Daya Tarik Kandidat Wakil Kepala Daerah
Oleh.
Dr.
Muhadam
Labolo
Kalau saja kandidat kepala daerah
memiliki cukup daya tarik semisal incumbent,
maka tak relevan kita bicara soal daya tarik seorang kandidat wakil kepala
daerah. Incumbent tentu saja memiliki daya tarik dari pengalaman
pengelolaan pemerintahan, selain masih menyimpan kekuatan lewat mesin birokrasi
dari level puncak hingga paling bawah. Otoritas yang masih melekat memungkin incumbent dengan mudah lewat kaki-tangannya
sewaktu-waktu dapat menggunakan kekuasaanya untuk menekan, bahkan menihilkan
seseorang dari jabatan yang menggiurkan. Apalagi jika ia memiliki kekuasaan
tambahan seperti bangsawan atau simbol Raja di wilayah tersebut, tentu saja
semua kekuatan magic dapat dikerahkan
semaksimal mungkin untuk memperpanjang usia kekuasaan. Untuk memilih kandidat wakil kepala daerah, seorang
incumbent dengan mata tertutup bisa
mencomot dari mana saja calon wakil kepala daerah. Bisa saja diambil dari kelompok akademisi,
pengusaha, tokoh masyarakat, atau kelompok birokrasi yang dinilai paling patuh,
paling loyal, paling disiplin dan tentu
saja paham tentang seluk-beluk internal birokrasi pemerintah daerah. Ini sengaja dilakukan agar kalau terpilih,
kepala daerah bisa tidur nyenyak
tanpa kuatir di kudeta atau dipecundangi oleh sekelompok aparatur yang suka
mencari keuntungan praktis. Orang suka
menyebut kandidat wakil kepala daerah seperti ini dengan istilah perbengkelan,
yaitu ban serep kempes. Maklum di jaman sekarang hubungan kepala daerah dan wakil
kepala daerah naik-turun seperti harga cabe di Pasar Minggu. Setahun bulan madu, selebihnya pisah ranjang. Bagi kandidat kepala
daerah yang tak begitu populer di mata publik, satu-satunya harapan adalah
mengeksploitasi habis-habisan kepopuleran kandidat wakil kepala daerah. Daya tarik kandidat wakil kepala daerah bisa saja
didasari oleh kemampuan finansial, pengalaman, intelektualitas dan ikatan
sosiologis. Seorang kandidat kepala
daerah yang mengandalkan wakilnya dari kemampuan finansial akan berharap banyak
dari kucuran dana tak terbatas guna memenangkan pertarungan pada
pemilukada. Konsekuensi logisnya semua
biaya yang dikeluarkan harus tergantikan di kemudian hari. Tak ada makan siang
gratis (no free lunch), demikian
ungkapan lazim para politisi. Kita
dapat
bayangkan kalau para kandidat tadi membuang uang sebesar 15 milyar untuk
memenangkan pemilukada, maka dengan gaji pokok seorang kepala daerah/wakil
kepala daerah sebesar 3 sampai 6 juta plus tunjangan dan lain-lain dengan total
kurang lebih 18 jutaan sebulan, saya pikir tak akan mampu menyelesaikan
tunggakan dimaksud selama 5 tahun menjabat, kecuali sikut kiri, sikut kanan. Itu hampir menjadi rahasia umum. Akhirnya, APBD-lah yang menjadi sasaran
dimana sebagian besar uang rakyat habis di otak-atik
untuk menutupi hutang-piutang dimaksud.
Kalau anda menjumpai jalanan rusak, gedung sekolah roboh atau kamar
rumah sakit lebih menyeramkan dari wajah seorang pasien TBC, maka itulah
indikasi dimana seringkali jatah perbaikan fasilitas publik di sedot lemak oleh para elit tadi. Bukan mustahil, anggaran untuk memperbaiki
jalan di sebuah kampung terpencil seperti Baloa, dapat saja dimutilasi menjadi
anggaran taktis birokrasi. Ini lumrah
bagi mereka, tetapi menyesakkan dada bagi masyarakat yang tau kelakuan kucing garong semacam itu. Bagi kandidat kepala daerah yang mengandalkan
wakilnya berasal dari kelompok intelektual dan segudang pengalaman di birokrasi
tentu berharap banyak dengan kemampuan dimaksud agar pasangannya mampu
meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah daerah tepat berada di jalur yang benar,
yaitu wakil yang paham dan pengalaman dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Jangan lupa, sekalipun ideal, namun terkadang
kandidat yang berasal dari basis birokrasi punya kebiasaan buruk, yaitu
menyimpan rapi setiap masalah, bahkan mencoba merawat dan mengawetkan setiap
masalah untuk kemudian di olah menjadi bibit baru bagi kepentingan dan
keuntungan mereka. Demikianlah,
sekalipun wakil kepala daerah terpilih berasal dari kelompok birokrasi,
faktanya sami mawon. Apalagi kalau
hanya bertindak sebagai ban serep,
tentu saja mereka tak punya otoritas lebih, kecuali mengamini. Lalu, bagaimana daya tarik kandidat wakil
kepala daerah yang berasal dari ikatan sosiologis? Ini menarik, maknanya kandidat kepala daerah
sebenarnya berharap banyak pada mereka untuk semaksimal mungkin mampu menyerap
dukungan dari basis etnik dan keluarga besar.
Dalam banyak kasus pemilukada, pasangan kepala daerah terpilih karena di
dukung luas oleh sentimen etnik (kesukuan) dan garis keturunan marga besar
(bukan Margasatwa). Bagi kelompok etnik
dan marga (satu family/satu fam), memilih orang yang sesuku atau
keluarga dekat merupakan simbol perlawanan etnik maupun perluasan dominasi
marga. Bisa jadi mereka merasa di
anaktirikan selama ini, boleh jadi mereka di isolasi selama ini, mungkin saja
mereka ditindas secara latent oleh incumbent selama ini, atau jangan-jangan
mereka dianggap tidak ada atau sudah ditiadakan dalam percaturan pemerintahan
daerah selama ini. Misalnya saja, di
sejumlah daerah banyak etnik dan garis keluarga tertentu yang mendominasi
birokrasi pemerintah daerah, mulai dari pasangan kepala daerah hingga jabatan
sekretaris desa. Ini membuat etnik dan
keluarga besar lain merasa tersisihkan, bahkan terdzolimi. Dalam konteks yang
lebih luas, kandidat wakil kepala daerah merupakan personifikasi yang
merepresentasikan kampung halamannya.
Maka, kalau ada kandidat wakil kepala daerah yang benar-benar memiliki
hubungan sosiologis karena lahir dan besar di kampung tersebut, mungkin saja ia
merupakan faktor pengintegrasi yang diharapkan dapat membawa kepentingan mereka
kedalam kancah pergulatan pemerintahan, minimal rasa kebanggaan sebagai kandidat
yang mewakili kampung halaman. Apalagi
kalau kandidat memiliki hubungan disebabkan perkara kawin-mawin yang secara
biologis memperluas cakupan ikatan kekeluargaan, saya pikir bukan mustahil
meraup suara signifikan.
Komentar
Posting Komentar