Mencari Kepala Daerah Bermutu


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Mencari kepala daerah yang bermutu sama sulitnya dengan menemukan barang berkualitas di pasar loak. Saya suka mengantar banyak tamu dari daerah yang bermodalkan uang pas-pasan tapi berharap pulang mengantongi barang berharga di pasar ular Jakarta. Anda bisa bayangkan, transaksi yang terjadi penuh peluh dan keringat, keluh dan kesah, belas dan kasihan, tipu dan daya, serta sedikit banyak memperlihatkan relasi penuh ketegangan.  Di pasar demikian hadir penjual dengan ragam yang unik. Ada yang baik dan jujur, namun tak sedikit yang berkepribadian ganda, lekat dengan tipu muslihat. Sulit melerai mana membujuk, mana menipu terang-terangan. Dan kompetensi tersebut merupakan hasil tempaan sepanjang hidup yang mentasbihkan mereka sebagai pedagang profesional. Dalam pasar traditional berlaku hubungan emosional yang kuat. Ada tawar menawar hingga pembeli dan penjual sepakat pada titik harga yang paling toleran. Berbeda dengan pasar modern yang cenderung rasional sesuai harga pada bandrol.  Anda dan saya tak punya kesempatan untuk menawar seberapapun ingin dan kurang uang kita.  Di pasar loak tersebut tersedia barang mulai yang paling murah, bekas dan tak jelas darimana sumbernya terjaja rapi tanpa bandrol, siap di tawar.  Banyak pembeli, namun sedikit yang memiliki pengetahuan cukup tentang kualitas barang yang akan dibeli, apakah barang tersebut halal dari sumbernya atau jangan-jangan hasil jarahan di sejumlah rumah ibadah saat pemiliknya lagi khusyu berjiarah dengan sang maha pencipta. Demikianlah gambaran sederhana pasar loak dan pelaku-pelakunya.  Kini, marilah kita lihat pasar dimana kita sedang mencari gubernur yang bermutu, bukan bermuka tua.  Saya harus sedikit jujur ikut menyindir, sebab kebanyakan para kandidat yang bernafsu menjadi kepala daerah baik bupati, walikota hingga gubernur terlihat benar-benar bermuka tua.  Bahkan boleh dibilang semua sudah hampir uzur.  Renta menuju senja, laksana menikmati matahari terbenam lelah di ufuk barat. Tak ada yang dapat diperbuat, kecuali menunggu tenggelam di telan kelamnya malam. Diberbagai sudut kampung yang masih kampungan, orang muda dianggap belum siap, suka terburu-buru, mudah goyah mentalnya serta gampang di rayu perempuan.  Padahal, tak sedikit pemimpin tua yang justru bermental tripleks, penyakitan, tak siap di kritik, mudah orgasme, gampang marah, tidak konsisten, suka dilayani, makan puji, bahkan rentan digoda tukang jamu. Jangan lupa bahwa semua revolusi dan reformasi diberbagai negara dan daerah yang relatif terdidik masyarakatnya, para pemudalah yang paling siap membawa perubahan signifikan bagi masyarakatnya.  Lihatlah Alexander Agung, Napoleon Bonaparte, Soekarno, Hatta, Bung Tomo hingga Gubernur NTB, Gubernur Jambi, Bupati Pohuwato atau Bupati Morowali.  Kesukaran kita menemukan kepala daerah dewasa ini disebabkan oleh dua hal, pertama, kondisi masyarakat kita ibarat pasar loak yang penuh dengan penjaja pilkada (tim sukses dan tim relawan) dihadapkan pada basis pemilih yang rendah pengetahuan terhadap siapa calon kepala daerah yang akan dipilih. Tentu saja para penjaja kandidat kepala daerah baik bupati maupun gubernur akan mempoles kandidat yang akan dijual dengan kelebihan selangit, bahkan menutup rapat segala kekurangannya biar mudah laku di depan pemilih. Kalau saja ada kandidat yang tidak jelas latar belakang pendidikan, pastilah dengan mudah para anggota tim sukses akan mencarikan gelar di universitas lokal dengan harga murah.  Apalagi kalau universitas lokal tersebut sudah biasa memproduk ijazah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.  Jangankan ijazah yang hanya selembar, tesis setebal 250 halamanpun bisa dipesan sekaligus disidangkan oleh para penguji yang sudah dipersiapkan dengan amplop berisi.  Inilah pasar, dimana institusi pendidikanpun kadang kehilangan idealisme intelektualnya. Bagi kandidat yang pernah di ancam hukuman diatas atau dibawah lima tahun, gampang dibersihkan lewat pers lokal.  Yang penting cukup biaya, seorang kandidat bisa terlihat bersih seperti bayi yang baru lahir di berbagai media.  Jika kandidat cacat dari sisi moral, ini juga bisa disamarkan lewat kehidupan harmonis yang ditampilkan, sekalipun faktanya istri tak pernah lagi tidur seranjang, anak keluar masuk penjara karena kriminalitas dan narkoba.  Bahkan bagi mereka yang benar-benar bermuka tua, lewat teknologi photographis setiap wajah bisa dipermak hingga tampak di baliho muda belia, wajah mulus tanpa jerawat, termasuk bersih dari bintik hitam serupa komedo. Persis sepatu tua yang dikemas rapi plus merek terkenal di pasar ular. Yang jadi masalah adalah, sedikit diantara banyak basis pemilih yang memiliki pengetahuan cukup untuk menentukan siapa kepala daerah yang benar-benar bermutu, alias berkualitas.  Di kampung-kampung nun jauh disana, bertumpuk pemilih yang tak mengenal barang-barang mewah ketika datang ke kota besar.  Mereka tak mengenal siapa kandidat kepala daerah yang benar-benar mampu memberi sedikit kebanggaan ketika mereka memastikan siapa pilihan terakhir. Mereka bangga ketika memilih kandidat kepala daerah, bangga seperti berhadapan dengan sepatu mewah, tapi tak mampu menentukan mana sepatu yang berkualitas, alias kandidat kepala daerah yang berstandar.  Apalagi jika pemilih yang lugu dan bodoh tadi di hipnotis oleh tim sukses kandidat lewat halusinasi uang dan janji-janji palsu.  Mereka patuh dalam barisan tim relawan. Maka dapat dibayangkan, para pemilih yang sekalipun memiliki kekayaan suara sedemikian besar, gagal membeli kandidat kepala daerah yang benar-benar tidak saja bermerek, tetapi juga jelas asal-usulnya. Faktor kedua yang jadi masalah dalam pasar traditional tersebut adalah seberapa kredibel kandidat kepala daerah yang akan dipilih, baik kualitas kandidat secara personal maupun rekam jejak yang bersangkutan.  Ini berkaitan dengan kualitas kandidat kepala daerah itu sendiri.  Bagaimana performance kandidat dihadapan publik, apakah sudah teruji atau sebaliknya.  Kalau teruji, seberapa besar tingkat kelulusannya.  Alih-alih lulus selama menjabat sebagai kepala daerah, jangan-jangan disana-sini penuh masalah yang berceceran tak mampu diselesaikan. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa pasca berkuasa,  banyak mantan kepala daerah yang menumpuk berkas gugatannya di kejaksaan, kepolisian, pengadilan hingga KPK.  Banyak yang dihantui perasaan berdosa hingga jatuh sakit akibat serangan jantung.  Sisanya berobat lanjut sesuai surat keterangan dokter supaya tak dikirimi surat panggilan oleh pihak yang berwenang. Ironisnya, inilah era dimana para petugas hukum kenyang dari suapan politisi dan kepala daerah. Lihatlah betapa gembiranya polisi, jaksa dan hakim begitu mendengar para aktor di pemerintahan bermasalah baik pidana maupun perdata. Mereka boleh jadi hidup berkecukupan diatas penderitaan dan masalah orang lain. Demikianlah gejala ketidakadilan sedang berjalan, ada yang menanak nasi tapi tak sempat makan kenyang, sementara ada yang tak berkeringat sama sekali, namun makan kenyang hingga lemas sendiri.  Kepada para kandidat kepala daerah, kita hanya ingin mengingatkan tentang sebuah nasehat klasik, semakin lama berkuasa semakin banyak masalah yang akan bertumpuk menunggu percikan api. Sama seperti nasib Presiden Soeharto, Tunisia, Mesir hingga Khadafi.  Bagi kandidat kepala daerah yang tak pernah malang-melintang di dunia politik lokal dan birokrasi pemerintah daerah, sebaiknya segera memperjelas diri lewat rekam jejak yang terang benderang, supaya publik percaya bahwa yang bersangkutan benar-benar mampu menjadi kepala daerah sekalipun belum pernah duduk di kursi panas selevel bupati, walikota maupun gubernur. Akhirnya, sejauh masyarakat kita masih hidup dalam situasi pasar traditional, maka jangan berharap banyak sekiranya pulang dari pasar loak hanya membawa sepasang sepatu usang lagi tak bermutu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian