Lunturnya Etikalitas Pemerintahan


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Barangkali tak ada satupun negara di dunia dewasa ini yang memperlihatkan gejala dimana para pemimpinnya di pusat maupun lokal sudi bertarung kembali menjadi pejabat rendahan setelah sebelumnya duduk sebagai pejabat puncak baik mantan menteri, gubernur dan walikota tanpa malu-malu. Gejala unik lain misalnya pejabat kepala daerah menyeberang dan berkompetisi di daerah lain sebelum habis masa jabatannya, meluasnya oligarkhi dihampir semua sudut kekuasaan, atau dalam peristiwa terakhir kita menyaksikan dengan vulgar pasangan kepala daerah dilantik dalam buih, kecuali di Indonesia yang katanya wadah persilangan budaya antara timur hingga barat.  Di timur kita memperoleh berbagai filsafat tentang makna teologis yang membentuk pribadi bertanggungjawab tidak saja pada diri dan lingkungan kita, lebih dari itu kepada pencipta yang maha agung.  Pemaknaan ketuhanan tadi mewujud kedalam bentuk tanggungjawab horisontal (hablumminnas) dan tanggungjawab vertikal (hablumminallah).  Pada derajat horisontal tadi kita menggunakan berbagai perangkat sistem sosial yang memungkinkan kita baik sebagai kelompok yang memerintah maupun yang diperintah untuk saling mengontrol agar semaksimal mungkin hidup secara aman, nyaman dan wajar. Dalam perangkat sosial tersebut pula kita berusaha mendesain sistem yang menjamin terciptanya pemerintahan yang baik dari sudut pandang inputnya, prosesnya dan ouputnya. Demikianlah seterusnya hingga ia tidak saja menghasilkan sistem yang baik, juga kualitas individu yang baik. Kualitas terbaik dari sedikit individu tersebut kita hadirkan dalam etalase kepemimpinan pemerintahan.  Sisanya kita biarkan menjadi mayoritas yang siap dipimpin hingga waktu tertentu.  Dalam filsafat timur itu kita diingatkan bahwa tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terhadap perilaku kepemimpinannya di dunia dan akhirat.  Konsekuensi dari akuntabilitas kepemimpinan diatas mengharuskan setiap kita dituntut untuk memilih pemimpin yang memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan kompetensinya baik general maupun teknis. Secara general ia dipersyaratkan memiliki kepadatan moral yang meletakkan setiap pemimpin sebagai examplary center, yaitu pusat percontohan atau suri tauladan sebagaimana diajarkan oleh para rasul dan pengikutnya. Sebagai standar kepemimpinan sederhana kita diajarkan tentang nilai siddiq, tabligh, amanah dan fatonah kepada siapa saja yang akan duduk di puncak-puncak kekuasaan. Dengan modal itu pemimpin diniscayakan suci, bersih tanpa noda, serta menjadi panutan masyarakat luas. Pemimpin demikian hanya mungkin jika ia lahir dan terdidik dalam tatanan masyarakat yang menjadikan aspek spiritual sebagai sumber tata nilai. Kredibilitasnya terekam  dalam masa pertumbuhan dan perkembangan ditengah masyarakat. Ia tercipta dalam proses selektif dalam masyarakat yang melahirkan kepercayaan penuh untuk menjadi pemimpin kelak.  Tentu saja kepemimpinan  dengan sentuhan filsafat timur tadi menghindari terpilihnya pemimpin yang gambaran kredibilitasnya sebaliknya, keluar masuk buih lantaran mencederai kesucian dari nilai kepemimpinan itu sendiri. Jangankan pemimpinnya, tempat dimana para pemimpin hidup dan beraktivitas dipandang suci bahkan dikeramatkan kemudian. Karena nilai kepemimpinan dipandang sakral, maka mereka yang pernah menjadi pemimpin tak akan mungkin menurunkan derajatnya hanya untuk memburu jabatan rendahan setelah menjabat sebagai pimpinan puncak, apalagi sampai menyeberang kesana kemari hanya untuk membuktikan diri layak menjadi penguasa di tempat lain.  Ini tentu saja melanggar satu nilai dalam falsah timur, yaitu pengingkaran terhadap amanah rakyat sekaligus menampilkan birahi kekuasaan yang teramat ambisius, terlepas dari berbagai alasan politis yang tersusun rapi lagi masuk akal. 
          Di penghujung barat kita juga mengimport seperangkat nilai sebagai standar untuk mendesain kepemimpinan pemerintahan.  Filsafat barat yang mengagungkan akal pikiran sebagai landasan dalam menciptakan kriteria dan standar kepemimpinan memungkinkan kita untuk tidak saja membedakan mana yang benar dan mana salah dalam perilaku bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tetapi juga bagaimana menghargai manusia dan kemanusiaan dengan segala hak dasar yang melekat didalamnya.  Atas dasar itu kita percaya bahwa etika sebagai suatu ilmu, tatanan nilai maupun keyakinan sekelompok orang tentang hal baik dan buruk menjadi prinsip dalam berbagai norma dan konsensus untuk mengatur siapa saja, baik mereka yang memerintah maupun yang diperintah.  Kepada mereka yang memerintah tentu saja etika menjadi standar dalam perilaku kepemimpinan.  Dengan etika kita setidaknya dapat membedakan mana makanan dan sampah.  Makanan masuk lewat mulut, sampah keluar lewat anus, bukan sebaliknya. Melalui etika yang didasarkan pada akal pikiran yang sehat kita bisa melerai mana pemimpin dan penjahat. Pemimpin ditasbihkan dalam prosesi sakral di tempat yang suci dan terhormat,  sedangkan penjahat ditahan dalam jeruji besi untuk dimanusiakan kembali. Jika ia dilantik sebagai pemimpin di tempat penjahat, maka siapakah dia sebenarnya? Pemimpin atau penjahat? Pemimpin sekaligus penjahat? Setengah pemimpin dan separuh penjahat? Tentu gejala demikian membingungkan kita semua yang pada suatu ketika bersepakat bahwa pemimpin dan penjahat tak ada bedanya.  Kalau demikian bukankah suatu ketika kita bisa bersepakat bahwa toilet dan musholla tak ada bedanya. Lewat etika kita juga dapat mengendalikan diri dari perasaan malu kalau turun dari level jabatan puncak ke jabatan rendahan. Tentu saja rasa malu tadi akan membatasi libido kekuasaan yang maha luas.  Dengan etika pula kita bisa membatasi kehendak yang luas dari setiap pemimpin agar bisa menuntaskan amanah setiap periode yang ditentukan oleh rakyat dalam konstitusi.  Dengan begitu tak ada pemimpin yang terkesan mengkhianati pilihan rakyat selama lima tahun.  Sesudahnya kita berikan kesempatan agar kembali berkompetisi atau memilih area yang lebih luas dari itu. Inilah nilai penting dari timur dan barat yang selama ini kita tautkan dalam simpul pancasila.  Kalau negara-negara dibelahan timur dan barat, demokratis, otoriter maupun totaliter, komunis atau kapitalistik mampu menetapkan dan menegaskan nilai-nilai moral mereka kedalam norma dan sistem nilai yang disepakati untuk menjaga keluhuran seorang pemimpin, lalu mengapa negara yang kaya akan budaya semacam ini tak terbetik sedikitpun untuk turut menjaga keluhuran kepemimpinan sebaik mereka?

         

Komentar

  1. rentetan kata-kata dan kalimat yang sangat logis,mudah dipahami dan sangat radikal, membuat kuping jadi sedikit panas...membuat saya selalu termotivasi dan tidak pernah ketinggalan dengan perkembangan tulisan bapak...bahkan tidak sabar dengan ide2 brilian selanjutnya....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian