Naturalisasi Kepala Daerah
Oleh. Dr. Muhadam
Labolo
Seorang sahabat saya yang kecanduan
sepak bola sejak Timnas Indonesia mengalahkan Philiphina bertanya sambil
bergurau, apakah kandidat kepala daerah kedepan tidak dapat direkrut
sebagaimana Timnas melakukan naturalisasi pada Irfan Bachdim dan Cristian
Gonzales. Naturalisasi yang dimaksud kawan saya bukan merekrut warga asing
supaya jadi kepala daerah. Yang dia
maksud adalah naturalisasi dalam pemilihan kepala daerah, dimana kandidat
kepala daerah bukan hanya berasal dari putra asli daerah, tetapi juga berasal
dari luar daerah di Indonesia. Naturalisasi dalam pemahaman kawan saya bukanlah
istilah naturalisasi sejatinya dalam kerangka upaya peralihan kewarganegaraan.
Naturalisasi dalam konteks ini adalah penerimaan sosok warga daerah lain sebagai
pemimpin bagi komunitas lokal dimana saja dalam kerangka NKRI. Tujuannya untuk
mewujudkan keindonesiaan yang sesungguhnya, jauh dari sekat perbedaan hanya
karena alasan putra asli daerah. Kawan
saya sepertinya sedikit pesimis melihat ketidakseriusan kepala daerah yang nota bene putra asli dalam mengelola
pemerintahan di daerahnya sendiri. Saya yakin beliau sedang demam sepak bola
dalam ajang AFF 2010 dan bangga dengan dua pemain hasil naturalisasi yang
membela tim Indonesia. Sayapun bangga, bahkan kalau anda sempat nonton langsung
di Senayan, saya yakin semangat nasionalisme anda akan bangkit ketika lagu
Indonesia Raya mulai dikumandangkan. Kembali ke pertanyaan kawan saya, saya
katakan bahwa itu bukan mustahil, dulu di saat orde baru berkuasa, hampir semua
kepala daerah dari Gubernur, Bupati dan Walikota berasal dari luar daerah. Syaratnya hanya dua, yaitu berasal dari
kalangan militer dan disetujui oleh Soeharto.
Sekalipun DPRD memiliki hak untuk memilih, namun semua hasil akhir
keputusan diserahkan pada Presiden secara hirarkhis. Kelemahannya, daerah tak memiliki kekuatan
untuk menentukan siapa kepala daerah yang pantas, kecuali bergantung pada
persetujuan Presiden. Kelebihannya,
semua kepala daerah yang dinaturalisasikan secara masif oleh rezim berkuasa,
mau atau tidak harus bekerja keras supaya mampu menampilkan kinerja positif
sebelum diganti oleh kandidat lain yang lebih bagus. Itulah mengapa kita tidak mempersoalkan
siapapun yang menjadi kepala daerah waktu itu, apakah dia orang Bugis atau
Jawa. Apalagi kalau mereka sudah kawin-mawin dan beranak pinak di daerah
masing-masing, tentu saja akseptabilitas masyarakat jauh lebih mungkin untuk
menerima. Seorang kepala daerah yang
ditetapkan sebagai Gubernur, Bupati dan Walikota dimasa itu akan memperlihatkan
kinerjanya sebaik mungkin paling tidak karena alasan, pertama, mereka merasa
bukan putra asli daerah, sehingga diperlukan tindakan yang benar-benar serius
untuk memperlihatkan keberpihakan yang nyata pada kepentingan rakyat di daerah
tersebut. Ini untuk meyakinkan bahwa
sekalipun mereka bukan putra asli daerah, namun kenyataannya mereka juga bisa pro-daerah. Kedua, karena mereka
merasa diangkat oleh pimpinan, maka sepatutnya mereka bekerja dengan baik agar
tidak dinilai gagal oleh pemberi mandat. Dalam beberapa kasus bahkan tampak
berlebihan lewat banyaknya upeti kepala daerah pada rezim berkuasa di pusat
pemerintahan secara berjenjang. Ketiga, karena mereka berasal dari
korp militer, maka semangat untuk mengabdi jauh lebih tinggi dibanding
seseorang yang direkrut dari kalangan sipil. Hasilnya, selain stabilitas
politik dan pemerintahan terjaga untuk kepentingan rezim berkuasa, setiap
daerah relatif berkembang menurut kemampuan kepala daerah masing-masing. Sejauh
itu, kita tidak mempersoalkan kinerja mereka, sebab mereka cenderung berbuat
untuk kepentingan daerah sekalipun hasil naturalisasi rezim berkuasa. Lebih
dari itu mereka menjadi menjadi sentral kepatuhan masyarakat sekaligus
monoloyalitas bagi birokrasi. Kini, sejak
otonomi diberikan oleh pusat ke daerah, isu putra daerah mendominasi perhelatan
Pilkada. Lebih-lebih Pilkada langsung. Tak
ada lagi natulisasi bagi kepala daerah jika tidak benar-benar lahir, tumbuh dan
besar di daerah sendiri. Kita pantas
bersyukur disatu sisi, namun kita juga pantas merenungkan kembali apakah para
kepala daerah yang mengaku putra asli daerah jauh lebih sukses mengubah wajah
tanah kelahiran kita atau justru sebaliknya.
Kalau mereka sukses membawa daerah kita keatas panggung perpolitikan
nasional secara positif, bahkan mampu membangun kepercayaan diri rakyat di
daerahnya sehingga tidak merasa minder
di tengah kemajuan dan kebanggaan daerah lain, maka inilah makna suksesnya kepemimpinan
kepala daerah dalam kerangka otonomi daerah.
Kalau tidak, maka patut kiranya kita memikirkan kembali naturalisasi
calon kepala daerah, supaya setiap calon pemimpin yang merasa putra asli daerah
benar-benar terpicu untuk kemudian mampu membuktikan kemampuannya tanah
kelahirannya sendiri. Sekalipun banyak
catatan kelam dimasa lalu, namun pengalaman rotasi kekuasaan menunjukkan bahwa
kepala daerah dimasa itu relatif dapat kita terima tanpa mesti diperbincangkan habis-habisan
di pojok warung di sudut-sudut kota. Seakan-akan tiada hari tanpa topik lain
yang lebih menarik, kecuali mengulas tuntas kebaikan sekaligus keburukan kepala
daerah. Kalau saja kita masih bisa melakukan naturalisasi seperti jaman orde
baru, saya yakin mencari kepala daerah yang berkualitas tidaklah sesulit dewasa
ini. Tengok saja kandidat Gubernur dalam
Pemilukada di Provinsi Bali tempo hari, tiga calon yang maju semuanya memiliki
kredibilitas yang relatif tak dapat diragukan.
Ada mantan Bupati Jembrana yang mampu membawa daerahnya menjadi tolok
ukur keberhasilan otonomi daerah. Ada
mantan Bupati Gianyar yang dua kali berturut-turut berhasil mengangkat harkat
daerahnya lewat berbagai prestasi di masa lalu.
Terakhir, kandidat yang kemudian terpilih sebagai Gubernur Provinsi
Bali, beliau adalah mantan Kapolda sekaligus berhasil memimpin berbagai tim
dalam penanganan sejumlah kasus terorisme dalam skala nasional. Seandainya dua kandidat yang kalah tersebut
dapat dinaturalisasikan menjadi kepala daerah di tempat lain, saya yakin akan
banyak perubahan yang dapat kita nikmati hari ini. Minimal mereka dapat mengurangi kentalnya
nepotisme dilingkungan pemerintahan daerah akibat lahirnya pemimpin dari
keluarga besar di daerah tersebut. Jika kita mempersoalkan tentang asal muasal
para kandidat kepala daerah, saya sarankan agar kita tidak menjadi sempit
melihat setiap masalah seperti aspek militerisasi dan idiologi agama. Kalau perkara kita phobia kepala daerah hanya karena berasal dari kalangan militer
yang dapat menjadi pemimpin otoriter, bukankah hari ini banyak kepala daerah
yang bahkan jauh lebih otoriter dari seorang tentara. Kebiasaan suka marah-marah dan
membentak-bentak pegawai di kantor bukanlah berita baru. Saya sendiri tidak terlalu mempersoalkan
perbedaan demikian, yang paling penting adalah bagaimana strategi mereka
menciptakan kesejahteraan di daerah kita. Bahkan di daerah saya, seorang mantan
kepala daerah dari militer ternyata masih mendapat dukungan untuk menjadi wakil
daerah sekaligus kandidat wakil gubernur. Kalau soal perbedaan idiologi agama,
saya pikir tak begitu relevan lagi untuk diperdebatkan, sebab mengirim TKW ke
Hongkong yang katanya komunis ternyata jauh lebih aman dan menjanjikan
dibanding mengirim TKW ke Arab Saudi yang katanya tempat turunnya wahyu dan
para nabiullah. Di negara pertama, bisa
jadi para TKW pulang dengan membawa uang sebagai bentuk kesejahteraan, sedangkan
di negara kedua dapat saja para TKW pulang membawa lidah dalam keadaan putus
sebagai wujud penderitaan. Kini saatnya
kita lebih terbuka untuk menerima siapa saja yang mampu memimpin daerah, kalau perlu lewat cara naturalisasi lokal dalam pemilihan kepala daerah.
Komentar
Posting Komentar