Mewujudkan Kota Idaman
Oleh. Muhadam Labolo
Sebuah buku berbahan kertas lux edisi
gramedia diberikan kawan kepada saya. Judulnya sederhana, Mewujudkan Kota Idaman Luwuk. Tentu saja yang dimaksud adalah Kota
Luwuk dimana saya tumbuh dan berkembang semasa kecil. Saya berterima kasih karena sedikit sekali
referensi tentang kampung halaman saya di mata dunia nasional, apalagi
international. Saya sudah menyiapkan
waktu dalam perjalanan pulang dari Luwuk-Makassar-Gorontalo-Makassar-Jakarta
untuk melahap habis isi buku tersebut dengan penuh antusias. Saya membayangkan
suatu buku yang berbicara tentang Luwuk secara mendalam, baik dari aspek historik,
kekinian hingga futuristik. Sayang sekali, secara pribadi saya tak begitu
puas dengan gambaran tentang kota luwuk yang penuh dengan gambar-gambar
bangunan futuristik. Buku ini juga begitu banyak menampung komentar hingga potret
yang sepatutnya tak begitu perlu untuk di sunting. Saya sedikit bingung ketika membandingkan komentar
dan realitas gambar yang kadang tak memiliki korelasi, kecuali pujian-pujian. Sepintas
buku ini terlahir dari tulisan lepas seorang ternama di Jakarta pada harian
Jawa Post yang menurut saya perlu dikritisi. Kritik saya sederhana, kita kehilangan nilai
filosofistik dalam membangun negeri ini.
Kita seakan menenggelamkan sejarah masa lalu kita. Lihat saja bagaimana
kita mendesain kantor-kantor birokrasi dengan sentuhan pernak-pernik eropa. Seakan
kita sedang memindahkan jalanan, kantor, ruko dan rumah-rumah di Italia,
Belanda, dan Inggris di Kota Luwuk. Apakah kita tidak sadar darimana kita
berasal? Mengapa kita tidak menggali tradisi nenek moyang kita sebagai kekayaan
budaya bangsa ini? Harusnya kita sadar bahwa salah satu makna otonomi daerah
adalah mengembalikan harga diri kita sebagai masyarakat dengan seluruh nilai
dan entitas yang kita miliki, agar kita mampu menjaga tradisi dan kebudayaan
kita dari infiltrasi budaya asing.
Ketika saya berkesempatan berkunjung ke Eropa tahun 2004, saya memang
terkesan dengan bangunan-bangunan disana. Saya kagum bagaimana mereka merencanakan
dan membangun negeri dengan kemampuan mengawinkan tradisi tanpa kehilangan
aspek kemoderenan. Itulah yang menjadi
salah satu daya tarik wisatawan mancanegara.
Saya salah satu yang terobsesi mewujudkan pembangunan demikian. Saya
juga bangga dan terkesan ketika di akhir film The Last of Samurai, seorang Kaisar Jepang mengokohkan impian dia
tentang Jepang kedepan, yaitu belajar dari kanon buatan eropa yang maju, namun
tetap hidup dalam tradisi sebagaimana diajarkan oleh para leluhur mereka. Pembangunan daerah sebaiknya didasarkan pada
nilai-nilai setempat sebagai apa yang kita sebut kearifan lokal. Ini setidaknya terlihat dalam desain
pembangunan mulai penamaan jalan hingga bangunan raksasa. Fitur-fitur yang dikonstruksikan tidak saja
lahir dari hewan langka seperti telur Maleo sebagai identitas kampung
halaman. Namun lebih dari itu, semua
desain pembangunan dan perilaku berpemerintahan selayaknya merupakan
representasi dari sikap dan tingkah laku positif kita yang diturunkan secara
arif dimasa lalu. Disinilah nilai
filosofi yang kita maksud. Semua fitur
dan desain lahir dari abstraksi filosofi kedaerahan dengan sedikit sentuhan
kemoderanan sehingga tak kehilangan relevansi futuristiknya. Ia menampakkan
kekayaan dan keanekaragaman Indonesia dalam arti luas. Ia menjaga kemajemukan
dalam kerangka kebhinekaan. Saya kira, tak
ada yang salah dengan buku mahal dan penuh warna itu, kecuali miskin kontemplasi
tradisi sehingga yang nampak adalah bangunan mentereng persis bangunan elit di
sepanjang kompleks Bumi Serpong Damai (BSD) Tangerang. Saya ingat tahun 1999 ketika otonomi daerah
pertama kali digulirkan, daerah-daerah di sulawesi bagian selatan memulai
pembangunan daerahnya dengan sentuhan etnik yang kental dari desain bangunan
kantor bupati hingga nama jalan. Saya yang selama ini tak begitu kenal nama pahlawan
daerah mulai paham satu persatu hingga filosofi bangunan lewat guratan khas
daerah tersebut. Saya mulai mengerti
tradisi yang selama ini tersimpan rapi akibat tekanan orde baru yang
menyeragamkan semua simbol-simbol kebudayaan di daerah. Seandainya buku tersebut dimulai dari prototype manusia luwuk, saya yakin buku
mewah tadi akan membuka aura bagi pembangunan kota idaman luwuk yang memiliki
karakteristik kuat diatas tradisi yang tak dilupakan. Kekaguman orang asing terhadap daerah kita
patut di apresiasi tanpa membuang tradisi masa lalu. Kekaguman mereka patut dihargai dengan
mengkonstruksi daerah kita dalam impian masyarakat di daerah, bukan impian satu
atau dua orang. Kalau impian kota luwuk
dibangun dari mimpi satu-dua orang saja, saya pikir ini bukan obsesi yang mesti
di apresiasi, tapi kehendak yang mesti dikubur dalam-dalam. Jangan-jangan setiap bangunan, nama jalan,
pelabuhan laut dan udara, ruko dan kantor berinisal nama keluarga dari pertama
hingga yang paling akhir memerintah.
Kalau ini yang terjadi, saya bukannya hafal nama pahlawan di kampung
halaman saya, tapi lebih populer mengeja nama keluarga dari rezim yang sedang
berkuasa. Kelemahan lain buku ini tak
memperjelas kemana arah pembangunan sumber daya manusia di Kota Luwuk sebagai
faktor penentu seluruh impian dimaksud.
Bukankah pembangunan yang sempurna jika tak melalaikan pembangunan fisik
dan non fisik? Namun demikian, lepas dari semua kritik itu, saya senang sekali,
sebab perpustakaan di rumah saya bertambah satu literatur yang bercerita
tentang impian dari kampung halaman.
Komentar
Posting Komentar