Kemana Arah Pembangunan Daerah?
Oleh.
Dr. MUHADAM LABOLO
Kepada mereka yang benar-benar dan
sungguh-sungguh serius memikirkan masa depan daerah ini, persoalan yang mesti
ditekankan adalah seperti apakah Luwuk dan Banggai Kepulauan dalam lima hingga
dua puluh tahun kedepan. Apakah sama
dengan kota-kota dipinggiran laut eropa, atau minimal seperti Kota Batam dan
Singapura yang memiliki kesamaan karakteristik sehingga menjadi tempat
persinggahan favorit aparat Pemda setiap kali studi banding. Kita tinggalkan
dulu dinamika Sentral versus kurnia yang saya pikir akan berakhir
dengan sendirinya. Menurut akal sederhana saya, sentral paling tidak merefleksikan
kekuatan dari pusat, sedangkan kurnia (dari kata karunia) merepresentasikan kekuasaan dari sentuhan Yang Maha Besar Tuhan.
Mereka yang bijak seharusnya tak perlu
mempertentangkan, sebab tanpa pusat, daerah tak mungkin dibentuk, demikian kata
undang-undang dasar ‘45. Selebihnya,
tanpa sentuhan Tuhan, kemerdekaan yang dimulai dari pusat pemerintahan tak
mungkin akan tercapai, sebab atas berkat rahmat Tuhan sajalah sehingga
kemerdekaan di pusat dan daerah dapat kita raih, demikian makna alinea keempat
dalam konstitusi. Jadi, tak perlu mendikotomikan kedua istilah diatas, apalagi
mencari-cari makna dibalik kedua kata tersebut, percuma saja, hanya membuat
kita saling curiga, iri dan dengki serta sahwasangka. Yang perlu dipersoalkan secara serius adalah
seberapa kuat komitmen setiap pasangan calon kepala daerah untuk mengubah arah
dan masa depan daerah dari lebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin,
tumbuhnya kecerdasan di tengah-tengah masyarakat lewat kualitas pendidikan,
berkembangnya kekuatan jasmani dan spiritual yang mampu menjamin masa depan
dunia-akherat, serta berkurangnya pengangguran disebabkan terbatasnya lapangan
pekerjaan sebagai sumber penghidupan yang layak. Komitmen mereka perlu ditelusuri dalam
proposal visi, misi, program dan kegiatan sehingga tak melulu meninggalkan apa
yang sedang trend dewasa ini, yaitu
kebohongan publik. Sebagai pemerintah,
jujur saja kita tak begitu nyaman disebut pembohong. Yang mungkin adalah belum tercapai, atau
masih dalam proses dengan sejumlah catatan kendala yang sedang dihadapi. Mungkin kita masih rela menerima istilah
gagal, daripada dikatakan pembohong. Bagi mereka yang sudah cukup maqomnya, atau sudah sampai pada tingkat
kecerdasan yang memadai, semua pesan dibaca secara terbalik, yaitu apa yang
sesungguhnya tersirat bukan sekedar
yang tersurat. Maka, kepada mereka, saya hanya bisa
menyarankan agar mampu membaca dengan pendekatan dialektika Hegel. Setiap pesan sebaiknya dibaca dengan mata hati,
bukan sekedar mata telanjang. Kalau ini
sudah bisa dilakukan, maka langkah berikutnya adalah mendidik yang lain supaya
mencapai kesempurnaan membaca sebagaimana anda mencapai level nirwana. Tanpa itu, maka kita hanya akan menghabiskan
energi dalam perdebatan soal redaksional, tekstual, teknis operasional hingga
menghilangkan makna substansial yang pokok.
Kini, marilah kita ajak semua pasangan
kandidat kepala daerah untuk duduk dan
membedah dengan seksama setiap gagasan yang akan diperjualbelikan pada
masyarakat. Biarkan mereka berdialog
dengan masyarakat agar semua paham apa yang dibutuhkan rakyat, dan sebaliknya
rakyat paham apa yang akan dilakukan oleh calon pemimpinnya. Darisanalah saya pikir arah pembangunan
daerah ini akan tampak secara terang benderang.
Rakyat yang suka minta macam-macam akan kelihatan dari apa yang dibicarakan,
supaya kita juga tau mana permintaan yang logis dan mana yang hanya sekedar
basa-basi. Sederhananya, apakah mereka
masih terbiasa dengan sinole, atau
jangan-jangan selera mereka sudah setaraf dengan KFC. Disini pula akan tampak mana kandidat yang
benar-benar memiliki gagasan cemerlang, bahkan memiliki strategi yang kuat
untuk mampu merealisasikan. Kadang
banyak kandidat yang suka bermain retorika, namun ketika ditanya soal bagaimana
strategi operasional untuk merealisasikan mimpi yang muluk-muluk tadi tibalah
pada kebingungan yang menggelikan, bahkan meragukan. Para politisi lokal sebagai penguji dalam fit and proper test seringkali
kehilangan instrument seleksi. Tak ada
dokumen RPJP dan RPJMD diatas meja sebagai alat bedah terhadap setiap visi dan
misi kandidat untuk setidaknya mempersoalkan komitmen, konsistensi dan kontinuitas
pembangunan daerah dalam lima hingga dua puluh tahun kedepan. Sayang sekali, ruang dialektika di desain
memang bukan untuk memeras energi para kandidat supaya mencurahkan seluruh
gagasannya diatas rencana pembangunan daerah yang paling realistis, melainkan
ruang untuk memenuhi aspek ritual-formal dalam bentuk pelepasan anggaran. Thomas Jeferson Rafles, seorang ahli botani
yang gagal mengembangkan Bengkulu dan Bogor tak membutuhkan waktu lama untuk
mendesain Singapura. Ia hanya
membutuhkan waktu kurang lebih satu kali RPJP daerah plus lima tahun (20 + 5 =
25 tahun) untuk menyelesaikan sebuah negara (bukan membuat sebuah daerah
semisal Banggai) dengan pertumbuhan ekonomi kurang lebih 12 persen pertahun
diatas jumlah penduduk 6,5 juta jiwa. Sekarang,
kalau saja kita ingin melihat daerah terang benderang dalam lima hingga dua
puluh tahun kedepan, perlu kiranya kita tak segan-segan berguru ke daerah lain
yang setidaknya jelas masa depannya.
Jangan berguru pada daerah yang suram masa depannya. Inilah makna berguru, seperti kata asalnya
guru (sansekerta), dimana ‘gu’ yang
berarti gelap, kegelapan (darkness)
dan ‘ru’ yang berarti terang (light).
Sama seperti mereka yang berprofesi sebagai guru, tugasnya hanya satu,
yaitu memastikan setiap anak didiknya dipandu dari sebuah kegelapan menuju ke
ruang yang terang benderang. Para nabi
juga memiliki misi yang sama, yaitu membawa umatnya dari alam yang gelap gulita
menuju alam yang penuh terang benderang.
Oleh karena para pemimpin hanya berada satu digit dibawah para nabi,
maka visi dan misi mereka selekas mungkin kita koreksi, agar mampu mengarahkan
pembangunan daerah ini dari kegelapan menuju semesta yang terang benderang.
Minimal dari jalan yang rusak menuju jalan yang lurus dan mulus tentunya.
Komentar
Posting Komentar