Peran Pemimpin Adat di Tengah Wajah Demokrasi
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Dimanakah kita meletakkan hukum adat
dalam kehidupan berdemokrasi dewasa ini? Pada aras epistemologis ini
adalah pertanyaan yang mengidap dilema operasi demokrasi. Tentu saja pertanyaan
tersebut sulit dijawab ketika kita dihadapkan pada hukum positif dengan semua
instrument yang tersedia, selain sulitnya mengidentifikasi manakah yang
dimaksud dengan hukum adat. Kita tak bermaksud menghilangkan hukum
adat, sebab sebagaimana dikatakan oleh Wiranata dalam Satjipto Rahardjo
(2007:264), asas-asas hukum adat sudah jelas mengandung sari-pati Pancasila
sebagai falsafah hidup bangsa. Disini
jelas bahwa hukum adat tidaklah mungkin bertentangan dengan moralitas
masyarakat. Logikanya, hukum positif
sebagai hukum nasional adalah puncak-puncak tertinggi dari dataran hukum
adat. Atau dengan kata lain, hukum
positif yang kita praktekkan tentulah merupakan hasil konstruksi dari hukum
adat. Sebagian besar yang memiliki sifat
universal membentuk hukum nasional, sisanya menjadi kekayaan terpendam
dimasing-masing daerah. Kita berharap
agar hukum nasional bertumbuh dan berkembang diatas realitas budaya masyarakat
(living of law), bukan
menjauhinya. Sayangnya, sebagian besar
hukum adat kita yang masih berceceran tersebut belum teridentifikasi sebagai
upaya untuk menjawab sejumlah masalah yang muncul dikemudian hari. Lemahnya kodifikasi hukum adat dalam
masyarakat cenderung menciptakan penafsiran beragam di setiap tempat dimana ia
berpijak. Kondisi demikian sangat rentan
dimanipulasi oleh rezim lokal untuk meningkatkan daya tawar baik secara
vertikal maupun horizontal. Secara
vertikal, hukum adat seringkali digunakan untuk mendorong lahirnya perlakuan
khusus pemerintah pusat pada komunitas dan wilayah tertentu. Tentu saja
dengan membonceng sejumlah alasan mendasar seperti ketimpangan ekonomi, politik
dan sosial budaya.
Kasus Aceh, Jogja maupun Papua merupakan contoh nyata hingga lahirnya model
desentralisasi asimetrik. Dari aspek
horizontal, hukum adat praktis digunakan untuk melindungi identitas budaya
dari komunitas tertentu yang selama ini terpinggirkan. Pada beberapa kasus
bahkan digunakan sebagai wahana untuk mendorong popularitas sekaligus mengukuhkan
eksistensi kelompok yang
tergolong berasal dari keluarga raja. Ini menunjukkan kembalinya kaum aristokrat lewat jalur
monarki, disisi kepemimpinan formal yang lahir secara demokratis. Di sejumlah daerah,
fenomena ini tampak
saat pemilukada akan digelar. Hukum adat
kita perlukan sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah sosial melalui pendekatan
fungsional. Ia sekaligus
merepresentasikan sistem nilai paling
luhur dalam masyarakat. Bukankah kita yakin bahwa tidak semua perkara pemerintahan dapat diselesaikan
melalui jalur hukum positif semata. Disinilah peranan hukum adat, bukan sebaliknya. Pada titik ini, hukum
adat yang mulia tadi tidaklah etis jika digunakan hanya untuk melindungi
kepentingan perseorangan ataupun kelompok dalam masyarakat. Hukum adat pada dasarnya adalah milik
masyarakat pada entitas dimana ia hidup dan dipercaya, sekalipun prakteknya terkadang didominasi oleh
sekelompok feodal di tingkat lokal. Dalam sejarah pemerintahan, hukum formal terbentuk akibat rendahnya
kepercayaan publik terhadap raja. Hukum
positif lahir dari bentuk pemerintahan yang bersifat demokrasi, sebuah antitesa dari bentuk
pemerintahan yang bersifat monarki. Lemahnya perlindungan terhadap kebebasan
individu dari interevensi raja mendorong masyarakat untuk mengikatkan diri
dalam bentuk social contract (du contrat social, Jhon Locke,
1632-1704). Tujuh puluh tahun kemudian
Rousseau (1712-1778) menegaskan kembali hal itu. Sebagai konsekuensi, maka
lahirlah hukum formal untuk melindungi kebebasan individu dalam
masyarakat. Sekalipun demikian, hukum formal tetap
melindungi hukum adat sebagai basis
lahirnya hukum formal. Dalam hubungan
antara bentuk pemerintahan dan lahirnya
produk hukum formal, Plato (427-348) mengemukakan diantaranya bentuk
pemerintahan demokrasi dan monarki. Dalam
konteks demokrasi, setiap warga negara yang memenuhi syarat dapat memilih
pemimpin sekaligus wakil-wakilnya untuk membentuk suatu pemerintahan dalam masa
tertentu. Pemerintah berkenan dan berhak
membuat keputusan-keputusan eksekutif guna melayani kepentingan para pemilihnya
(warga negara). Prinsip populernya
adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Disamping itu, bentuk pemerintahan lain adalah monarki, yaitu
suatu pemerintahan yang dijalankan oleh seorang raja atau ratu. Kekuasaannya
cenderung bersifat absolute dan diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Prinsipnya, kekuasaan
seorang raja adalah titisan dari para dewa di langit yang biru untuk
menjalankan pemerintahan di muka bumi.
Salah dan benar seorang raja adalah manifestasi dari kemarahan dan
kemurahan hati para dewa. Oleh sebab
itu, seorang pemimpin monarkhi pantang untuk ditantang, apalagi
dikhianati. Itu sama saja dengan
meludahi para dewa, alias katula (bala’). Dalam sejarah modern monarki di Inggris
misalnya, ratu sekelas Lady Diana sekalipun wafat dalam kondisi kelebihan
alkohol bersama pendampingnya tak membuat surut kecintaan masyarakat Inggris. Bahkan diabadikan
sebagai moment paling bersejarah di abad lalu. Demikian halnya sejarah kuno para kaisar
Jepang dan China, sekalipun banyak mengundang kontroversi dalam hal kebijakan
yang diambil, namun menentang raja sama dengan mengkhianati para dewa. Jadi, kalau mereka salah, rakyat pada
dasarnya hanya mengharapkan hukuman datang dari para dewa, bukan dari
masyarakatnya. Inilah bentuk
pemerintahan yang mengalami depresiasi disebabkan sulitnya masyarakat melakukan
kontrol atas semua keputusan yang diambil oleh seorang raja. Kondisi ini mendorong terbentuknya kelaliman yang menyengsarakan
rakyat. Sebagai kritik dari bentuk
pemerintahan kuno tersebut maka lahirlah bentuk pemerintahan demokrasi, dimana
masyarakat meletakkan sebagian kedaulatannya pada para pemimpin dan atau
wakilnya untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Mereka dibatasi, diawasi dan untuk kemudian diganti menurut selera warga
negara. Praktisnya, kalau bentuk
pemerintahan demokratis menekankan pada perlunya pelayanan pada rakyat, maka
bentuk pemerintahan monarki cenderung dilayani oleh rakyatnya. Dalam
perkembangan negara di dunia, banyak diantaranya yang tetap mempertahankan
bentuk monarki dalam sistem pemerintahan modern, bahkan mengkolaborasikannya. Konstitusi
negara tetap memberi keleluasaan pada raja, baik sebagai kepala negara maupun
simbol pemersatu bangsa. Hal ini bisa
dilihat pada
Inggris, Thailand, Malaysia dan Arab Saudi.
Dalam negara modern terdapat
pula entitas lokal sebagai peninggalan raja-raja kecil. Di Indonesia misalnya, terdapat tradisi
raja-raja Gowa, Banten, Bali hingga Jogjakarta yang masih tetap dipertahankan,
sekalipun dalam keadaan
tertentu kewenangannya sangat terbatas.
Kecuali Jogjakarta yang mendapatkan status istimewa, kerajaan-kerajaan
kecil dalam wilayah negara Indonesia sebagian besar bertahan dalam struktur adat
di daerah masing-masing. Gejala ini
semakin menguat pasca reformasi tahun 1998 dan lahirnya otonomi daerah. Jatuhnya orde baru yang mengecualikan
keragaman dalam slogan persatuan dan kesatuan, serta besarnya kewenangan yang
diberikan pusat ke daerah mendorong menguatnya identitas lokal. Satu
diantaranya adalah berkembangnya kerapatan masyarakat adat yang dipimpin oleh
mereka yang dinilai memiliki hubungan monarki di tingkat lokal. Sebagian besar daerah memang memisahkan
peranan antara kepala daerah dan kepala adat.
Namun pada beberapa daerah, jabatan kepala daerah terkadang sekaligus menjelma
sebagai kepala
adat setempat. Lalu,
dimanakah hukum adat berperan dalam wajah demokrasi dewasa ini? Saya tetap
yakin bahwa hukum adat diperlukan dalam peranan yang lebih bijak, bukan tampil
dalam wajah yang garang dan menakutkan, apalagi sampai membabi-buta
mengatasnamakan rupa-rupa kepentingan.
Dalam konteks politik, hukum adat kita gunakan untuk mengintegrasikan
perbedaan warna di tengah masyarakat lokal. Disini seorang pemimpin adat
diperlukan untuk mengelola keragaman dalam kerangka tujuan bersama, bertindak
sebagai seorang pamong terhadap individu-individu yang berbeda, berlaku sebagai
seorang negarawan lokal, bersikap sebagai seorang maha guru, bertutur sebagai
seorang raja untuk melenyapkan gosip murahan antar ras, bukan memperlebar
jurang perbedaan yang menganga lebar. Dalam relevansinya dengan hukum itu
sendiri, hukum adat kita butuhkan untuk menyelesaikan sebagian besar persoalan
yang tak tersentuh menurut hukum positif.
Mungkin ini jauh lebih adil, dimana seorang pencuri ayam dikampung barangkali
cukup diadili lewat hukum adat ringan, sedangkan mereka yang mencuri APBD
milyaran rupiah bertahun-tahun kita sarankan diadili lewat hukum positif yang
berat. Bagaimana jika adat kita terasa
disinggung, apalagi sampai dilukai? Selayaknya diselesaikan menurut hukum adat
yang terpelihara dengan baik, sebagaimana suku Dayak di Kalbar menyelesaikan
ketersinggungan adat mereka pada seorang pakar sosiologi Prof. Thamrin Tomagola
beberapa waktu lalu. Mereka merasa dilecehkan karena statment akademis yang
disampaikan dalam suatu persidangan formal.
Dalam sidang adat yang dibuat dan dihadiri oleh semua pemangku adat dan terdakwa,
semua diselesaikan lewat cara adat seperti pemenuhan denda sekaligus sanksi dan
doa-doa ritual klasik. Akhirnya, baik
adat maupun mereka yang merasa mendzolimi adat masyarakat itu sendiri mendapatkan
peran dan porsi yang adil. Dalam
perspektif sosial budaya, bukankah prosesi semacam ini menunjukkan etnik kita
adalah etnik yang berkelas, santun, beradab sekaligus tentu saja beradat. Kalau cara-cara menyelesaikan masalah dalam
masyarakat dilakukan lewat tindakan amuk massa atas nama adat, maka saya kuatir
jangankan adat, hukum adat kita sendiri tak lebih dari hukum rimba raya kaum
barbar, sebagaimana pernah dipraktekkan oleh kaum nomaden di hutan belantara ribuan tahun lalu, pemakan sesama (kanibal), dan kelompok liar di jaman
purbakala. Ini jelas bukan meletakkan dan memuliakan adat ditempatnya yang
tertinggi, tetapi mendistorsi adat dan hukum adat itu sendiri. Apabila ini yang
kita inginkan, maka sebaiknya kita memproklamirkan diri keluar dari tatanan
adat yang selayaknya amat mulia menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, agar kita
tetap terjaga sebagai manusia yang beradab dan bermartabat dalam kehidupan
bermasyarakat, beragama dan bernegara. Akhirnya, kemanakah perginya para
pemimpin adat yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah tersebut? Ataukah
mereka menjadi sentral dari masalah yang sedang kita hadapi? Dalam hubungan
dengan konflik pemilukada, saya kira sikap legawa yang disampaikan dimana-mana
selayaknya konsisten dilaksanakan lewat para pengikutnya yang jauh dari
ketercerahan. Jika itu dapat
dipraktekkan, maka kualitas pemimpin adat kita tentu layak untuk dipromosikan
pada derajat yang lebih tinggi, yaitu kepemimpinan nasional. Kalau tidak, maka pantaslah jika mereka
berada di kelas kepemimpinan kepala desa di pesisir Mayayap hingga dataran
tinggi Baloa.
Komentar
Posting Komentar