Mencari Keadilan Dalam Sengketa Pemilukada


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

            Kalau saja pemilukada dilaksanakan melalui mekanisme demokrasi tak langsung, alias dipilih oleh anggota dewan yang terhormat, tentu saja tugas Mahkamah Konstitusi tak akan seberat ini.  Sejak tahun 2005, lebih 50 persen hasil pemilukada berakhir di meja Mahkamah Konstitusi, sisanya diselesaikan lewat pengadilan jalanan dalam wajah yang menyeramkan, yaitu konflik horisontal.  Ambil contoh berdasarkan catatan Republika, Desember tahun 2010, sejak tahun 2008, dari 27 perkara sengketa Pemilkukada, hanya 18 perkara yang selesai diputus, sisanya 9 perkara tidak jelas. Pada tahun 2009, dari total 12 perkara semuanya mampu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.  Artinya tak ada satupun yang tersisa. Ini prestasi tersendiri buat Mahkamah Konstitusi yang patut diberi jempol. Sepanjang tahun 2010, perkara sengketa Pemilukada meningkat hingga mencapai 230 perkara.  Dari keseluruhan sengketa tersebut, Mahkamah Konstitusi mampu memutuskan 215 perkara.  Sisanya 15 perkara menjadi tunggakan hingga tahun 2011.  Dari total sengketa pemilukada yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi hingga memasuki awal tahun 2011, di dominasi oleh ketidakpuasan pasangan calon (paslon) terhadap kemenangan pasangan lain sebagai kompetitor, termasuk kemenangan paslon incumbent pada putaran pertama hingga putaran selanjutnya.  Yang unik, tak ada satupun perkara yang diputuskan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan kekalahan incumbent atas kecurangan paslon lain.  Yang terjadi sebaliknya, mayoritas kemenangan incumbent diperkarakan oleh paslon lain.  Dalam beberapa kasus, praktis kemenangan incumbent dicurigai menggunakan strategi money politics dan mesin birokrasi. Catatan sebuah lembaga survei di Jakarta paling tidak menguatkan asumsi tersebut, dimana pada tahun 2006, dari 90 daerah (3 provinsi dan 87 kabupaten/kota) terdapat kecendrungan empat masalah pokok yang terjadi, satu diantaranya adalah tingginya kemenangan paslon incumbent lewat dua strategi di atas. Faktor pertama, kemenangan mayoritas paslon incumbent dalam banyak pemilukada disebabkan oleh kuatnya strategi money politics.  Semua khalayak tentu paham sekalipun sulit dibuktikan, bahwa besarnya sumber daya yang dimiliki paslon incumbent memungkinkan terjadinya money politics.  Jangankan rakyat kebanyakan, media massa lokal, pengawas dan pelaksana pemilukada dari tingkat KPUD hingga anggota TPS sangat rentan dimodali oleh paslon incumbent. Tidak saja anggota dan pimpinan KPUD, anggota keluarganyapun bisa jadi disandera lewat politik uang.  Dalam banyak kasus, paslon incumbent seringkali mengalihkan sejumlah anggaran untuk kegiatan yang bersentuhan langsung dalam upaya pemenangan pemilukada. Bahkan, sejumlah daerah yang ditinggalkan paslon incumbent membuahkan defisit anggaran yang tidak sedikit. Penggelontoran APBD tanpa kendali dipenghujung pemilukada seringkali baru terungkap pasca kemenangan paslon lain di luar incumbent. Kedua, kemenangan paslon incumbent di dorong oleh tingginya dominasi kekuasaan yang disalurkan lewat mobilisasi mesin birokrasi baik secara latent maupun manifest.  Secara latent, kebanyakan birokrasi dimobilisasi dengan iming-iming jabatan mulai dari yang paling strategis hingga eselon tertinggi.  Jangan heran jika seorang Kepala Badan Kepegawaian Daerah bisa lebih energik memainkan politik praktis dibanding seorang politisi senior di DPRD.  Secara manifest, sejumlah birokrat bisa tampak terang-terangan memamerkan dukungan politiknya mulai dari turun kampanye hingga penggunaan kenderaan dinas.  Jangan kaget jika anda menemukan seorang kepala dinas bisa jadi terang-terangan menyebarluaskan pamflet hingga CD keberhasilan paslon incumbent di pelosok desa.  Kini, bagaimanakah jika sebaliknya yang terjadi, dimana paslon incumbent yang merasa terdzolimi?  Bicara soal dzolim-menzdolimi dalam politik praktis mengingatkan kita pada kemenangan Megawati setelah didzolimi oleh rezim Soeharto.  Gus Dur menang karena terkesan didzolimi oleh rezim sebelumnya.  Bahkan kemenangan SBY tak lepas dari efek politik dzolim-mendzolimi.  Dengan menggunakan logika persamaan bola karet, semakin ditekan, semakin tinggi hentakan seandainya publik merespon secara positif. Masalahnya, siapa mendzolimi siapa dalam pemilukada? Dapatkah opini publik menjadi dasar bagi pengambilan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi? Kalau masalah pertama tentu saja merupakan ranah politik.  Bergantung pada seberapa hebat paslon incumbent menggunakan media massa lokal untuk mempengaruhi publik agar terbit belas kasihan yang memungkinkan lahirnya keberpihakan.  Kalaupun publik setuju berpihak, apakah Mahkamah Konstitusi akan menjadikan opini publik sebagai rujukan dasar dalam memutuskan sengketa pemilukada? Tentu saja tidak, sebab Mahkamah Konstitusi hanya akan berpijak dari fakta dan data-data autentik yang dikemukakan oleh siapa saja yang secara langsung merasa dirugikan.  Kalau saya sebagai paslon incumbent merasa dirugikan secara langsung, maka tentu saja objek materi dan objek formalnya harus saya penuhi sebelum perkara tersebut diadili. Objek materi perkara berkenaan dengan masalah yang disengketakan,  apakah layak dengan bukti-bukti permulaan yang cukup atau tidak sama sekali. Sedangkan objek formal perkara biasanya berkaitan dengan prosedur hukum atau persyaratan yang mesti dipenuhi, termasuk apakah paslon incumbent benar-benar orang yang dirugikan atau tidak sama sekali.  Saya kuatir, jika yang maju ke Mahkamah Konstitusi justru mereka yang secara langsung tak dirugikan dalam pemilukada, seperti kelompok masyarakat tertentu semisal kaum adat, tentu saja saya pesimis untuk memperoleh respon positif dari Mahkamah Konstitusi, apalagi berharap kemenangan dalam pemilukada, jauh panggang dari api. Apakah masyarakat adat secara langsung dirugikan? Siapakah masyarakat adat dimaksud? Tentu saja sumir lagi abstrak. Lalu, bagaimanakah menemukan keadilan dalam sengketa pemilukada? Sederhana, penuhi kedua aspek diatas, baik aspek formal maupun materil. Harus dipahami bahwa hukum positif kita bagaimanapun tetap akan berpijak pada data-data lapangan sebagai bukti pokok.  Sekalipun demikian, putusan peradilan formal tak selamanya memenuhi rasa keadilan yang hakiki dari kita semua. Secara fungsional keadilan hanya mungkin dirasakan jika semua yang mencari keadilan merasa puas atas putusan yang diberikan oleh para pemberi keadilan.  Sayangnya, keadilan fungsional kebanyakan tak diperoleh di atas meja seorang hakim agung sekalipun.  Keadilan fungsional seringkali ditemukan justru pada kelegawaan diri kita untuk menerima keadilan yang diberikan pada orang lain.  Maknanya, kalau saja setiap paslon mau menerima kekalahan atas kemenangan paslon lain, maka disinilah keadilan fungsional tadi sedang berjalan. Jadi, kelegawaan setiap paslon untuk menerima kekalahan maupun kemenangan merupakan putusan yang paling bijaksana dalam pencapaian keadilan fungsional,  jauh melampaui putusan Mahkamah Konstitusi dalam konteks keadilan formal yang tentu saja akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang tak sedikit. Secara praktis proses pencapaian keadilan formal seringkali menguras energi pribadi, kelompok hingga modal sosial sebagai modal pembangunan dalam lima tahun kedepan.  Kini, anda dan saya silahkan memilih, apakah menyelesaikan sengketa pemilukada lewat mekanisme formal yang berbelit-belit penuh biaya dan ketidakpuasan, ataukah memilih mekanisme fungsional yang lebih simpel, elegan serta penuh kearifan dengan cukup berjabatan tangan sambil berucap, “selamat, anda layak mendapat bintang....”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]