Meneer Basir dari Gowa

Oleh. Muhadam Labolo

Basir, alumni Maglayang asal Kabupaten Gowa. Ia punya banyak sisi unik dalam pandangan sahabatnya, 04. Basir termasuk maskot yang jadi bulan-bulanan senior. Tentu bagian unik itulah yang mendorong saya menulis cerpen untuk beliau, dan kita semua. 

Saya pikir Jairudin dan Irfan Rusli Sadek praja paling kurus dari Sulsel. Ternyata mereka mengalami metamorfosis dengan sentuhan karbo yang cukup selama diterapi senior waktu Mudapraja. Satu-satunya yang bertahan dengan tubuh ringkih, tinggal Basir. Ia rentan di tiup angin.

Namun, siapa sangka, kondisi fisik yang masuk kategori mustahiq itu justru menguntungkan baginya. Ia banyak dapat layanan khusus di luar barisan. Untuk barisan 160 kotor pun tak banyak dapat privilage seperti itu. Ia tanpa sadar diselamatkan oleh bodinya lewat belas kasih senior.

Ada dua jenis praja yang sering mondar-mandir ke belakang pasukan. Pertama, kelompok praja bermasalah dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya lupa semir, braso, telat, lupa papan nama, tak cukur, makan tulang dan lain sebagainya.

Kedua, kelompok praja bermasalah karena sakit fisik dan psikis. Mereka biasanya berpita kuning. Basir sebenarnya tak masuk kelompok itu. Ia sengaja diisolasi untuk di proteksi. Tubuhnya terlalu ringan menerima mai geri. Andai piring, bisa terpecah-belah. Senior tak berani mengambil resiko.

Cara aman, panggil Basir ke belakang pasukan. Ia dijadikan bahan lelucon. Ditanya macam-macam. Mulai alamat, jumlah anggota keluarga, sampai nama orang tua di kampung. Semua dijawab dengan aksen Makassar yang khas, kelebihan dan kekurangan konsonan ge. Semua ingin tertawa tapi takut di gampar.

Setiap kali apel, Basir dipanggil dan diberondong pertanyaan. Sedemikian banyak pertanyaan, Ia bahkan diminta mendefenisikan apa itu muts.  Menurutnya, must adalah sejenis kaing berlis kunin sebagai topi praja. Mus adalah kaing biru tua untuk menutup kepala.  Pendeknya, must adalah kaing dan topi. Titik.

Basir menjawab semua dengan lantang. Basir bukan praja biasa. Ia punya prestasi bagus waktu sekolah. Teman-temannya mengakui. IQnya mungkin di atas rata-rata. Tapi Ia mengakui bahwa teman-teman sebayanya hebat-hebat dan gagah. Seperti Yuhadi dan Irfan yang populer lewat tembang kenangan, Tenna Ruanna.

Waktu lulus di IIP, Basir senior saya, angkatan 29. Ia bimbingan Pak Lailil Kadar, Warek 3. Pak Lailil tak sanggup memeriksa laporan skripsinya. Rumornya di atas 1000 halaman pakai gerobak sampah. Skripsi normal maksimal 150-250 halaman. Disertasi paling banyak 500 halaman. Termasuk lampiran peta, pedoman wawancara dan biodata.

Pak Lailil frustasi melihat tebalnya. Rasanya mual membaca halaman perhalaman. Basir buat itu siang malam. Ia pernah ketemu saya di bawah pohon tempat berteduh mahasiswa. Bertanya, sudah baca buku apa saja. Saya yang baru masuk sempat shock. Rasanya seperti di ospek. Saya bilang, baru baca sedikit. Dia ceramah panjang dihadapan saya. Saya pikir Basir memang pintar.

Ketika selesai IIP Ia balik ke Sulut. Tempat Ia ditugaskan pertama. Bersama Lasmana, Adnan, Dian Susilo dkk. Namun, Ia tiba-tiba kehilangan ingatan. Dipulangkan ke kampung halaman. Puluhan tahun Ia tak kenal orang disekelilingnya. Tinggal di rumah peninggalan orang tuanya dengan seorang anak tanpa pendamping.

Basir termasuk keluarga besar Prof. Ryaas. Maestro pemerintahan, mantan rektor, menteri, anggota dewan, dan Wantimpres era SBY. Meski begitu Ia tetap hidup sederhana. Tak banyak orang tau Ia lulusan sekolah elit. Apalagi bertugas lama di Manado. Bertukar tempat dengan Sony, Steven, Djufri, Irawan, Noldy, Elvis, Bernad dan Gandawari dari Sulut.

Hasan, Emy, Ira dan saya pernah kerumah Basir. Ia bisa ditemui di luar pagar. Tampil dengan kondisi yang memprihatinkan. Anaknya waktu itu berusia kurang lebih 7 tahun. Ia fasilitasi kami bertemu bapaknya. Basir berusaha mengingat nama-nama kami. Emy berusaha mengenalkan diri satu-satu. Ia berusaha mengingat keras wajah kami satu-dua. Tetap saja lupa.

Basir tak mau diambil foto. Walau untuk mengabarkan ke teman-teman di group. Sedikit bantuan Pasopati di titip lewat anaknya. Hasan agak kuatir dengan golok panjang di samping pagar. Lebih baik jaga jarak, jaga sikap, dan jangan sok akrab. Itu petuah Polpra setiap kali apel malam.

Di pikiran saya, andai Basir berubah pikiran, saya hanya bisa menyelamatkan salah satu putri. Tinggal pilih, Emy atau Ira. Emy suaminya 02. Ira suaminya angkatan 14. Lebih baik bermasalah dengan yunior daripada dengan senior. Sebelah kanan jalan buntu. Hasan bisa loncat, atau membantu yang tersisa. Keduanya jilbaban. Sulit melarikan diri jika terjadi hal yang luar biasa.

Kita sungguh tak menyangka. Dua tahun lalu Basir kembali pulih. Ia menangkap pelan memori yang sempat hilang. Seperti hardisk yang terinstal kembali. Ia bergabung di group Pasopati dan Sulsel. Berkantor di kelurahan yang tak jauh dari rumahnya. Ia ingin menghabiskan sisa hidup dengan keluarga dan teman-teman baiknya.

Saya pikir itu mukzizat. Ini seperti hidup kedua. Ia membaca semua dialektika. Mencoba membangun ingatan. Tak hanya itu, motivasi hidupnya kembali tumbuh. Ia menikmati hari-hari dengan senyuman. Sesekali menanggapi dengan cerdas. Ia sedang merangkai pikiran. Mengkonstrusi agar sehat seperti yang lain. Basir anggota Pasopati yang unik dan hebat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian