Pemimpin, Penjara dan Etika Pemerintahan


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

Pemimpin, penjara dan etika pemerintahan adalah konsep yang berbeda-beda.  Pemimpin dalam berbagai makna umum diartikan sebagai orang yang mampu mempengaruhi melalui kewibawaan komunikasi sehingga orang lain dengan senang hati maupun terpaksa mengikuti tujuan dan kehendak tertentu. Demikian setidaknya menurut Cleeton, Mason, Tead, Pigors, Stogdill, maupun Steers. Pemimpin tentu saja menjadi semacam examplary center kata Clifford Geerts, yaitu pusat teladan bagi pengikutnya. Pemimpin idealnya berada di puncak-puncak kekuasaan, dilayani dan melayani siapa saja.  Demikian prestisiusnya konsep pemimpin dan kepemimpinan tersebut maka ketika mereka gagal menjalankan amanah pengikutnya, hidup mereka seringkali berakhir di penjara. Penjara hanyalah sebuah tempat dimana hidup sekumpulan individu yang untuk sementara waktu gagal meningkatkan kualitas dirinya di tengah sistem sosial masyarakat. Dalam arti semantik kita mengenal istilah lembaga pemasyarakatan (Lapas) sebagai konsep dasar yang bergeser dari tempat penahanan menjadi tempat pelembagaan individu bermasalah kedalam masyarakat. Etika sendiri kita pahami sebagai seperangkat nilai, suatu ilmu maupun pemahaman sekelompok orang tentang hal baik dan buruk dalam masyarakat. Etika, dalam bahasa Yunani disebut ethos, artinya kebiasaan atau watak. Etika dihubungkan dengan ukuran-ukuran nilai moral yang ingin dilekatkan kepada suatu gejala kehidupan dalam masyarakat. Dalam kehidupan modern, etika dihubungkan dengan profesi tertentu, misalnya kedokteran, kewartawanan, kemiliteran, kepolitikan, kekuasaan atau pemerintahan. Berkenaan dengan etika pemerintahan menunjuk pada perilaku baik-buruk dalam interaksi pemerintahan apakah menyangkut personifikasinya, lembaganya, prosesnya maupun sistem dimana semua itu dilaksanakan. Mengapa kita membicarakannya? Karena etika dapat membentengi pemimpin agar tak hilir mudik ke penjara. Penjara sendiri menjadi sekolah luar biasa yang dapat menghasilkan kesadaran bermasyarakat.  Sedangkan pemimpin dapat mengendalikan keduanya, penjara dan etika itu sendirinya. Kini, bagaimanakah jika pemimpin dan penjara bertemu dalam sebuah prosesi pelantikan menurut kerangka etika pemerintahan?  Faktanya, seperempat penghuni penjara di dunia berisi para pemimpin Gangsters, Mafioso, Yakuza, hingga pemimpin pemerintahan dalam skala lokal, nasional dan international. Untuk yang terakhir tadi tentu saja berkaitan dengan banyak masalah korupsi, sisanya tahanan politik.  Sejumlah pemimpin yang dipenjara karena masalah politik cenderung cemerlang setelah kembali kedalam masyarakat, tengok saja Nelson Mandela dan para founding fathers kita. Disini lembaga semacam itu tidak saja berperan menahan seseorang, sekaligus mendewasakan karakter seseorang agar semakin tangguh menjadi pemimpin.  Para pemimpin yang terlibat korupsi diawali dari budaya nepotisme dan kolusi.  Korupsi dominan mengidap pada pemimpin yang sedang berkuasa apalagi jika ia bersifat absolut, sindir Lord Acton.  Tetapi mengapa banyak pemimpin tak selalu berakhir di penjara? Saya pikir inilah makna kekuasaan jika dipahami sebagai melayani, bukan dilayani. Melayani melahirkan tanggungjawab, sedangkan dilayani memunculkan perasaan kenikmatan.  Konsekuensi pertama melahirkan kebaikan bagi orang banyak (commons good), sisanya adalah kenikmatan bagi diri sendiri. Disinilah pemimpin lazim dihormati sebagaimana kita saksikan dimana saja. Guna menjaga tanggungjawab diatas, maka seorang pemimpin berusaha menjaga kehormatannya agar tak tercela sedikit pun di mata publik yang beresiko menghilangkan kepercayaan yang diberikan kepadanya.  Itulah mengapa banyak pemimpin memilih mundur dari jabatan sekalipun untuk hal-hal yang dipandang hanya melanggar kehormatan sebelum lebih jauh mendekam dalam penjara.  Bagi para pemimpin tadi, melanggar etika kepemimpinan jauh lebih berbahaya daripada sekedar melanggar hukum positif.  Etika dinilai sebagai rahim dari hukum positif, jadi melanggar etika sama saja melanggar hukum positif.  Kasus pengunduran diri Kanselir Jerman dan Presiden Honduras dalam isu plagiat disertasi jika dipertimbangkan bukanlah masalah pelanggaran serius dalam hukum masyarakat, namun ini berkaitan dengan etika, yaitu kebohongan publik. Pengunduran diri pemimpin Korea akibat bermain golf disaat masyarakat dalam belitan masalah, atau kasus dimana salah satu Perdana Menteri Jepang mundur hanya karena kurang fasih berbahasa leluhur menunjukkan sebuah tanggungjawab yang tinggi dalam soal menjaga kehormatan seorang pemimpin.  Lalu bagaimanakah etika pemerintahan kita dewasa ini? Kasus pelantikan Bupati Mesuji di Lembaga Pemasyarakatan oleh Gubernur Lampung (2012) mengingatkan kita pada masalah yang hampir mirip beberapa tahun lalu pada Walikota Tomohon. Bahkan ia sempat melantik eselon dua dan tiga dari balik jeruji besi.  Dalam konteks hukum positif tentu saja tak ada se-ayat pun aturan yang dilanggar baik oleh yang melantik maupun yang dilantik, tetapi apakah hal demikian patut menurut etika publik, apalagi etika pemerintahan?  Kita semua pasti menjawab serentak, tidak, sebab sejauh ini kita tak memiliki undang-undang etika publik apalagi etika pemerintahan sebagai batasan bagi perilaku baik dan buruk. Dalam kasus pelantikan tersebut mungkin bukan person, lembaga atau prosesnya yang bermasalah, tetapi mekanisme pelantikan yang menjadi persoalan.  Secara logika ada dua peran pada orang yang dilantik, yaitu sebagai pejabat negara sekaligus tersangka. Publik dibuat bimbang, apakah kita sedang menyaksikan prosesi pelantikan seorang pejabat atau tersangka, atau keduanya sekaligus? Saya pikir ilmu hukum positif tak bisa menjawab masalah ini, kecuali melihatnya dalam kerangka etika pemerintahan. Kalau negara komunis China, penyembah Matahari Jepang, atau pembantai kaum Yahudi, Jerman saja memiliki etika bagi kepemimpinan pemerintahan mereka, mengapa negara yang dipenuhi berbagai nilai dan tradisi luhur tak memiliki standar etika umum untuk mengukur baik-buruk setiap perilaku dalam proses kepemimpinan pemerintahan?  Etika memang bukan hukum positif, tetapi bukankah etika sebagai seperangkat nilai tentang baik-buruk dapat kita sepakati bersama dari Sabang sampai Merauke untuk mengukur perilaku dalam peristiwa kepemimpinan pemerintahan. Kalau ini kita sepakati, maka semua perilaku tak senonoh para pemimpin tak perlu menunggu keputusan seorang hakim menjatuhkan vonis, kecuali mundur.  Ini dapat mengurangi tingkat ketegangan publik, meredakan konflik vertikal dan horisontal, serta menghemat energi dalam polemik yang berlarut-larut.  Kita mesti memberi apresiasi jika ada anggota legislatif yang mundur hanya karena tak sengaja menikmati situs pornografi saat sidang di Senayan, atau menanggalkan jabatan menteri karena tersandung istri simpanan, termasuk mundur sebagai pemimpin partai politik ketika terpilih sebagai pejabat negara. Tak mundur dari jabatan memang tak melanggar hukum, tetapi bukankah sudah cukup melanggar etika publik?  Bukankah hukum tak selalu mesti tertulis? Inggris adalah contoh dimana hukum tak tertulis (unwriter constitution) tetap berlaku dan menjadi pondasi kuat bagi hukum tertulis. Dengan demikian seorang pelanggar bisa jadi tak perlu masuk penjara, tetapi mengundurkan diri dari sebuah jabatan sudah cukup menjadi hukuman sosial yang jauh lebih membekas seumur hidup.  Kalau ini kita lupakan, maka sebenarnya kita telah mengosongkan realitas hukum sosial yang tumbuh dalam masyarakat sebagai sumber hukum awal.  Dalam pengetahun hukum saya yang terbatas, saya selalu memahami bahwa hukum tanpa sentuhan sosiologi ia hanyalah hukum yang bersifat formal dan gampang mati di tengah dinamika sosial, disini kita mesti merawat dan mengembangkan hukum sosial yang hidup dalam masyarakat agar dapat menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran etis semacam kasus diatas secara fungsional.  Pendekatan demikian setidaknya dapat menghidupkan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Bukankah membawa setiap masalah ke lembaga hukum formal hanya akan menghabiskan waktu, uang dan tenaga yang belum pasti memberikan keadilan sebagai tujuan akhir?  Kembali pada kasus Mesuji dan Tomohon sekali  lagi mungkin tak ada pelanggaran dalam hukum positif, apalagi jika sang pejabat belum diputus secara final and binding. Tetapi bagaimanapun itu, menurut nurani sehat kita menyatakan bahwa melantik dalam penjara atau mempertemukan konsep kepemimpinan yang sakral dalam penjara yang memiliki makna sebaliknya tentulah sesuatu yang tak elok dipandang mata. Ironisnya gejala demikian hanya ada di Indonesia dengan logika kepastian hukum bagi setiap orang.  Melantik seseorang dimana saja memang tak mesti diukur dengan etika, apalagi jika ia benar pemenang pemilukada yang mewakili sebagian rakyat. Namun fenomena demikian menunjukkan adanya kecenderungan mengedepankan etika personal ketimbang etika yang lebih besar (sosial). Faktor lain adalah kecenderungan mengedepankan kepentingan diri sendiri serta adanya tekanan luar untuk berbuat tidak etis.  Atau jangan-jangan pelantikan semacam itu dikarenakan fasilitas di lembaga pemasyarakatan sudah jauh lebih baik daripada fasilitas di kantor-kantor pemerintahan?  Kalau alasan pragmatisnya demikian, mungkin masuk akal, sebab menurut beberapa sumber terpercaya bahwa ukuran lauk-pauk mereka lebih tinggi dibanding lauk-pauk pegawai negeri biasa, bahkan standar rupiahnya masih lebih tinggi dibanding lauk-pauk Mahasiswa pendidikan kedinasan di tempat saya. Toilet, tempat tidur, kulkas, TV dan AC di lembaga pemasyarakatan setaraf lebih nyaman dibanding hotel bintang tiga di Jakarta, lihat saja kamar Melinda dan kawan senasibnya. Kalau masalah estetika argumentasinya, saran saya kepada semua Pemda hanya satu, segeralah bersolek diri agar fasilitas pemerintahannya jauh lebih pantas untuk melantik seorang kepala daerah daripada lembaga pemasyarakatan.  Pendapat saya, sebersih apapun toilet di Mall Pejaten Village tetaplah konsep dasarnya adalah penampung kotoran, sehingga tak patut dan tak wajar kita gunakan sebagai prosesi sakral semacam ulang tahun anak kita. Penjara, sebaik apapun itu, konsep dasarnya adalah tempat dimana mereka yang bermasalah secara sosial ditahan.  Kalau penjara kemudian berkembang menjadi lebih modern dan manusiawi seperti saat ini, bukankah tidak berarti ia pantas dijadikan tempat pelantikan seorang kepala daerah yang pada dasarnya adalah pejabat negara sekaligus examplary center sebagaimana diingatkan Geerts.  Mungkin cara praktisnya adalah mengeluarkan sang tersangka tadi untuk dilantik menjadi pejabat di Pemda sehari, lalu mengembalikan yang bersangkutan ke bilik penjara sebagai tersangka kembali.  Saya ingat kasus Bupati Bone Bolango (2010) saat dilantik ia menerima SK sebagai Kepala Daerah, namun pada saat yang sama ia menerima SK pemberhentian sementara hingga memperoleh kepastian hukum dimuka pengadilan. Saya kira kelemahan hukum dalam aliran positivistik selama ini adalah selalu melihat realitas masalah dalam masyarakat secara linier lewat kaca mata kuda, hitam putih, apalagi jika ia kehilangan sandaran dalam konteks sosiologis. Maka jadilah hukum hanyalah seperangkat aturan dalam bentuk undang-undang dan qonun yang mewujud dalam hukuman kurungan, denda, cambuk dan rajam, jauh dari upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan seseorang sebagaimana tujuan hukum diantaranya. Pantaslah jika aliran post modernism mengingatkan kita tentang pentingnya melihat realitas sosial sebagai dinamika yang terus berkembang dan berubah-ubah, bukan sesuatu yang konstan sehingga dapat dibedakan secara hitam-putih.  Ruang kosong semacam tadi kiranya membutuhkan kajian lebih lanjut dari aspek etika pemerintahan guna menjadi petunjuk bagi siapapun yang bersentuhan dengan praktek-praktek pemerintahan dewasa ini. Inilah negara yang berdiri diatas supremasi hukum, namun kering dari aspek etikalitas berpemerintahan.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian