Siapa Gubernur Kita?
Oleh. Dr. Muhadam
Labolo
Pasar
Pemilukada di kampung halaman saya kian ramai.
Mungkin akan seramai tanah abang setiap mendekati lebaran. Dari tingkat
kabupaten hingga level provinsi penuh baliho di tikungan hingga ujung jalan. Beragam
pesan yang disampaikan, mulai dari mohon doa restu hingga statement perubahan. Kawan saya menelpon seminggu lalu, beliau
bertanya siapa Gubernur Sulteng berikut? Saya jawab, siapa saja boleh yang
penting punya modal kepemimpinan. Syarat
lain saya pikir soal praktis. Saya paham bahwa kawan saya ingin agar saya
mengomentari para kandidat Gubernur Sulteng yang akan bertarung sebentar
lagi. Bagi saya, modal kepemimpinan yang
mesti ada pada calon kandidat Gubernur Sulteng adalah nilai kejujuran. Melanjutkan diskusi saya pada harian ini soal
modal kejujuran, saya ingin agar kejujuran menjadi pondasi kokoh yang mengalir
deras dalam integritas yang kuat saat mempertaruhkan visi dan misinya. Bagi masyarakat di Sulteng saya pikir tak ada
yang kurang soal sumber daya kepemimpinan, apakah dia seorang mantan militer,
birokrat, ilmuan, politisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat atau
tokoh pemuda. Yang sulit ditemukan
adalah seberapa besar integritas kejujuran mereka. Sederhananya, apakah mereka mau jujur
mengatakan bahwa hartanya diperoleh dengan cara yang halal. Apakah jujur jabatan
mereka diperoleh dan dipertahankan dengan cara-cara etis. Apakah jujur istri
mereka diperoleh dengan cara yang halal.
Bahkan pertanyaan yang satu ini mungkin agak lucu, apakah mereka mau
jujur menyatakan bahwa mereka sudah cukup tua untuk memimpin provinsi seluas
Sulawesi Tengah? Mengapa pertanyaan yang
satu ini muncul dalam benak saya? Sebab tampaknya banyak kandidat yang akan
meramaikan bursa pemilihan Gubernur Sulteng berasal dari kelompok usia renta,
alias nenek-nenek (baca: tete-tete). Sudahlah, sebaiknya beri
kesempatan pada yang lain untuk memakmurkan dan mensejahterakan kampung halaman
ini. Bagi mereka yang sudah usia renta,
inilah waktu yang tepat untuk melakukan kontemplasi diri. Melakukan meditasi
untuk mengevaluasi diri apakah selama memerintah sudah maksimal atau
begini-begini saja. Tugas yang tua
adalah melapangkan jalan bagi para pemimpin muda. Salah satu tugas pemimpin adalah menyiapkan
kader untuk keberlanjutan suatu pemerintahan.
Kalau anda pernah jadi pemimpin dan tidak mampu menciptakan kader, maka
dengan tegas saya katakan bahwa anda telah gagal menjadi pemimpin, sebab selama
ini anda hanya memimpikan diri untuk dielu-elukan, tanpa menyiapkan masa depan
bangsanya, daerahnya dan masyarakatnya. Di
kampung saya, dalam 20 tahun terakhir yang jadi gubernur kata kawan saya
itu-itu saja, muka lama dengan semangat lama.
Apa yang bisa diharapkan untuk membangun sebuah wilayah paling luas di
jazirah sulawesi hari ini? Saya kira tinggal mimpi kosong, sebab yang tua
terkadang bergantung pada tongkat dan obat. Tongkat untuk menuntun, obat untuk
menguatkan persendian yang semakin ngilu.
Syukur-syukur kalau tongkat bisa berubah menjadi tongkat Nabi Musa dan
obat bisa berubah menjadi obat kuat.
Masalahnya bukan hanya disitu, mereka yang tua sebaiknya menjadi simbol
bagi pemimpin muda sehingga menjadi panutan dalam mencapai tujuan yang
diinginkan, lihat saja bagaimana regenerasi di Jepang. Di Indonesia saat ini, dari 33 provinsi, mungkin
85 persen dipimpin oleh kepala daerah yang boleh dikatakan muda. Sisanya di isi oleh kepala daerah yang
selayaknya duduk manis di rumah sambil menimang cucu kesayangan. Lihat saja Gubernur
Jambi, Bengkulu, Kalteng, Sulsel atau NTB. Saya kira, mencari kader sebagai
Gubernur Sulteng tidaklah terlalu sulit, bukankah kita tidak terlalu kekurangan
sumber daya dibanding tetangga di sebelah kita (Gorontalo). Bahkan, sepuluh
tahun lalu masyarakat Gorontalo tak pernah menyangka bahwa memilih Fadel
Muhammad ternyata mampu mengubah Gorontalo menjadi salah satu provinsi termaju
di wilayah Indonesia timur (lihat indeks pertumbuhan ekonomi sulawesi 2010),
terlepas apapun yang pernah dilakukan untuk merayu investor datang ke
daerahnya. Belajar dari itu, bagi kita sekarang tinggal memilih, mau mencari
mantan bupati yang masih muda, politisi muda, birokrat muda, ilmuan muda,
pengusaha muda, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau tokoh pemuda
dengan berbagai pengalaman yang telah mereka lalui dengan baik. Saya pikir sumber daya di Sulteng relatif tersedia
dari tingkat lokal hingga level nasional.
Masalahnya, bagaimana mengajak mereka agar bersedia mengabdi bagi
masyarakat di kampung halaman.
Saya
teringat warning lisan Presiden SBY
dalam pidato tanggal 22 agustus kemaren,
beberapa kandidat kepala daerah benar-benar aji mumpung, tak puas
menjadi kepala daerah malah pengen jadi wakil kepala daerah, termasuk kalau
punya istri dua, semuanya ikut mencalonkan diri. Yang sudah pernah menjabat tetap ingin menjadi
penguasa kembali, seakan tak ada lagi kader yang siap menggantikan posisi
mereka. Ini tidak melanggar norma
politik, tetapi mencederai etika dalam berpolitik. Bukankah ini jelas-jelas menggambarkan bau
nepotisme. Nepotisme adalah langkah awal
membentuk perilaku kolutif. Kolusi
sendiri adalah cikal bakal terbentuknya praktek korupsi. Saya setuju dengan dengan pidato jujur
tersebut, walaupun seharusnya dimulai dari level atas, sebab bukankah ada
mantan menteri yang tak puas hingga melenggang kangkung menjadi walikota dan
wakil gubernur? Ini juga tidak melanggar norma, tapi sekali lagi mencederai
etika dalam berpolitik. Di Amerika,
mungkin amat memalukan kalau anda sudah pernah jadi kepala daerah tiba-tiba
terjun lagi memperebutkan kursi wakil kepala daerah, apalagi dari menteri turun
menjadi kepala daerah. Di Indonesia, ini tidak memalukan, bahkan kandidatnya
tidak tau malu. Jadi, siapa yang salah? Sistem yang dibuat pemerintah pusat
atau memang kandidat yang benar-benar haus kekuasaan? Pemerintah tidaklah selalu mengatur hingga
detil melarang ini, melarang itu. Ruang
kosong yang tidak di atur selayaknya di isi oleh aturan moral yang berlaku dalam
masyarakat baik dalam bentuk etika profesi,
etika jabatan, etika pemerintahan maupun etika politik. Kalau semuanya diatur, maka manusia dapat
kehilangan ruang berekspresi, kehilangan otonomi bahkan kehilangan hak
asasinya. Kita bukan robot, tapi mahluk
Tuhan yang paling seksi, kata Ahmad Dhani.
Lalu,
siapa yang berperan dalam mencari kader muda dengan segudang kriteria yang kita
siapkan saat ini? Saya kira ini tugas berat partai politik dan komitmen yang
kuat dari seluruh masyarakat Sulteng.
Tugas partai politik adalah mengidentifikasi dan mulai melamar kandidat
Gubernur Sulteng yang memiliki integritas kejujuran selain kelayakan usia
supaya tidak terlanjur uzur. Jangan
sampai kita lebih banyak mengurus asuransi kesehatan dan birokrasi rumah sakit
dari pada merealisasikan visi dan misi kepala daerah. Dengan segala hormat kita
berharap agar generasi tua lebih banyak menjadi panutan, sambil berdzikir
setiap hari menunggu antrian dihadapan Tuhan, mudah-mudahan amal ibadah kita
selama ini diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan begitu kesombongan kita akan
semakin berkurang, bahkan berubah menjadi kearifan yang tak tertandingi. Inilah
manusia yang bersyukur akan nikmat Tuhan. Tugas para cendekia adalah
memprovokasi masyarakat agar keluar dari nilai-nilai kejumudan selama ini,
bahwa kalau bukan nenek-nenek yang
jadi gubernur seakan-akan daerah kita akan dikutuk Tuhan, atau kalau bukan
militer yang pimpin Sulteng pasti kacau. Saatnya kita berubah, sebagaimana statement para kandidat supaya kita
segera berubah. Jangan berharap para
elit berubah kalau masyarakat juga tidak berubah, sebab bukankah pemerintah
adalah produk dari masyarakat. Pemerintah dan masyarakat memiliki hubungan yang
tak mungkin dipisahkan. Kalau hanya berharap
pemerintah yang berubah saya pikir sulit, sebab mereka hanyalah produk dari kita,
bagaimana kalau kita yang berubah supaya jelas hubungan kita dengan pemerintah
di masa depan. Mungkin ada baiknya kita renungkan penggalan syair sebuah lagu
anak muda saat ini....”mau dibawa kemana
hubungan kita......”.
Komentar
Posting Komentar