Konflik dan Toleransi Dalam Masyarakat
Oleh. Dr. Muhadam
Labolo
Isu konflik dalam masyarakat setidaknya
dipicu oleh dua sentimen klasik, yaitu agama dan etnis. Agama sebenarnya bukan sumber persoalan,
sebab agama adalah seperangkat nilai yang diyakini justru untuk menciptakan
makna sebaliknya, yaitu kedamaian, ketentraman dan kenyamanan pada setiap
pemeluknya. Agama sepatutnya dimaknai sebagai ketidak-kekacauan sebagaimana
makna harfiahnya (sansekerta, a berarti
tidak, gama artinya kacau). Etnisitas
adalah keragaman yang tercipta sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, dimana
setiap orang terlahir pada komunitas tertentu dengan seperangkat nilai tradisi antroplogis-sosiologis yang berlangsung
secara turun temurun. Dua hal tadi dalam
realitas masyarakat menciptakan perbedaan keyakinan dan pola-pola hidup sebagai
tradisi yang agung dan luhur. Represi terhadap salah satu keyakinan dan tradisi
pada suatu komunitas dapat dipandang sebagai ancaman yang membahayakan sehingga
mampu menyulut pertikaian secara ekstrem. Di Indonesia, sentimen agama dan
etnik dapat dilihat dalam contoh kasus Sampit, Ambon, dan Poso lebih kurang
sepuluh tahun lalu. Dewasa ini kecenderungan
demikian seakan terulang kembali lewat kasus kecil seperti HKBP, Tarakan dan
Ampera. Dalam banyak media massa seringkali kita teramat bijaksana sehingga
menggunakan bahasa klise seperti konflik antar kelompok atau konflik antar
komunitas di suatu daerah. Kita adalah
bangsa yang teramat sopan dan beradab, sehingga untuk membicarakan konflik atas
dasar sentimen agama dan etnik dipandang terlalu sensitif, tabu dan mengandung
ketidaknyamanan. Saya pikir, saatnya
kita bicarakan saja secara terbuka, supaya masalah dilapangan sebagai indikasi
ketidaksesuaian itu tak perlu terulang kembali, bahkan terlalu lama untuk
diselesaikan. Kita ingin agar
simpul-simpul kebersamaan dapat di ikat dengan sekuat-kuatnya, tak mudah lepas
serta dapat dituntaskan hingga ke akar persoalan. Kita perlu melokalisir
perbedaan yang ada, tanpa harus memusnahkannya, sebab perbedaan adalah rahmat
dan fithrah yang tak dapat diingkari. Kita perlu melapangkan jalan yang mulus,
bagi kemasalahatan anak cucu dan keindonesiaan.
Dalam kasus pembangunan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan),
saya pikir kiranya setiap pemeluk agama perlu memahami dan menerima dengan
lapang dada apa yang menjadi konsesus bersama.
Saya paham mengapa saudara saya yang Muslim di Papua kesulitan
mendirikan Masjid, sebab mekanisme pendirian rumah ibadah berpijak pada
konsensus yang disepakati bersama (SKB 2 Menteri). Demikian pula saudara saya
di Bali, mereka harus dengan ikhlas menerima konsekuensi untuk menunda
mendirikan Masjid di lingkungan pemeluk Hindu mayoritas. Belajar dari itu, maka konflik antar komunitas
sebenarnya dapat dihindari tanpa harus berlumuran darah, apalagi sampai
menciptakan kesan tirani mayoritas. Kalau saya termasuk bagian dari kelompok
minoritas, tidak berarti saya boleh menghindar dari kesepakatan kelompok mayoritas. Demikian pula kalau saya adalah bagian dari
kelompok mayoritas tidak berarti semua aturan harus tunduk pada keinginan kaum
mayoritas. Ini dapat menciptakan tirani
mayoritas pula. Yang lebih ironis kalau
muncul tirani minoritas. Saya sebenarnya ingin membuang jauh-jauh dikotomi
mayoritas-minoritas, namun dalam analisis politik pemerintahan terkadang sulit
dihindari. Saya pernah mengingatkan bahwa dalam semangat demokrasi, mayoritas
ada karena di dukung oleh minoritas, sedangkan minoritas ada karena dilindungi
oleh mayoritas. Tentu saja tak ada yang
dapat saling melepaskan antar satu dengan yang lain. Jika semua patuh pada aturan universal yang
lahir dari kesadaran bersama, saya pikir kita tak perlu harus beradu mulut
untuk meraih simpati Tuhan lewat ritualitas agama. Soal Tarakan, ini juga pelajaran berharga
bagi kita, dimana etnik adalah isu klasik yang tak terhindarkan. Sentimen suku penting untuk diselesaikan
secara tuntas sebelum menimbulkan korban berikutnya. Disini perlunya membangun komunikasi yang
intensif sebagaimana masalah agama yang dapat diselesaikan lewat dialog antar pemeluk
agama setiap saat. Komunikasi antar
etnik dapat dibangun dalam kerangka saling menghargai, saling menghormati serta
saling mengasihi. Saling menghargai bermakna memberi apresiasi terhadap kerja
keras kaum pendatang serta menghargai peluang yang diberikan oleh penduduk asli
untuk tumbuh dan berkembang dalam dimensi ruang dan waktu. Saling menghormati bermakna pentingnya
penghormatan terhadap ruang termasuk seluruh tradisi yang dipijak sebagaimana
kata pepatah dimana tanah dipijak disitu langit dijunjung. Sebaliknya, perlunya penghormatan terhadap
budaya yang masuk sebagai khasanah dan kekayaan baru melalui proses
asimilasi. Sedangkan saling mengasihi
bermakna pentingnya meletakkan rasa kemanusiaan akibat kesenjangan yang
tercipta dari kerja keras masing-masing.
Dari sifat ini akan lahir sikap tolong menolong serta bahu membahu dalam
membangun komunitasnya. Secara umum barangkali
inilah yang kita sebut sebagai sikap toleransi.
Suatu sikap yang saling menghargai, menghormati dan saling mengasihi.
Dan saya patut bersyukur, bahwa dikampung saya sikap demikian masih kental
adanya,.....
Komentar
Posting Komentar