Potret Desentralisasi Indonesia Catatan Buat Hari Ultah Otonomi Daerah


Oleh. Muhadam Labolo
Desentralisasi dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada rakyat.  Dengan dasar itu, kita berharap semakin dekat entitas pemerintah pada rakyat semakin cepat pula pelayanan dan respon yang dapat dinikmati masyarakat. Namun gejala apa yang dapat kita amati dewasa ini? Disejumlah daerah, para penguasa lokal memberikan prioritas rendah dalam penyediaan jasa sosial dan investasi untuk infrastruktur yang sangat diperlukan.  Secara umum, penelitian Rajawali Foundation dan Harvard Kennedy School (Sept:2010) menyimpulkan bahwa indikator-indikator sosial Indonesia tak sebaik negara-negara berpenghasilan menengah lainnya seperti Malaysia, Thailand, Philipina dan Vietnam. Seorang anak Indonesia kini berkemungkinan hampir tiga kali lebih besar akan meninggal dunia sebelum ulang tahunnya yang kelima dibandingkan seorang anak di Vietnam. Pada contoh yang lebih sederhana misalnya, kemajuan dalam pembukaan akses air bersih dan kebersihan itu sendiri berlangsung lambat. Hampir sepertiga jumlah anak Indonesia mengalami kekerdilan sedang ataupun berat, dan hampir seperlima tak memiliki berat badan yang layak. Kemungkinan para ibu di Indonesia meninggal saat melahirkan tiga kali lebih tinggi dibandingkan ibu di Vietnam. Dimana komitmen para penguasa lokal plus anggota dewan yang terhormat selama ini? Kalau janji kampanye tempo hari soal air bersih saja tak dapat direalisasikan, jangan berharap ada perubahan untuk sektor lain.  Dibidang investasi misalnya, para investor asing terpukul mundur oleh buruknya infrastruktur, terutama jalan, pelabuhan dan suplay listrik. Buruknya infrastruktur telah menambah beban investor, belum lagi jalan rusak yang selama ini disadari oleh pemerintah daerah namun tak pernah digubris sekalipun.  Kalaupun ada, separuh jalan lebar penuh aspal mulus dilingkungan perumahan para penguasa lokal. Soal listrik tak enak didiskusikan, ketersediaan tenaga listrik Indonesia lebih rendah dari Vietnam. Contoh ironisnya, sumber batu bara sebagai energi alternatif di Kalimantan tak otomatis membuat rumah mereka menyala 24 jam, semuanya diangkut ke berbagai negara.  Kita sulit memahami mengapa pemerintah kurang peduli menyaksikan masyarakat hidup dalam kegelapan sementara mereka bergelimang cahaya dimana-mana. Sepertinya pemerintah mengerjakan terlalu banyak hal yang tak produktif namun gagal bertindak pada saat diperlukan. Lihat saja bagaimana negeri ini telah membuang-buang warisan alaminya dengan mengizinkan hutan-hutannya dirusak tanpa batas. Hibah sekian miliar dari Pangeran Charles untuk keberlangsungan hutan lindung setiap tahun di Jambi  seperti tak ada artinya, kayu tetap terjual ilegal. Menurut saya, untuk melihat masa depan bangsa ini semestinya melihat bagaimana masa depan pemerintahan daerah yang semakin hari semakin jauh dari tujuan desentralisasi.  Jika tujuan desentralisasi mendorong kemandirian,  dimanakah kemandirian daerah ketika 60-70 APBD-nya bersandar pada kucuran pemerintah pusat? Jika tujuan desentralisasi adalah mendorong demokratisasi, dimanakah makna demokrasi diantara carut-marut pemilihan kepala daerah yang tak aman konflik dan tak terinfeksi money politic? Jika tujuan desentralisasi adalah meningkatkan kesejahteraan, mengapa lebih dari 30% rakyat di desa bergantung pada kartu jaminan orang miskin? Jika tujuan desentralisasi adalah mendorong kreativitas, dimanakah kreativitas daerah dapat dinilai jika lebih dari 5000 perda kebablasan dan gaya kepemimpinan kepala daerah yang semakin konsumtif? Jika tujuan desentralisasi adalah mempercepat pelayanan, mengapa para pengusaha dan masyarakat luas membutuhkan lebih dari 150 hari untuk berinvestasi di Indonesia? Jika desentralisasi mempercepat kedewasaan berpolitik dalam proses rotasi kekuasaan, mengapa para elit lokal justru gemar mencari persoalan serta saling mengganggu kinerja dalam pemerintahan? Bagi saya, desentralisasi hanyalah sedikit energi cahaya buat menerangi pemerintah daerah agar dengan otonomi tadi mereka dapat bergerak lebih leluasa. Ditengah cahaya itulah masyarakat boleh memanfaatkan sesuai kebutuhannya. Kalau para pemimpin di daerah baru berkemampuan menyalakan lilin, obor atau petromax, maka bisa dibayangkan kualitas apa yang akan dinikmati oleh masyarakatnya. Kita menginginkan agar para kepala daerah mampu menerangi daerahnya lewat berbagai kebijakan pro-job, pro-poor dan pro-growth. Jika energi tersebut adalah listrik, maka sekurangnya mereka mampu menggerakkan penggilingan padi hingga kerajinan tangan yang mencirikan kemandirian. Lebih dari itu mampu melayani, mengatur, membangun dan memberdayakan masyarakatnya.  Ditengah pesimisme tadi tentu saja tak semua kepala daerah kehilangan sensifitas sebagaimana gambaran diatas, lihat saja keberhasilan Jembrana, Tanah Datar, Sragen, Solo atau Bualemo dua tahun lalu. Tahun ini kita dapat bercermin pada Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan sebagai provinsi dengan peringkat tertinggi dari 33 provinsi. Di level kabupaten kita bisa belajar pada Kabupaten Sleman, Wonosobo, Boyolali, Karanganyar, Jombang, Luwu Utara, Kulon Progo, Pacitan, Sukoharjo dan Bogor.  Di peringkat kota kita bisa mencontoh Kota Jogjakarta, Magelang, Tangerang, Semarang, Samarinda, Bogor, Sukabumi, Depok, Makassar dan Cimahi. Sesuai Keputusan Mendagri Nomor 100-279 Tahun 2012, mereka menjadi provinsi, kabupaten dan kota diperingkat teratas dalam soal kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah terhadap laporan penyelenggaraan pemerintahan sejak tahun 2010. Saya tentu berterima kasih kepada Dirjen Otda yang telah memberikan undangan khusus saat aerobic pagi untuk menghadiri Hari Ulang Tahun Otonomi Daerah ke XVI di Hotel Borobudur, Kamis, 26 April 2012 yang dibuka oleh Wakil Presiden Boediono. Saya sengaja hadir bersama kawan seangkatan saya yang baru terpilih sebagai Wakil Bupati Simelue (Aceh), sebelum sorenya bersama-sama ke Mahkamah Konstitusi. Sambil mengikuti sajian diskusi interaktif antara Pak Dirjend Otda, Siti Zuhro (kawan saya di MIPI) dan Prof. Prasodjo (Wamen Menpan & Reformasi Birokrasi), kepada beliau saya katakan cobalah anda majukan daerah Simelue seperti yang sedang kita saksikan, sayangnya saya lupa mengajak saudara Fuad, Wakil Bupati Muoro di Provinsi Jambi yang juga kawan seangkatan waktu di STPDN tempoe doeloe. Yang pertama pernah aktif di Bintalroh, yang satunya mantan pengurus Binjas dalam kepengurusan Manggala Korps Praja (Senat Praja STPDN).  Saya juga bertemu dengan sejumlah anggota paduan suara Gita Abdi Praja IPDN yang suaranya masih kedengaran hymnes tanpa aransemen disana-sini, beberapa alumni angkatan pertama dan ketiga, berbincang-bincang sebentar lalu janjian bertemu salah seorang bupati yang sedang dirundung masalah. Beberapa pokok pikiran telah saya sampaikan pada kawan baik saya Mr. Hasrul Edyar sebagai Wabup Simelue di Hotel Oasis Amir seusai mengajar para Camat dari Kabupaten Pidie esok harinya. Saya tak bisa berlama-lama, sebab mesti bertolak ke Jogja mengajar DPRD Kabupaten Banyuwangi lalu ke Padang memenuhi undangan Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Sumatera Barat untuk mensosialisasikan ideologi Pancasila pada puluhan guru, tokoh masyarakat dan Lembaga Sosial Masyarakat. Saya rasanya ingin menolak, sebab acara mingguan Plato’s Institute yang saya pimpin bersama Abu Hasan, Syahril Tandjung, Asriadi dan kawan-kawan dari berbagai pelosok serta beberapa praja cerdas selama dua tahun ini takut terbengkalai, namun risih juga menolak kalau yang mengundang senior IIP dan untuk sosialisasi angkatan kedua.  Apalagi stafnya adalah kawan baik sekaligus pengurus aktif senat mahasiswa dimana saya pernah dibantu sebagai Ketua Senat Mahasiswa IIP periode 2000-2001. (Padang, 29 April 2012).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian