Relevansi Basis Rekruitmen Pamong Praja Terhadap Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia
Pendahuluan
Tinjauan tentang konsepsi pamong praja seringkali diuraikan
secara normatif berdasarkan kajian historikal. Gambaran ini cukup jelas dipahami,
namun kajian demikian seakan menemui jalan buntu (deadlock) karena tak mampu menguak substansi dan relevansinya dari
masa lalu hingga saat ini. Makalah
Nurdin (2010) yang berpijak dari sumber Ndraha (2007), Wasistiono (2009),
Giroth (2007) dan dokumen pengembangan IPDN (2008) merupakan jawaban normatif terhadap
pertanyaan makalah Quo Vadis Pamong Praja.
Ini adalah respon terhadap keprihatinan atas berbagai gugatan akademik dari
sebagian besar dosen yang nota bene
berasal dari pendidikan non Pamong Praja.
Suatu indikasi positif yang merefleksikan tanggungjawab kolegial
akademik sehingga mendorong mendiskusikannya secara lebih tajam. Dalam kesempatan ini saya akan mengambil
bagian dengan menganalisis basis rekruitman Pamong Praja dan mencoba menarik
relevansinya dalam realitas kebutuhan dan fungsi kepemimpinan pemerintahan
dewasa ini. Dengan demikian kita dapat
menelusuri salah satu persoalan utama selama ini yaitu dimanakah relevansi
Pamong Praja dalam konteks kebutuhan kepemimpinan pemerintahan dimasa lalu,
hari ini dan akan datang. Sumbangan pikiran ini lebih berperspektif politik
pemerintahan dibanding kajian normatif. Dengan menggunakan sedikit sentuhan
teori elit, legitimasi dan kekuasaan, konsepsi Pamong Praja dimaknai secara
substansial kemudian dihubungkan dengan basis rekruitmen masa lalu untuk
mengkonstruksi kepemimpinan pemerintahan sesuai kebutuhan dimasa mendatang. Beberapa
data sekunder yang sifatnya terbatas namun berhubungan dalam proses rekruitmen
menjadi bahan perbandingan yang patut dilengkapi dalam kajian ini. Tentu saja
pijakan kita adalah aspek historikal pada era pra-kemerdekaan, pasca
kemerdekaan hingga periode 20 tahun terakhir. Catatan historis lain yang
menjadi pijakan Pamong Praja adalah buku kecil Bayu Suryaninggrat (1973), Makalah
Ateng Syafruddin (2007) dan Makalah Aziz Haily (2008).
Konsep Pamong Praja Dalam Birokrasi Jawa
Dalam serat Wulangreh[1], term Pamong Praja dapat ditelusuri
menurut sastra Jawa. Wulangreh
merupakan kitab yang di desain bagi para calon pemimpin atau penguasa. Wulang
berarti pelajaran, Reh
mengandung makna penguasa atau pemimpin. Karya ini dijadikan kurikulum rujukan untuk
mengendalikan hawa nafsu para penguasa seperti pemahaman halal-haram, hidup
sederhana, tidak sombong, loyal pada negara, tidak berwatak pedagang, rendah
hati dan adil. Tujuannya agar tidak kehilangan arah dalam menjalankan roda
pemerintahan[2]. Dalam birokrasi Jawa kita
mengenal istilah Pangreh Praja dan Pamong Praja. Makna Pangreh (Pang[3]
dan Reh) menunjukkan pada kekuataan
penguasa atau pemimpin. Praja sendiri memiliki
arti rakyat kebanyakan, publik,
masyarakat atau mereka yang dilayani. Dalam konteks normatif, istilah Praja
identik dengan pegawai pemerintahan,
pegawai negeri sipil (civil servant)[4]. Istilah ini
jelas berbeda dengan kata Raja yang
menunjukkan arti sebaliknya, sebagaimana kecurigaan masyarakat terhadap istilah
Praja yang seakan di didik menjadi Raja di IPDN Jatinangor. Jadi, kalau diartikan bebas, Pangreh
Praja lebih merujuk pada pejabat
politik yang memiliki derajat kekuasaan tertentu. Berbeda dengan istilah Pamong yang merujuk pada
kata among,
ngemong atau momong. Istilah ini menurut Nurdin
(2010)[5]
merupakan kata yang bersifat multidimensional,
seperti kata mengemong anak atau mengasuh anak kecil. Dalam perspektif pragmatis, Tursandi (2010) menambahkan, istilah Pamong
paling tidak menekankan pada seorang pelayan publik agar mampu me-ngemong (melayani), ngomong (berkomunikasi) dan siap di-omong
(dinilai). Dalam
kaitan itu maka Pamong Praja
diartikan sebagai pegawai negeri yang mengurus pemerintahan negara. Maknanya,
birokrasi Jawa di bentuk untuk melayani
rakyat sebagaimana mengasuh anak, penuh perlindungan dan kasih sayang selama
kapanpun. Jika demikian maka dari aspek substansi, birokrasi Jawa dapat
dibagi dalam dua level yaitu, kelompok Pangreh Praja yang menitikberatkan pada
pola kekuasaan atau kepemimpinan (cenderung bersifat dilayani), dan kelompok
Pamong Praja yang menitikberatkan pada pola pelayanan kepada masyarakat
(cenderung melayani). Apakah Pangreh
Praja adalah kelompok suprastruktur politik yang berada dilingkar kekuasaan
(elit yang berkuasa), dan Pamong Praja adalah kelompok administrator semata
yang berada dibawah dan melayani penguasa dan masyarakat umum? Untuk melihat
apakah kedua istilah tersebut berdiri sendiri ataukah mengalami transisi sesuai
konteksnya kiranya membutuhkan pengamatan terhadap basis rekruitmen dari masa
kemasa.
Peran Legitimasi, Kekuasaan dan Elit Pamong Praja Dalam
Organisasi Pemerintah
Alasan
pembahasan konsep ini karena legitimasi sebagai konsep yang tak terpisahkan
dari kekuasaan, serta praktis berkaitan dengan tingkat akseptabilitas Pamong
Praja di tengah masyarakat. Oleh karena
Pamong Praja memiliki posisi strategis di tengah masyarakat, maka penting untuk
mengemukakan konsep legitimasi. Legitimasi menyangkut keyakinan moral yang
menguatkan hak untuk memanfaatkan berbagai sumber daya. Secara umum legitimasi
menunjuk pada penerimaan (akseptablitas)
atau pengakuan pihak yang dipimpin. Kemerosotan legitimasi pemimpin pada
akhirnya berkaitan dengan penolakan publik atas kepemimpinannya[6]. Legitimasi
merupakan sistem nilai yang dipercaya sehingga mengukuhkan tingkat penerimaan
seseorang dalam masyarakat. Suseno
(1999)[7]
membaginya dalam bentuk legitimasi religius, eliter dan demokratis. Kepemimpinan seseorang dapat saja diterima
apalagi secara religi dapat menopang keyakinan spiritual orang banyak. Legitimasi eliter merujuk pada seberapa besar
tingkat penerimaan masyarakat terhadap aspek prakmatis yang dijanjikan. Sedangkan
legitimasi demokratis berhubungan dengan proses dan hasil yang dicapai dalam
mekanisme prosedural.
Selanjutnya, tanpa membahas
birokrasi lebih dalam sebagai organisasi pemerintah paling konkrit (apalagi membahas idealisme Maximilliam
Weber), elaborasi
berikutnya menitikberatkan pada persoalan konsep kekuasaan dalam organisasi
pemerintah serta kontribusinya bagi kepemimpinan pemerintahan. Oleh karena
organisasi pemerintah adalah bentuk dari pelembagaan kekuasaan, maka penting
membahas kekuasaan hingga ke level yang lebih formal yaitu kewenangan (authority). Menurut Friedman (1973),
Lukes (1978) dan Raz (1989)[8]
terdapat enam alasan yang mendorong perlunya kekuasaan dikontruksikan. Diantara
alasan tersebut, terdapat pembedaan antara kekuasaan de fakto dan kekuasaan de
jure (Peters,1967;Wich,1967). Kekuasaan de
fakto terjadi manakala masyarakat mematuhi pemimpinnya dalam bentuk yang
sesuai, sedangkan kekuasaan de jure
ada tatkala pemimpin memiliki hak atas kepatuhan masyarakat dalam wilayah yang
diatur melalui aturan kelembagaan[9]. Banyak ahli yang mengacu pada kekuasaan
sebagai penerapan kekuasaan yang
dilegitimasi. Ini dapat berarti
bahwa paksaan diterapkan kepada seseorang dengan kekuasaan de jure sekalipun orang yang dipaksa tidak merespon kekuasaan tersebut.
Namun demikian, dapat saja perintah-perintah para pemimpin menghasilkan
kepatuhan secara non-coersif. Secara sederhana kekuasaan adalah konsep yang
memiliki makna ganda, yaitu pengaruh
dan kepatuhan. Agar pengaruh dapat
dijalankan, maka kekuasaan mesti dilakukan dalam batas-batas normatif yang
disepakati semua pihak (Friedman:1973).
Kepatuhan seseorang kepada pemimpinnya memiliki dua bentuk, yaitu
kepatuhan tanpa pertanyaan (kharismatik-Weber),
dan kepatuhan dengan kritis. Dalam
kaitan itu pemimpin setidaknya memiliki otoritas yang cukup, yaitu seperangkat
kekuasaan yang terinstitusionalisasikan secara sah. Authority menunjuk pada kewenangan yang terlembagakan, memiliki
batas dan ukuran-ukuran tertentu. Kewenangan pada hakekatnya merupakan kekuasaan. Keduanya dibedakan dalam hal keabsahan. Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki
keabsahan (formal power), sedangkan
kekuasaan tidak selalu demikian. Masih
menurut Freidman, pembedaan dilakukan antara menjadi otoritas (being an authority) dan memegang
otoritas (being in authority). Menjadi otoritas berkaitan dengan masalah
keyakinan, dimana kepatuhan terbentuk oleh klaim pengetahuan, kesadaran dan
keahlian khusus. Seseorang dipatuhi
kemungkinan ia dipercaya memiliki pengetahuan yang luas, kesadaran yang tinggi
atau memiliki keahlian yang luar biasa.
Kondisi ini menegaskan kekuasaan de
fakto di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan memegang otoritas adalah masalah tempat seseorang dalam
tatanan normatif dimana seseorang diakui memiliki posisi kekuasaan secara de jure. Para pemimpin traditional dan
kharismatik menjadi otoritas melalui keyakinan dan nilai, sedangkan para
pemimpin dalam sistem-sistem legal rasional memegang otoritas dalam wilayah
tindakan tertentu saja. Para pemimpin
traditional biasanya berasal dari keturunan raja dan bangsawan yang memiliki
otoritas de fakto. Mereka memiliki
otoritas yang relatif luas dengan batasan otoritas penguasa yang lebih tinggi. Sedangkan
para pegawai pemerintah (civil servant)
memiliki otoritas de jure sesuai
batasan normatif yang ditetapkan secara rasional-legalistik. Rekruitmen basis kepemimpinan dengan
memanfaatkan otoritas de fakto dalam
masyarakat bangsawan akan semakin mengukuhkan efektifitas pemerintahan. Sebab dengan demikian, maka kepemimpinan pemerintahan
baik di level puncak maupun menengah akan memiliki otoritas de jure, sekaligus de fakto.
Dalam kasus di Papua, seorang Camat yang telah lama
bertugas dan menunjukkan predikat baik dimana secara de jure memperoleh otoritas dari pemerintah daerah, kadang sulit
dimutasi bukan karena faktor lain, tetapi lebih disebabkan oleh tingkat
akseptabilitas masyarakat yang tinggi secara de fakto. Camat telah
dianggap sebagai bagian dari komunitas mereka, bahkan dikukuhkan sebagai
pemimpin mereka, sehingga memindahkan Camat sama saja dengan menggugurkan
kepercayaan mereka terhadap pemerintah, atau bahkan melukai perasaan mereka.
Persoalannya, apakah Pamong Praja
dengan posisinya dalam struktur kekuasaan adalah kelompok elit dalam organisasi
pemerintahan? Berpijak pada Pareto dan Mosca[10],
terdapat elit yang memerintah (governing
elite) yang terdiri dari individu-individu yang secara langsung atau tak
langsung memainkan peran besar dalam pemerintahan selain elite yang tak
memerintah (non governing elit).
Mosca melengkapi konsep ini dengan menegaskan bahwa dalam masyarakat selalu
terdapat kelas yang berkuasa dengan jumlah sedikit terhadap kelas yang dikuasai
dengan jumlah yang banyak.
Dalam konteks Indonesia,
Kartodihardjo (1981) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis elite, yaitu elit modern dan elite traditional[11]. Elite
traditional dipengaruhi oleh tata struktur traditional, cenderung
mempertahankan status quo dan
memandang setiap perubahan sebagai ancaman. Sedangkan elite modern cenderung
melancarkan perubahan. Penjelasan tersebut tampaknya akan menarik jika
dikaitkan dengan uraian Van Niel (1984)[12]
dan Sutherland (1983)[13]
yang menggambarkan terbentuknya elit modern Hindia-Belanda dari politik
birokrasi kolonial. Sutherland melihat tingginya pengaruh politik birokrasi
kolonial Belanda terhadap elit birokrasi modern pada era postkolonial. Menurutnya, Hindia Belanda adalah negara modern
pertama yang mewariskan tidak sedikit tradisi kelembagaan Indonesia pasca
kemerdekaan. Birokrasi Indonesia adalah potret dari pengaruh sistem
pemerintahan Belanda yang mengedepankan pendekatan sistem pemerintahan tidak
langsung (indirect rule), dengan
tetap mempertahankan simbol-simbol penguasa traditional. Hal ini tampak dengan
cara memanfaatkan para pejabat pribumi dalam jabatan-jabatan birokrasi
pemerintahan, karena dipandang lebih murah dibanding mendatangkan pejabat asli
Belanda. Atas dasar itu, Emmerson (1976)[14] menyimpulkan
bahwa secara institusional kerajaan (keraton) dan birokrasi pribumi amat
berpengaruh, selain pengalaman berpolitik di era volksraad serta kemunculan kaum terpelajar di wilayah
politik-kritis.
Analisis Basis Rekruitmen Pangreh Praja Pra Kemerdekaan
Rekruitmen pegawai pemerintah
pribumi oleh penguasa Belanda sebelum kemerdekaan dan awal kemerdekaan di
dorong oleh perkembangan revolusi industri, perkembangan demokrasi, kemenangan
sekutu dalam perang dunia, besarnya kerugian perang Belanda dan yang paling
pokok adalah lahirnya politik etis. Disadari Belanda bahwa terbatasnya
birokrasi kolonial membutuhkan perpanjang tangan guna melanggengkan kekuasaan serta
mengembalikan sedikit banyak kebaikan terhadap daerah jajahan yang selama ini
menjadi basis harta rampasan perang.
Dengan pertimbangan itu maka rekruitmen pegawai pemerintah yang berasal
dari kelompok pribumi dilakukan pada kelompok middle class (bangsawan) dengan pertimbangan; pertama, memiliki nilai
lebih dari aspek charismatic[15]. Suatu aspek penting dalam konsep kekuasaan
yang memungkinkan para pegawai pemerintah mampu mempengaruhi masyarakat Jawa
dalam melaksanakan pesan-pesan pemerintah kolonial secara efektif. Berdasarkan kultur masyarakat Jawa,
kepemimpinan dan masyarakatnya adalah dua sisi yang sangat berhubungan erat.
Sisi pemerintah menganut nilai feodalisme,yaitu
suatu sistem kekuasaan yang sangat kuat tersentralisasi, dimana kekuasaan
adalah aset yang tak boleh berkurang, penuh klenik, tak sopan dibantah,
totaliter, wakil Tuhan, sabda pandito
dan cenderung mewakili kepentingan penguasa.
Sedangkan sisi masyarakatnya cenderung menganut nilai patron klien, dimana semua ucapan
pemimpin merupakan refleksi seutuhnya kemauan masyarakat, suka atau tidak. Kondisi ini seringkali mendorong para
pemimpinnya memanipulasi kepentingan rakyat bagi kepentingan diri dan
kelompoknya. Dalam perspektif ini, maka
basis rekruitmen pegawai pemerintah diharapkan terbentuk dari kelompok middle class (bangsawan Jawa) yang sejak
awal telah memiliki kepemimpinan secara de
fakto[16]. Kedua, rekruitmen pegawai pemerintah
Belanda yang berasal dari pribumi dimaksudkan untuk membentuk sosok pemerintah
yang tangguh dan paham dengan masalah hukum.
Keinginan ini mendorong Pemerintah Belanda cenderung menyiapkan
kurikulum yang bersifat ”law centris”. Para pegawai pemerintah dibekali dengan
pelajaran hukum positif dengan sedikit pelajaran antropologie. Dampaknya, Pemerintah Belanda memperoleh
keuntungan besar dimana aktivitas pemerintahan berjalan diatas kekuatan kerja
dua sistem nilai yaitu feodalisme dan
patron klien yang lebih efektif dan
efisien.
Menyadari hal tersebut, Pemerintah
Belanda kemudian mengembangkan pendidikan Pangreh Praja yang lebih modern[17]. Korps Ambtenar Belanda lebih lanjut
mendorong terbentuknya pendidikan dimaksud dengan tekanan perlunya pendidikan
tersebut ”diperluas dan diperdalam”[18].
Dengan demikian maka terbentuklah sekolah pendidikan yang mendidik Pangreh
Praja lewat lembaga pendidikan tertinggi yaitu Bestuurs Academie. Sekolah ini terkenal dengan nama OSVIA (Opleidings School Voor Inheemsche Amstenaren). Sekali lagi, kekuatan pendidikan ini karena
basis rekruitmen Pangreh Praja berasal dari kelompok elit, sehingga
efektifivitas kepemimpinannya dilapangan tak diragukan. Gambaran tersebut
menyimpulkan bahwa basis rekruitmen pamong praja adalah semata-mata untuk
memperkuat kepentingan kolonial Pemerintah Belanda. Sekalipun demikian, secara sengaja
kepemimpinan lokal (de fakto) menguat
kembali, bahkan diatas tumpukan otoritas de
jure (formal-legalistik).
Analisis Basis Rekruitmen Pamong Praja Era Kemerdekaan
Basis
rekruitmen pegawai pemerintah dalam konteks pendidikan yang sama dimasa
kemerdekaan perlahan mengalami pergeseran. Misi pendidikan mengalami masalah
sepeninggal Pemerintah Belanda. Mengharapkan basis rekruitmen Pangreh Praja dari
kelompok elit tentu saja berhadapan dengan dua kendala pokok, yaitu; pertama,
terbatasnya sumber daya kepemimpinan dari kelompok bangsawan. Kedua,
tingginya masalah yang dihadapi pasca kemerdekaan, khususnya masalah-masalah
sosial sehingga membutuhkan kepemimpinan secara kuantitatif yang dapat menjawab
masalah di tingkat bawah. Ketiga, timbulnya kesadaran
disebagian besar elit bahwa kepemimpinan perlu dipersiapkan untuk mengisi
kekosongan yang ada melalui rekruitmen khusus tanpa melihat status sosial dalam
masyarakat. Pemberian kesempatan kepada
anak muda yang berprestasi kedalam pendidikan pemerintahan akan lebih memperkuat
pencapaian tujuan awal pemerintah.[19].
Ketiga alasan tersebut setidaknya mendorong pemerintah kemudian membentuk lembaga
pendidikan dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri seperti Middelbare Bestuurschool (MBS) pada tahun
1948, Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Pangreh Praja, SMA Pamong Praja yang
kemudian berganti nama menjadi Sekolah Menengah Pegawai
Pemerintahan/Administrasi Atas (SMPAA) di Jakarta dan Makassar. Sekalipun demikian, tampak bahwa nomenklatur lembaga pendidikan seakan
tetap mempertahankan nilai-nilai feodalisme
di tengah keinginan pemerintah merekrut pegawai pemerintah baru. Dalam
catatan peserta didik dan alumni yang dimuat pada beberapa dokumen yang masih
tersisa, tampak bahwa kebanyakan para peserta didik berasal dari kelompok elit
bangsawan Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera[20]. Bahkan basis rekruitmen pegawai pemerintah
beberapa diantaranya berasal dari militer aktif ketika meningkat menjadi
Institut Ilmu Pemerintahan. Peningkatan
kelompok bangsawan dalam rekruitmen pendidikan pamong praja dalam tahun
1956-1966 hingga angkatan terakhir di APDN daerah (1990) juga mengalami
penguatan dari aspek lokal khususnya wilayah tertentu seperti Sulawesi Selatan
dan Bali. Bahkan untuk beberapa kasus di
wilayah yang masih kental kultur lokalitasnya, distribusi alumni dilapangan
lebih efektif jika memiliki gelar kebangsawanan[21]. Kecenderungan
demikian sulit dihindari, sebab selain masih menyisakan misi Pemerintah
Belanda, juga kelompok bangsawan memiliki akses yang lebih mudah dibanding
masyarakat biasa dalam pola rekruitmen pegawai pemerintah. Kondisi ini
memungkinkan rekruitmen berlangsung secara internal dan tertutup, sehingga
basis rekruitmen terjaga dan berlangsung dikalangan elit saja. Walaupun demikian, secara umum basis
rekruitmen dari kelompok masyarakat lebih terwakili dengan semakin luasnya
kepercayaan pemerintah terhadap masalah yang dihadapi. Sebagai perbandingan dapat dilihat pada tabel
berikut;
Tabel 1.
Perbandingan Persentase Basis Rekruitmen Elit dan Masyarakat
di APDN Malang
(1956-1966)
Asal Daerah
|
Elit/Aristokrat
|
Masyarakat Biasa
|
Jumlah
|
Jawa (Timur, Tengah, Barat, Djakarta)
|
15 %
|
85 %
|
130
|
Sumatera (Utara,Barat,Selatan, Atjeh,
Riau,Djambi,Lampung)
|
10 %
|
90 %
|
114
|
Kalimantan (Barat,Tengah,Timur,Selatan)
|
10%
|
90%
|
57
|
Sulawesi (Utara,Tengah,Tenggara,Selatan)
|
25%
|
75%
|
63
|
Bali
|
80%
|
20%
|
14
|
Nusa Tenggara (Barat, Timur)
|
20%
|
80%
|
20
|
Maluku
|
10%
|
90%
|
26
|
Irian barat
|
5%
|
95%
|
16
|
Sumber: di olah dari dokumentasi Sasana
Karya, 1956-1966, APDN Malang. Klasifikasi ini di luar unsur militer dan
perguruan tinggi dengan jumlah terbatas yang menjadi tugas belajar selama
periode tersebut. Identifikasi kelompok elit didasarkan pada nama dan marga besar dari
keseluruhan alumni tersebut.
Analisis Basis Rekruitmen Pamong Praja Periode 1990-2009
Untuk
memudahkan pengamatan terhadap perkembangan basis rekruitmen pendidikan pamong
praja maka pilihan periode 1990-2009 dijadikan
tolok ukur sehubungan penyatuan seluruh Akademi Pemerintahan Dalam Negeri
(APDN) daerah menjadi APDN Nasional pada tahun 1990. Pada tahun 1992 status APDN berubah menjadi
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) hingga tahun 2004. Penggabungan IIP dan STPDN pada tahun 2004
menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dengan pola regionalisasi
setidaknya menunjukkan kembalinya pola-pola rekruitmen dengan basis lokal. Pada periode 1990 sd 2004, basis rekruitmen
pamong praja berasal dari masyarakat biasa (lulusan SMU) yang diintegrasikan di
Jatinangor. Sekalipun pemerintah lebih
membuka kesempatan pada masyarakat umum melalui seleksi ketat di daerah hingga
pusat, namun faktanya rekruitmen relatif mewakili kelompok elite dibanding masyarakat
umum melalui standar yang ditetapkan. Sebelumnya dapat dilihat jumlah peserta didik di IPDN dari angkatan 1
sd 14. Data selanjutnya belum dapat
dilengkapi kecuali dua angkatan terakhir di IPDN Makassar.
Table 2. Jumlah Rekruitmen Praja
Angkatan 1 sd 14
No
|
Angkatan
|
Jumlah
|
1.
|
01
|
487
|
2.
|
02
|
490
|
3.
|
03
|
933
|
4.
|
04
|
807
|
5.
|
05
|
905
|
6.
|
06
|
611
|
7.
|
07
|
632
|
8.
|
08
|
624
|
9.
|
09
|
612
|
10.
|
10
|
621
|
11.
|
11
|
982
|
12.
|
12
|
793
|
13.
|
13
|
1.154
|
14.
|
14
|
995
|
15.
|
15
|
-
|
16.
|
16
|
-
|
17.
|
17
|
-
|
18.
|
18
|
-
|
19.
|
19
|
97
|
20.
|
20
|
99
|
Sumber: diolah dari dokumentasi Buku Kenangan Praja dan Laporan Pendidikan Tahun
2005-2006, serta Dokumen Praja IPDN Makassar 2010.
Dari hasil identifikasi kelompok elit praja yang didasarkan pada pekerjaan/profesi orang tua dalam
birokrasi (PNS/TNI/POLRI), nama/gelar (Andi,Lalu,Raden,La Ode, I Gede/Gusti)
dan marga besar,
diperoleh rata-rata jumlah praja yang
berasal dari kelompok dimaksud mencapai 70 %.
Identifikasi sederhana tersebut menunjukkan bahwa sekalipun pemerintah sebenarnya lebih
menitikberatkan pembentukan kepemimpinan pamong praja secara de jure melalui pembentukan karakter,
namun faktanya basis rekruitmen cenderung berasal dari kelompok elit birokrasi
yang secara turun temurun sudah ada. Untuk memperkuat basis rekrutmen tersebut
maka pemerintah melalui
sistem pengajaran, pelatihan dan pengasuhan, kader Pamong Praja dibentuk agar mampu melayani masyarakat secara optimal, tangguh menghadapi setiap tantangan, berani, jujur
serta berkepribadian yang kuat sebagaimana nilai-nilai dalam simbol
kepemimpinan universal Jawa,
yaitu Astabhrata.
Oleh
karena basis rekruitmen Pamong Praja berasal dari masyarakat yang secara de fakto memiliki akar yang kuat dalam
soal kepemimpinan birokrasi, maka misi pemerintah idealnya adalah mengembangkan
karakter kepemimpinan pamong praja yang tidak saja dapat diterima dan memiliki
kekuasaan secara de jure, tetapi juga
secara de fakto di tengah-tengah
masyarakat. Sebab, pengembangan karakter pendidikan yang semata bersifat de jure (law centris) hanya akan membentuk pamong
negara[22].
Peran Pendidikan Pamong Praja dan Penguatan Basis
Rekruitmen Bagi Masa Depan Kepemimpinan Pemerintahan
Strategi
pengembangan karakter kepemimpinan melalui basis rekruitmen pamong praja hari
ini haruslah di evaluasi kembali.
Pengembangan karakter kepemimpinan melalui aspek intelektualitas, emosional
dan spiritual menjadi strategi yang tak
terhindarkan. Mendidik pamong praja
melalui penanaman kekuasaan yang bersifat de
jure semata (law centris) tak
menjawab dinamika perkembangan politik pemerintahan dewasa ini. Faktanya, kaderisasi
elit dalam masyarakat melalui instrument partai politik maupun lembaga
kemasyarakatan lainnya tampaknya mengalami kemacetan/kebuntuan (stagnan), bahkan berjalan tanpa proses
yang memadai. Tingkat legitimasi terhadap kepemimpinan politik pemerintahan
mengalami degradasi baik dari aspek
legitimasi religi, elit maupun demokrasi[23]. Hal
ini ditandai oleh susutnya kader partai dengan cara merekrut artis dan birokrat dalam sejumlah kasus pemilihan anggota
legislatif dan kepala daerah. Akibatnya, banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan
IPDN yang sekalipun muda namun di nilai masyarakat mampu mengemban misi
pemerintahan sebagai Kepala Daerah. Ini
menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi) terhadap alumni mengalami perluasan tidak saja dalam
konteks penegasan kekuasaan secara de
jure, tetapi juga de fakto. Asumsi ini di dukung oleh banyaknya
pendaftaran kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam 5 tahun
terakhir yang berasal dari kalangan alumni pendidikan Pamong Praja. Tabel dibawah ini menunjukkan kontribusi
kader Pamong Praja aktif dan non aktif dalam jabatan publik pada 5 tahun terakhir ;
Tabel 3. Kontribusi
Pamong Praja Aktif dan Non Aktif Dalam
Jabatan Politik
2005-2010
Provinsi
|
Kepala
Daerah
|
Wakil
Kepala Daerah
|
Anggota
DPRD
|
Jumlah
|
DKI
Jakarta
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Jawa
Barat
|
3
|
1
|
-
|
4
|
Jawa
Timur
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Jawa
Tengah
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Sulawesi
Selatan
|
3
|
2
|
5
|
10
|
Sulawesi
Barat
|
1
|
1
|
3
|
5
|
Sulawesi
Tengah
|
1
|
-
|
2
|
3
|
Sulawesi
Tenggara
|
1
|
-
|
2
|
3
|
Sulawesi
Utara
|
-
|
-
|
2
|
2
|
Gorontalo
|
-
|
-
|
3
|
3
|
Kalimantan
Barat
|
1
|
4
|
4
|
9
|
Kalimantan
Timur
|
1
|
1
|
2
|
4
|
Kalimantan
Tengah
|
1
|
1
|
1
|
3
|
Kalimantan
Selatan
|
-
|
1
|
2
|
3
|
Sumatera
Barat
|
2
|
1
|
5
|
8
|
Sumatera
Utara
|
3
|
1
|
-
|
4
|
Sumatera
Selatan
|
1
|
-
|
-
|
1
|
Papua
|
2
|
-
|
-
|
-
|
Papua
Barat
|
1
|
-
|
-
|
1
|
Bangka
Belitung
|
-
|
-
|
2
|
2
|
Riau
|
2
|
2
|
5
|
9
|
Kepulauan
Riau
|
2
|
1
|
3
|
6
|
Jambi
|
-
|
1
|
3
|
4
|
Lampung
|
-
|
-
|
11
|
11
|
Bali
|
-
|
-
|
3
|
3
|
Nusa
Tenggara Barat
|
1
|
-
|
3
|
4
|
Nusa
Tenggara Timur
|
-
|
1
|
5
|
6
|
Maluku
|
1
|
2
|
-
|
3
|
Maluku
Utara
|
1
|
1
|
-
|
2
|
Bengkulu
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Nanggroeh
Aceh D
|
2
|
-
|
-
|
2
|
Jogjakarta
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Sumber: Di olah terbatas
dari wawancara alumni di daerah, 2010
Tampaknya, penajaman nilai-nilai
kepemimpinan politik pemerintahan melalui aspek Jarlatsuh penting untuk
didalami kembali dengan mengembangkan nilai-nilai kepemimpinan politik lokal
yang ditumbuhkembangkan secara proporsional.
Hal ini untuk menjawab dan mengurangi kebuntuan dari pola sirkulasi kekuasaan
pada kelompok elit dengan instrument yang dimiliki. Sepanjang elit dalam masyarakat (termasuk
partai politik) mampu menciptakan sirkulasi secara sehat dan memadai, maka
pendidikan pamong praja tentu saja lebih relevan jika ditempatkan secara proporsionalitas
sebagai manajer yang tangguh dalam birokrasi modern. Sebaliknya, jika partai
politik gagal membangun pola sirkulasi sesuai mekanisme dalam praktek demokrasi
prosedural, maka suka atau tidak, basis pendidikan pamong praja secara alamiah berpeluang
mengambil bagian berdasarkan mekanisme dan konsensus yang disepakati. Saya
pikir ini lazim terjadi dimanapun negara yang mengalami sirkulasi pemerintahan transisi. Tentu akan jauh lebih mudah jika revisi UU
No.32 Tahun 2004 mampu melapangkan sekaligus menemukan jalan keluar (way
out) dengan cara mengimbangi kandidat kepala daerah yang berasal dari
partai politik dengan wakil kepala daerah yang bersumber dari kelompok
birokrasi yang tentu saja memiliki standar pengalaman dan basis keilmuan
pemerintahan (baca pamong praja).
Pada dasarnya semua itu bergantung pada tujuan pemerintah dalam
kaitan dengan pembentukan kepemimpinan pemerintahan. Pertanyaan mendasar adalah
basis dan otoritas apa yang kita butuhkan ke depan dalam konteks pendidikan
Pamong Praja dengan berpijak pada realitas sistem politik dan pemerintahan yang
berlangsung saat ini? Belajar dari basis rekruitmen masa lalu serta kebutuhan
otoritas tampaknya perlu dipikirkan kebutuhan kepemimpinan pemerintahan dalam road map 10 sd 20 tahun ke depan sehingga
basis rektruitmen dapat disesuaikan. Secara sederhana dapat dilihat pada tabel
berikut;
Tabel 4. Hubungan antara Basis Rekruitmen dan Kekuasaan
|
Elit/
Aristokrat
|
Masyarakat
Umum
|
Bentuk
Kekuasaan
|
Pra Kemerdekaan
|
X
|
-
|
De fakto>De jure
|
Pasca Kemerdekaan
|
X
|
x
|
De fakto> De jure
|
Periode 1990-2010
|
X
|
x
|
De jure > De fakto
|
Periode 2010-2020
|
?
|
?
|
?
|
Seiring dengan pergeseran sistem
pemerintahan otoriter menuju demokrasi, makna Pangreh Praja (Pamong Negara)
secara perlahan mengalami koreksi total sehingga melahirkan konsep Pamong
Praja. Suatu konsep yang mengandung misi melayani masyarakat secara optimal
dimana saja dan kapan saja sebagai suatu tanggungjawab de jure sekaligus de fakto. Dewasa ini, seperti disinyalir oleh Tursandi (2010), konsep pamong
praja bahkan menjadi lebih terbuka dengan perubahan sistem pemerintahan, dimana
istilah urusan pemerintahan umum dan urusan umum pemerintahan semakin sulit
dibedakan dalam kenyataan dilapangan. Bahkan menurutnya, individu yang
melakonkan jabatan pamong praja boleh berasal darimana saja, tanpa melihat
latar belakang pengalaman dan pendidikannya. Tinggal bagaimana membentuk mereka agar
memahami makna pelayanan masyarakat serta dibekali lewat pelatihan jangka
pendek (short courses) dan jangka
panjang. Kalau para kepala daerah yang
baru terpilih saja dapat dilatih selama 21 hari di Badan Diklat guna meletakkan
dasar-dasar kepemimpinan pamongpraja, mengapa untuk para Camat yang nota bene saat ini banyak berasal dari
berbagai pengalaman dan basis keilmuan berbeda sulit dikendalikan pemerintah
untuk taat pada PP No.19 Tahun 2007 berkaitan dengan sertifikasi camat? Faktanya,
untuk rekrutmen Camat saja lebih didasarkan atas Daftar Urutan Kedekatan, jauh dari tata merit sistem yang kita
harapkan.
Terlepas dari persoalan tersebut, tampaknya, pemahaman terhadap
Pamong Praja yang mensyaratkan kualifikasi kepemimpinan dan kemampuan
managerial seperti dikemukakan Ndraha dalam Ismail (2010:8) cukup
relevan dalam pemaknaan kekuasaan de
fakto dan de jure. Kekuasaan de
fakto (kharismatik, politis) dapat dikembangkan melalui pengembangan
karakter kepemimpinan, sedangkan kekuasaan de
jure (legal-rasional,authority)
dapat di desain melalui pengembangan karakter managerial. Lalu mengapa Pamong Praja harus berada di
garis lini/kewilayahan dengan pendidikan khusus? Oleh karena kita percaya bahwa
penumbuhan karakter kepemimpinan (leadership)
seyogyanya berhadapan dengan basis masyarakat terkecil hingga yang paling luas
guna mendorong tumbuhnya kekuasaan de
fakto di atas kekuasaan de jure.
Itulah mengapa kita cenderung melarang alumni STPDN/IPDN setelah lulus menjadi
ajudan kepala daerah, sekalipun penting untuk menumbuhkan karakter managerial
pada waktunya. Tetapi dengan menempatkan alumni di level Desa, Kelurahan dan
Kecamatan sebagai entitas pemerintahan paling bawah, mereka relatif berhadapan
langsung dengan basis sosial yang dengan sendirinya dapat mengembangkan
karakter kepemimpinan secara de fakto,
sekaligus mengasah karakter managerial atas kekuasaan de jure. Pertanyaan berikut
adalah mengapa perlu di didik khusus? Oleh karena pemerintah merupakan
organisasi paling sempurna yang memiliki keistimewaan[24],
maka profesi Pamong Praja sebagai representasi pemerintah dalam melayani
masyarakat perlu di didik secara istimewa/khusus, sebab pemerintah memiliki
kekhususan/keistimewaan dalam memainkan kekuasaan baik secara de jure maupun de fakto. Perlu dibedakan
sifat khusus pada sekolah lain seperti Jaksa, Hakim, Auditor, Polisi atau
Tentara yang walaupun di didik secara khusus namun hanya melaksanakan kekuasaan
de jure semata (law centris) tanpa berhadapan langsung dalam konteks pelayanan masyarakat sehingga membutuhkan qualified leadership (Ndraha:2010).
Inilah yang disebut dengan model pendidikan specialist-generalis.
Kalau alumni AKPOL dan AKMIL bersifat specialist
mengamankan dan mempertahankan, lulusan perguruan tinggi lain bersifat generalist-specialist dalam keilmuan,
maka lulusan pamong praja lebih bersifat specialist-generalist
dalam praktek pemerintahan. Pembedaan istilah specialist (khusus) dapat di ihat pada tabel berikut;
Tabel 5. Pembedaan Kekhususan Pada AKPOL/AKMIL, PT dan IPDN
Perbandingan
|
AKPOL/AKMIL
|
Perguruan Tinggi
|
IPDN
|
Spesialisasi
|
Mengamankan/mempertahankan/
menyelidik/membunuh
|
Pada ilmu tertentu sesuai jurusan
|
Pada ilmu pemerintahan dengan karakter kompetensi qualifield leadership dan managerial administrative (de fakto dan de jure)
|
Jadi jelas, jika ada kekhususan (spesialisasi)
dalam memainkan senjata secara praktis dilapangan untuk mengamankan (to saved) atau membunuh (to killed), maka Pamong Praja memiliki
kekhususan dalam memainkan kekuasaan yang lebih dari sekedar memainkan senjata,
yaitu mengelola kekuasaan yang luas. Sebab itulah, mengapa penting untuk di didik
secara khusus/istimewa. Sekali lagi, karena Pamong Praja disiapkan untuk mengelola/memainkan
kekuasaan baik secara de jure maupun de fakto. Apalah artinya senjata tanpa kekuasaan? Mana
lebih besar dan berpengaruh, apakah senjata M-16 atau kekuasaan yang dapat
sewaktu-waktu memerintahkan senjata tersebut meledak? Lalu, pekerjaan rumah
selanjutnya adalah bagaimana mengembangkan karakter kepemimpinan yang dapat
diterima baik secara de fakto maupun de jure di tengah masyarakat yang
semakin demokratis dewasa ini? Saya sarankan, penting membaca kembali konsep
dan kurikulum yang telah disusun oleh Ndraha dalam buku Nilai-Nilai Kepamongprajaan,
Credentia, Jakarta, 2010. Tentu saja dengan nilai kritis.
Referensi:
Alfian, M Alfan, 2010, Menjadi Pemimpin Politik, Gramedia, Jakarta
Anwar, Rosihan, 2008, Kenang-Kenangan Pangreh Praja, Balai Pustaka, Jakarta
Bottomore,
T.B., 2006, Elite dan Masyarakat,
Akbar Tanjung Institute.
Emmerson, Donald K, 1976. Political Culture and Cultural Politics, Cornell University Press,
Ithaca and London
Haryanto, 2005, Kekuasaan Elite, JIP UGM, Jogjakarta,
Ilham, Muhammad, 2008. Manajemen Strategis Peningkatan Mutu Pendidikan Kepamongprajaan, Indra
Prahasta, Bandung
Kartodihardjo, Sartono, 1981. Elite Dalam Perspektif Sejarah, LP3ES, Jakarta
Kuper,
Adam, & Jessica, 2000, The Social
Science Encyclopedia (terj), PT.Raja Grafindo, Jakarta
Labolo, Muhadam, 2010, Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Press, Jakarta,
Ndraha, Taliziduhu, 2005, Kybernologi, Jilid 1-2, Rineka Cipta, Jakarta
...............................,2010, Nilai-Nilai Kepamongprajaan, Credencia,
Jakarta
M Giroth, Lexie, 2004, Edukasi dan Profesi Pamong Praja, STPDN Press, Bandung
..........................,
2009, Status dan Peran Pendidikan Pamong
Praja Indonesia, Indra Prahasta, Bandung
Sutherland,
Heather, 1983. Terbentuknya Sebuah Elite
Birokrasi, Sinar Harapan, Jakarta
Suratno, Pardi, 2009, Sang Pemimpin Menurut Astabhata, Jakarta
Susetya, Wawan, 2007, Kepemimpinan Jawa, Jogjakarta.
Sasana
Karya 1956-1966, Menjongsong
Peningkatannja Mendjadi Institut Ilmu Pemerintahan, APDN Malang
Suseno,
F Magnis, 1999, Etika KekuasaaPn, Prinsip-Prinsip Kewarganegaraan, Kanisius, Jakarta.
Suryaninggrat,
Bayu, 1980, Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Aksara Baru, Bandung
Webe, Agung,
2007, Javanese Wisdom, Berpikir dan Berjiwa Besar, Indonesia
Cerdas, Yogyakarta
Varma, 2008, Politik
Modern, Rajawali, Jakarta
Van Niel, Robert, 1984, Munculnya Elit Modern Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta
Visser, Leontine, 2009, Bakti Pamong Praja Papua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Makalah :
Nurdin, Ismail, 2010, Quo Vadi Pamong Praja, IPDN Jatinangor
Salim
Said, 2004, Meningkatkan Nilai-Nilai
Kebangsaan di Era Otonomi Daerah, Jakarta
Wasistiono,
2009, Redefenisi Kode Kehormatan dan
Nilai-Nilai Kepamongprajaan, Materi TOT Diklat Kemendagri.
Haily, Aziz, 2006, Sejarah Pendidikan Kedinasan di Indonesia, Jakarta
IPDN, 2006, Laporan
Pendidikan IPDN Tahun Akademik 2005-2006, Jatinangor
Syafruddin, Ateng, 2007, Ilmu Pemerintahan Dalam Konteks Kepamongprajaan, Makalah,
Jatinangor
Syafruddin,
Ateng, 1963, Pamong Praja sebagai
Golongan Karya Pemerintahan Umum, Makalah, Bandung
Syafruddin,
Ateng, 1963, Jabatan Pamong Praja Dalam Penelitian Antroplogi dan Hukum
Adat, Makalah, Bandung.
Tursandi,
(2010), Testimoni, Silaturahmi Alumni
Sekolah Pamong Praja, (sambutan) Jakarta, Sahid Hotel, 24 November 2010.
§ Direktur
Eksekutif Pusat Kajian Strategik Pemerintahan, Makalah
ini disumbangkan sebagai kontribusi pemikiran dalam rangkaian Kongres Alumni
Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan di Htl Red-Top, Tanggal 2-4 Desember 2010.
[1] Wulangreh,
adalah karya istimewa gubahan Susuhunan Pakubuwono IV dari Keraton Surakarta
Hadiningrat. Lihat Alfian, Menjadi
Pemimpin Politik, Gramedia, Jakarta, 2010:244.
[2] Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabhata, 2009. Lihat juga narasi dalam
http:/www.heritageofjava.co/art/sastraj jawa/Asthabrata.htm, oleh Wawan
Susetya, Kepemimpinan Jawa,
Jogjakarta, 2007. Demikian pula Agung Webe, Javanese
Wisdom, Berpikir dan Berjiwa Besar,
Yogyakarta:Indonesia Cerdas, 2007.
[3] Sejauh ini tak ada satupun sumber yang
menerangkan makna Pang dalam kata Pangreh, atau makna ”P” dalam kata Pamong. Apakah ia identik dengan Panglima, atau merujuk pada pemilik tertinggi dari kekuasaan itu
sendiri, wawlahu alam bissawab.
[4] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia,
Jakarta, 2005.
[5] Ismail Nurdin, Quo Vadi Pamong Praja, Makalah, IPDN, 2010
[6] Haryanto, Kekuasaan
Elite, JIP UGM, Jogjakarta, 2005
[7] Frans Magnis Suseno, 1999, Etika Kekuasaan, Prinsip-Prinsip Kewarganegaraan, Kanisius, Jakarta
[8] Kuper & Jessica, Adam, 2000, The Social Science Encyclopedia (terj),
PT.RajaGrafindo, Jakarta, 2000:53
[9] Tentang hubungan pengaruh antara A terhadap B,
dapat juga dilihat penjelasan R.A Dahl dalam Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, Jakarta, Gramedia, 2010;222. Lihat juga
McLean dan Alstair Mc Millan, Oxford
Concise Dictionary, hal. 431
[10] T.B. Bottomore, 2006, Elite dan Masyarakat, Akbar Tanjung Institute. Lihat juga Varma,
2008, Politik Modern, Rajawali,
Jakarta
[11] Kartodihardjo, Sartono, 1981. Elite Dalam Perspektif Sejarah, LP3ES,
Jakarta
[12] Van Niel, Robert, 1984, Munculnya Elit Modern Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta
[13] Sutherland, Heather, 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Sinar Harapan, Jakarta
[14] Emmerson, Donald K, 1976. Political Culture and Cultural Politics, Cornell University Press,
Ithaca and London
[15] Charismatic
adalah salah satu pendekatan yang digunakan oleh Max Weber (1978) dalam konsep
kekuasaan, dimana kekuasaan bersandar dari dirinya sendiri yang mampu
mempengaruhi orang lain lewat daya tarik atau performance yang dimiliki.
[16] Untuk membedakan kekuasaan secara de fakto dan de jure, lihat Friedman (1973) dalam Kuper, 2000, Ensiklopedia Ilmu Sosial, Raja Grafindo,
Jakarta.
[17] Sekalipun demikian, kita yakin bahwa tradisi
kerajaan-kerajaan di Nusantara sebenarnya telah memiliki akar-akar pendidikan
elite yang secara internal disiapkan dalam rotasi kepemimpinan.
[18] Labolo, Muhadam, Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Press, Jakarta, 2010:165
[19] Kasus ini identik dengan rekruitmen yang
dilakukan oleh Napoleon Bonaparte ketika para perwira Perancis yang nota bene berasal dari kelompok elit
bangsawan mengalami penyusutan akibat kekalahan di medan perang. Napoleon
kemudian membentuk sekolah militer untuk menyaring perwira baru dengan basis
rakyat jelata tanpa berharap dari kelompok bangsawan, orasi lisan Salim Said,
2004, Meningkatkan Nilai-Nilai Kebangsaan
di Era Otonomi Daerah, Htl Mercure, Jakarta.
[20] Sasana Karya 1956-1966, Menjongsong Peningkatannja Mendjadi Institut Ilmu Pemerintahan,
Penerbit: APDN Malang, 1966:67-81.
[21] Sekalipun tak mewakili secara keseluruhan, untuk
kasus demikian dapat diamati di Sulawesi Selatan. Kondisi ini bergantung pada status sosial
yang melekat pada Kepala Daerah yang berkuasa. Kepala Daerah yang tak memiliki
gelar kebangsawanan cenderung bersifat normal dalam pola pendistribusian alumni
sekolah pendidikan pamong praja. Hal ini
menjadi salah satu kendala dalam sistem penyebaran alumni di daerah-daerah yang
cenderung mengalami penguatan pada aspek kultur lokal seperti isu putra asli
daerah.
[22] Istilah Pamong
Negara disampaikan oleh Mantan Sekjend Depdgri (Soemarman) yang disampaikan
secara tertulis dalam sambutan menjelang pembukaan IIP di APDN Malang, 1966.
[23] Frans Magnis Suseno, 1999, Etika Kekuasaan, Prinsip-Prinsip Kewarganegaraan, Kanisius,
Jakarta.
[24] Sifat istimewa pemerintah dapat dilihat
dalam Ndraha, Kybernologi, jilid 1-2,
Rineka Cipta, 2005. Jakarta,1999. Lihat
juga Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan,
Edisi 4, hal.1-2, Rajawali Press, 2010.
Komentar
Posting Komentar