Banggai Menuju Era Industrialisasi Migas


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Bagaimanakah wajah Banggai dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kedepan memasuki era industrialisasi migas? Pertanyaan ini tentu saja lahir dari kondisi kekinian daerah kaya tambang dan mineral di perut buminya.  Kekayaan tambang dan mineral tersebut bertebaran diberbagai pelosok wilayah yang membutuhkan sentuhan teknologi modern agar memberi kemanfaatan bagi penduduknya. Salah satu kekayaan alam itu adalah ditemukannya cadangan gas yang bernilai tinggi.  Sesuai survey PT. Medco Energi Internasional tahun 2000, cadangan gas di wilayah Batui saja mencapai sedikitnya 1,2 triliun kaki kubik (TCF).  Bagi mereka yang awam soal pertambangan mungkin agak kesulitan membayangkan seberapa banyak kandungan gas yang mengendap dilapisan perut bumi telur Maleo.  Begini saja, kalau sulit membayangkan, perkirakan saja kira-kira kalau cadangan gas sebesar itu dapat dieksploitasi rata-rata dua juta ton pertahun, itu berarti lebih dari 100 tahun baru ludes.  Asumsi lebih jauh adalah rakyat Banggai semestinya akan hidup berkecukupan dalam 100 tahun kedepan tanpa kekurangan sandang, pangan maupun papan.  Saya yakin, kita tak mungkin akan sama nasibnya dengan Kabupaten Ciamis, Pandeglang atau Tasikmalaya yang cenderung mengalami kebangkrutan karena bergantung penuh pada pemerintah pusat tanpa sandaran sumber daya yang cukup menjanjikan. Paling tidak, penyiapan infrastruktur kilang LNG dalam dua tahun terakhir menunjukkan masa depan Banggai yang lebih baik akan dikontribusikan dari blok Senoro, Toili, Maleo-Raja hingga blok Minahaki.  Kalau semua berjalan sesuai rencana, maka desain kota gas sebagaimana pernah digagas oleh rezim terdahulu bukanlah mustahil dilaksanakan. Hanya saja, bagaimanakah kebijakan pemerintah pusat dan Pemda terhadap pola distribudi gas masyarakat kedepan, saya juga masih awam, bahkan samar.  Saya hanya membayangkan, masyarakat Banggai harus diuntungkan, apakah melalui kebijakan harga paling rendah, atau mungkin gratis pada skala kebutuhan rata-rata.  Itu bukan mustahil, dan saya pikir tidaklah mengada-ada. Kalau nanti harganya lebih mahal dari konsumsi gas di daerah lain yang memang tidak memiliki sumber seperti Banggai, atau bahkan tak terjangkau bagi masyarakat miskin di Banggai, lalu apa manfaat gas yang berlebihan diberikan Tuhan pada masyarakat Banggai? Jangan sampai masyarakat Jepang lebih mudah memperoleh gas dengan harga murah ketimbang masyarakat Banggai yang jelas muncrat dipekarangan rumahnya.  Ini sama saja dengan membayangkan tikus mati dilumbung padi.  Belajar dari bangsa Papua yang hidup melarat puluhan tahun diatas gundukan emas, nikel dan sejumlah mineral berharga, rakyat Banggai harus sadar betul apa manfaat dari cadangan gas, nikel, emas, minyak atau uranium yang tersimpan rapi peninggalan nenek moyang kita untuk masa depan anak-cucunya. Semua itu membutuhkan kesiapan menghadapi era baru industrialisasi migas yang mungkin membawa perubahan positif, atau bahkan sebaliknya. Era industrialisasi berbeda dengan era pertanian yang mengandalkan cangkul, lahan, pupuk dan tenaga manusia untuk membajaknya.  Di era pertanian, seseorang mungkin patut bangga kalau punya lahan berhektar-hektar, atau punya sapi dan kerbau ratusan ekor.  Dulu, kalau ingin melamar calon pengantin perempuan di kampung saya, cukup sampaikan saja bahwa anda punya lahan sekian hektar dan sapi sekian ekor, selain selembar sajadah dan Qur’an, insya allah ijab-qobul bisa dilaksanakan.  Calon mertua dan keluarga pasti bangga kalau memperoleh menantu yang punya tanah luas, ternak, sawah, pohon kelapa, cengkeh atau cokelat.  Dalam era industrialisasi hal ini berbeda, manusia dinilai bukan karena tanahnya, sebab tanah mungkin saja akan habis dijual dalam pembebasan lahan misalnya, atau dilepas dengan harga murah seperti kebiasaan orang Betawi yang mendadak kaya, lalu jatuh miskin kemudian setelah habis menjual tanah warisan orang tuanya dipinggiran Jakarta. Era industrialisasi menekankan pada aspek rasionalisasi, dimana manusia dinilai dari keahlian atau profesionalitasnya. Kalau saya dan masyarakat Banggai mau melamar kerja di perusahaan Mitsubshi Incorporation, sebuah perusahaan raksasa asal Jepang yang berizin mengeksploitasi gas di dataran Batui, maka tidak cukup hanya dengan mengandalkan hubungan kedekatan secara emosional semata.  Industrialisasi membutuhkan sumber daya manusia yang tidak saja cakap dan berijazah tinggi, bahkan membutuhkan keahlian serta kecerdasan yang langka.  Inilah yang saya maksudkan rasionalisasi dalam bentuk spesialisasi.  Tidak bisa kita ujug-ujug datang ke perusahaan tersebut hanya bermodalkan akta kelahiran sebagai putra asli Banggai, lalu berharap mendapatkan pekerjaan prestisius dengan hanya mengantongi izajah SD, plus pisang louwe satu tandan, durian satu kolinti, saguer satu bambu, keme’ satu loyang, gula merah satu lusin, atau ayam bangkok tiga ekor. Ini jelas tidak rasional, dan memaksakan diri.  Ini era industrialisasi, bukan era pertanian yang boleh mengandalkan sistem ekonomi barter.  Jadi, kalau kita sadar, maka jawaban yang paling tepat menghadapi era industrialisasi migas saat ini adalah pendidikan.  Dalam konteks ini, pendidikan menjadi ukuran yang paling rasional dalam kompetisi diberbagai perusahaan bergengsi sebagaimana perusahaan gas di kampung kita.  Tanpa pendidikan yang memadai, maka generasi Banggai hanya mungkin diterima sebagai security, kalau tidak ingin dibilang Satpam. Persis seperti apa yang dialami oleh sebagian masyarakat Aceh dengan gas alamnya. Jangan lantas marah kalau suatu ketika mayoritas pekerja di sejumlah perusahaan pertambangan Banggai berisi tenaga kerja yang berasal dari luar daerah, atau bahkan luar negeri.  Kasus demikian bukan hal yang baru, mayoritas pekerja di perusahaan nikel Soroako adalah orang dari luar daerah.  Demikian pula tenaga strategis di pertambangan emas Freeport Papua, atau pekerja gas di Kabupaten Nagan Raya Aceh dan Sengkang Sulawesi Selatan.  Diperlukan waktu puluhan tahun untuk melakukan alih teknologi bagi masyarakat di daerah yang saya sebutkan tadi.  Tentu saja semua itu membutuhkan perencanaan yang cerdas dan matang dari pemerintah daerah untuk menghindari gejala diskriminasi sebagai konsekuensi rasionalisasi di era industrialisasi.  Persoalan kemudian adalah, darimanakah biaya untuk meningkatkan pendidikan masyarakat Banggai dalam sepuluh tahun kedepan agar jauh dari keterbelakangan, sekaligus menjadi pemain utama, dan bukan sekedar penonton?  Tentu saja berasal dari kompensasi gas yang beroperasi sebagai dana perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.  Dana perimbangan dan pendapatan asli daerah dengan mudah dapat dihitung menurut formula peraturan tersebut.  Lalu, jika sumber dan besaran keuangan kita sudah terang-benderang tersedia, political will kini berada di tangan Pemerintah Kabupaten Banggai dalam mendistribusikannya pada sektor vital seperti pendidikan, untuk tujuan alih teknologi industri sesuai perencanaan jangka panjang. Kita hanya kuatir jika pemerintah daerah hanya puas dengan kondisi hari ini, tanpa plan master yang jelas tentang bagaimana pemanfaatan kontribusi migas tersebut bagi masyarakat Banggai dalam sepuluh tahun kedepan. Sebab, berapapun alokasi bagi hasil pemerintah pusat dan pendapatan asli yang diperoleh langsung dari industrialisasi migas, kalau pemerintah daerah tak paham mengelolanya dengan jujur, transparan dan bertanggungjawab pada masyarakat Banggai, maka kondisi mereka tak lebih dari apa yang dialami oleh bangsa Papua, dimana sedemikian besar alokasi bagi hasil yang telah diberikan pemerintah pusat tak banyak mengubah nasib mereka menjadi lebih baik.  Atau, boleh dikatakan mereka memang hidup di era industrialisasi, namun kehidupan mereka secara riil tetap dalam era pertanian.  Inilah yang dimaksud Tuhan dalam sebuah firmanNya, tiadalah Tuhan akan mengubah nasib suatu masyarakat, kecuali masyarakat itu sendiri yang akan mengubahnya.  Maka, pandai-pandailah bersyukur atas nikmat yang telah diberikan itu, supaya Tuhan segera menambahkan berlipat-lipat, atau kalau pemerintah dan masyarakatnya lupa akan semua nikmat tadi, maka adzab Tuhan memang teramat pedih.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian