Meningkatnya Ongkos Tukang Memerintah
DR. Muhadam Labolo
Analisis Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Fitra) yang dirilis Republika tanggal 4 Juli 2011
(hal.3) menggambarkan kenaikan serius terhadap “ongkos tukang” memerintah
dibanding belanja publik di sejumlah pemerintah daerah. Singkatnya, belanja pegawai lebih besar daripada belanja
modal. Analisis itu
menunjukkan bahwa pada 2007 porsi rata-rata belanja pegawai daerah dari 44
persen APBD meningkat menjadi 55 persen pada 2010. Sementara belanja modal
mengalami penurunan dari 24 persen pada 2007 menjadi 15 persen pada 2010. Pada APBD 2011, terdapat 124 daerah yang
belanja pegawainya mencapai diatas 60 persen dan belanja modalnya hanya 1 sd 15
persen. Dari 124 daerah tersebut,
sebanyak 16 daerah memiliki belanja pegawai diatas 70 persen dari APBD. Belanja pegawai tertinggi dicapai oleh
Kabupaten Lumajang dengan angka 83 persen dari APBD. Jika hasil diatas kita bandingkan dengan data
hasil analisis Kementrian Dalam Negeri pada tahun 2005 (Made Suwandi), tingkat
serapan APBD pada 125 Kabupaten/Kota sebenarnya sudah mencapai diatas 50 persen, tepatnya 50,03 persen. Jika sisa tersebut dikurangi ongkos
pemilukada dan pemeliharaan dilingkungan pemerintah daerah, maka yang tersisa
untuk publik sekitar 15 sd 25 persen. Itupun kalau menetes kebawah, bukan
sebaliknya (trickle up effec). Perbandingan tersebut memperlihatkan slack yang begitu jauh antara
kepentingan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Kita perlu mengingatkan, bahwa
semakin jauh jarak antara pemerintah dan yang diperintah, semakin tinggi pula resiko
yang mesti dibayar pada titik tertentu.
Gambaran diatas juga menunjukkan bahwa pemerintah daerah bergerak
semakin cepat kearah kepentingan dirinya sendiri, meninggalkan kepentingan
publik yang semakin hari semakin menyusut dan raib entah kemana. Hal ini jelas mengganggu rasa keadilan,
dimana mereka yang berkeringat membayar pajak setiap hari tak memiliki masa
depan yang jelas dibanding mereka yang duduk dalam ruang birokrasi dengan
pertambahan nilai mulai dari gaji, tunjangan jabatan, perjalanan dinas, honor
hingga fasilitas dinas yang terus membengkak.
Kalau saja belanja pegawai tadi berkorelasi signifikan pada peningkatan
kinerja hingga melahirkan ouput, outcome,
benefit dan dampak positif bagi masyarakat, tentu saja tak perlu
dipersoalkan, toh juga biaya tukang dan hasil yang diperoleh melampaui target.
Yang mencemaskan jika sebaliknya. Jika
kita kaitkan dengan catatan hasil evaluasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (LPPD) oleh Kementrian Dalam Negeri tahun 2011 menunjukkan hanya 3
kabupaten terbaik mewakili luar Jawa (Luwu Utara, Enrekang dan Bualemo) yang
memperlihatkan kinerja pemda semakin positif.
Untuk klasifikasi kota
satu-satunya diwakili oleh Sawahlunto, Sumatera Barat. Bagaimana dengan Provinsi Sulawesi
Tengah? Saya kira kita semua paham
dengan urutan pertama dari belakang (diantara 33 provinsi) se-Indonesia.
Posisi juru kunci tersebut tentu saja
diakumulasi oleh catatan LPPD dari seluruh kabupaten dan kota di wilayah
Sulawesi Tengah. Saya senang mendengar
Gubernur sedikit gusar dengan hasil raport merah tersebut, ini menunjukkan
keinginan kuat beliau untuk memperbaiki catatan buram di tahun mendatang. Sayangnya, keinginan kuat Gubernur belum
tentu akan terwujud sejauh
kabupaten/kota tak memperlihatkan perubahan kinerja yang berbanding lurus. Harus diakui, beberapa kabupaten masih berstatus
disclaimer, bahkan ada yang
santai-santai saja meskipun sudah empat kali berturut-turut berada pada titik
nadir sesuai hasil visum-opname BPK. Tingginya dinamika politik di daerah telah
melupakan upaya untuk memperbaiki nilai raport tadi agar segera naik
kelas. Para elit lokal hampir kehilangan
rasa malu, sebagaimana catatan seorang penulis di harian ini tentang bagaimana
perasaan malu para pemimpin Jepang yang jangankan gagal mempengaruhi kebijakan
dari sektor militer dan ekonomi, kurang fasih membaca huruf kanji-pun dipandang
sebagai sinyal kegagalan dalam mengangkat harkat dan martabat budaya Jepang
baik domestik maupun international.
Inilah yang disebut dengan semangat Bushido, sebuah spirit yang mengalir
deras dalam darah seorang Samurai, pasukan Kamikaze hingga perusahaan raksasa
sekelas Honda, Toyota, Mitsubishi, Yamaha dan Suzuki. Akhirnya, kita melihat kemenangan mereka
dimana-mana, baik pada bidang militer, ekonomi, politik, teknologi, maupun sosial
budaya. Saya kuatir kalau hanya Gubernur
Sulteng saja yang memiliki rasa malu untuk memperbaiki kinerja pemerintahan daerah,
tentu ini hanya akan menjadi sia-sia belaka.
Kita menginginkan agar rasa malu tersebut merembes jauh ke relung kalbu
setiap kepala daerah di wilayah yang maha kaya ini. Lalu berlanjut pada masyarakatnya.
Segera setelah itu duduk bersama lalu memperbaiki dengan telaten apa saja yang
mesti dipacu dan dipicu agar bukan saja keluar dari deretan kelompok provinsi
terbelakang, tetapi terkemuka paling tidak dijajaran Sulawesi. Saya selalu membandingkan dengan tetangga
bungsu Provinsi Gorontalo, dalam sepuluh tahun terakhir mereka mampu
membuktikan pada level nasional keunggulan lokal yang dimiliki hingga
menempatkan posisi mereka jauh berada diatas posisi Sulawesi Tengah. Apa yang mereka lakukan? Setiap tahun mereka
sibuk melakukan general chek up,
mulai dari kelemahan sistem hingga rendahnya sumber daya manusia. Hasil general
chek up tadi dianalisis dengan melibatkan para pakar dan instansi terkait
baik pusat maupun daerah, selanjutnya dijadikan agenda dalam bentuk short time hingga long time. Semua agenda
tersebut pada akhirnya muncul dalam evaluasi LPPD yang terus di-recovery. Lihat saja bagaimana program
unggulan Kabupaten Bualemo melalui kebijakan-kebijakan yang menyentuh langsung
kepentingan masyarakat. Lihat pula bagaimana kerja keras Bupati Gorontalo Utara
untuk memperbaiki peringkatnya yang terbilang cukup rendah. Atau silahkan tengok bagaimana sibuknya
Kabupaten Bone-Bolango yang bekerja sendirian tanpa wakil, dan Kabupaten Pohuwato
yang bolak-balik Gorontalo-Jakarta beserta tim reformasi birokrasinya untuk
melatih sumber daya aparatur guna memperbaiki performa pemerintahan daerah yang
masuk peringkat 10 terburuk. Dengan
peringkat dibawah rata-rata, mereka malu dan karena itu bekerja keras untuk
memperbaikinya. Kalau saja para pemimpin
di wilayah ini memiliki rasa malu seperti para pemimpin di Jepang, atau minimal
memiliki spirit sebagaimana dipraktekkan oleh para kepala daerah di wilayah
Gorontalo, saya sangat yakin peringkat kita akan jauh lebih baik dimasa akan
datang. Saya paham dua faktor penting mengapa
provinsi semuda itu berlari cukup kencang dibanding provinsi kita. Pertama, kondisi wilayahnya yang relatif tak
begitu luas sehingga setiap kepala daerah dapat segera melihat, mendengar dan
mencium apa yang dikerjakan oleh kepala daerah disebelahnya. Situasi ini memicu para kepala daerah saling
berkompetesi membuat program dan kegiatan yang bersifat populer dan berbeda. Anda bisa bayangkan, kalau penduduk tetangga
bisa bebas keluar-masuk rumah sakit gratis, tentu saja masyarakat disebelahnya
akan mengadu pada kepala daerahnya, mencoba membandingkan, sekaligus
mengkritik. Tentu saja kepala daerah
akan merasa malu jika tak mampu menyiapkan kebijakan yang lebih kompetitif. Jangan heran banyak masyarakat yang melakukan
migrasi untuk berobat
gratis ke Gorontalo. Bisa jadi diantara
mereka ada penduduk Sulawesi Tengah yang menyusup karena tak mampu berobat
gratis diwilayahnya sendiri. Menyedihkan, sekaligus memalukan bagi pemerintah
daerahnya. Faktor kedua yang mendorong
provinsi itu melaju cepat karena para elit lokal adalah generasi muda yang
penuh energik. Lihat saja usia sebagian kepala daerahnya. Sisanya adalah
generasi tua yang dalam beberapa hal dinilai telat mikir sehingga tak sanggup
mengejar cita-cita dan impian indah para kepala daerah yang mengidap semangat
kerja keras lagi pantang menyerah untuk mengubah daerahnya menjadi yang termaju
di kancah nasional.
Komentar
Posting Komentar