernah menjabat Lurah Wungu, Camat Madiun, Sekretaris Badan Litbang dan DKP. Di pusat, Ia merangkak dari kasubdit, direktur, sekretaris dirjen, dirjen sarpras dan yang sekarang ini, dirjen Bangdes & Perdesaan. Beliau sibuk, namun kemanapun pergi tak lupa menyempatkan kumpul teman-teman buat reuni tipis-tipis. Sekedar selfi di tengah sawah, atau depan warung makan.
Ia tak banyak berpikir, semudah itu Ia bolak-balik menyelesaikan perpindahan hingga memperoleh posisi di eselon satu. Ia punya prinsip, jangan pikirkan dimana kamu akan berlabuh, tapi pikirkan jalan menuju ke Pelabuhan. Mas Gito terbiasa hidup dengan kondisi tak menentu di hutan belantara, sama dengan Mas Cahyo, mantan Kapolpra yang sekarang jadi inspektur tinggi di Papua Selatan.
Teman-teman yang pernah tugas di tempat-tempat terpencil relatif tahan banting. Mereka mudah beradaptasi dan mampu menyelesaikan soal-soal pelik di luar akal sehat. Semua dapat dilalui hingga tiba di puncak jabatan sekarang ini. Posisi itu tak diperolehnya dengan cara loncat katak (leap frog). Ia menyusuri anak tangga, merayap, dan jalan jongkok sampai Puncak Manglayang. Tak perlu makan tulang. Cukup fokus, dan lakukan yang terbaik.
Tak sedikit kawan yang menanjak karena menghindari tabrakan. Hijrah memberi peluang dari angka nol. Mengawali goresan di atas kanvas dengan diary baru. Sugito memulai debutnya dengan menyusuri desa-desa terpencil, tertinggal dan terluar. Memberi sentuhan agar tak tertinggal lagi. Ia bahkan menulis perjalanan itu sebagai kisah kecil yang dibukukan tempo hari, indahnya bertemu sahabat se-nusantara. Saya turut menyunting dan beri pengantar.
Sugito kawan yang menghindari gesekan. Sedapat mungkin diselesaikan sekalipun hatinya dongkol minta ampun. Sambil menasehati saya, katanya, “pikiran di jawab dengan pikiran, tulisan di balas dengan tulisan.” Dia punya banyak obsesi yang ingin diwujudkan. Salah satunya bagaimana membangun desa sejahtera di masa depan. Mungkin itu yang menjadikannya Sang Penjaga Desa di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar