Kegagalan Parpol Mereproduksi Kemampuan Elit Lokal


Oleh. Dr. Muhadam Labolo
           
                Di jaman Orde Baru, kalau anda berkenan masuk partai politik sekelas PPP, PDI ataupun Golkar, anda dan saya harus benar-benar memiliki nyali dan kemampuan intelektual yang memadai. Nyali dibutuhkan setidaknya untuk menghilangkan rasa takut akibat intimidasi rezim berkuasa.  Sedangkan kemampuan intelektual dibutuhkan untuk membangun argumentasi dalam menjalankan fungsi sebagai anggota dewan. Kemampuan intelektual tersebut bisa tercermin dari kemampuan mengartikulasikan aspirasi masyarakat di dewan, kecakapan ber-orasi yang hebat, gagasan cemerlang dengan alasan rasional, serta semangat heroik yang meyakinkan sebagai kebanggaan representasi rakyat ketika berbicara di podium.  Kalau anda tidak percaya, silahkan tanya pada orang tua jaman itu, bagaimana hebatnya para politikus lokal kalau berbicara saat kampanye dan sidang dewan.  Semua kader rata-rata memiliki kemampuan yang tak bisa di pandang remeh, apakah itu PPP maupun PDI, apalagi partai sekuat Golkar.  Tak usah bicara di level nasional dimana gedung senayan dipenuhi oleh politikus yang memiliki kemampuan luar biasa dari masing-masing daerah.  Di tingkat lokal saja sudah cukup meyakinkan, sebab mereka lahir dari proses rekrutmen yang ketat.  Semua anggota dewan baik di tingkat pusat maupun lokal lahir dari elit di masyarakat yang benar-benar relatif terdidik dan berpengalaman, bukan politikus murahan yang tiba-tiba muncul langsung jadi pengurus inti sebuah parpol, apalagi ujug-ujug menjadi pimpinan dan alat kelengkapan dewan.  Bukan kader kutu loncat yang bosan di satu parpol lalu memohon belas kasihan agar mendapat posisi di parpol lain. Semua dimulai dari proses rekrutmen parpol dengan perangkat sistem dan mekanisme yang tersedia.  Kader parpol pada umumnya berasal dari kelompok politikus yang benar-benar berkarir dari tingkat ranting.  Sisanya terdiri dari mantan birokrat dan militer papan atas.  Di tingkat lokal misalnya, kalau anda ingin menjadi Bupati atau Walikota, apalagi bermimpi menjadi Gubernur, setidaknya kalau anda seorang yang berbasis militer paling kurang berpangkat kolonel.  Kalau anda berbasis pegawai negeri sipil, minimal pensiunan sekretaris daerah.  Kalau anda seorang politikus murni, pastilah anda sudah malang melintang di parpol, sudah sepuh membesarkan parpol, sudah pengalaman makan asam-garam, bahkan sudah paling senior di parpol tersebut.  Jika anda dan saya ingin menjadi anggota dewan yang terhormat, selain kecakapan diatas, setiap anggota dewan diteliti khusus mulai dari asal-usulnya hingga hidup kesehariannya bersama tetangga kiri-kanan, depan-belakang. Untuk apa semua itu dilakukan? Jawabannya sederhana, untuk memastikan bahwa setiap kader parpol benar-benar memiliki kemampuan dan kecakapan intelektual yang memadai, serta dikenal dan didukung oleh masyarakat setempat.  Ini dilakukan oleh parpol secara hati-hati sebelum diajukan lewat daftar urut caleg pada setiap pemilihan umum. Akibatnya, anda bisa lihat bagaimana kemampuan mumpuni para kader parpol tersebut di parlemen. Terlepas dari upaya rezim Orba waktu itu dalam melakukan infiltrasi dan sterilisasi pada semua kader parpol, namun sistem dan mekanisme parpol secara internal relatif berjalan pada tahap seleksi. Memang harus diakui bahwa kevokalan para anggota dewan saat itu dibatasi oleh rezim berkuasa. Namun demikian banyak juga anggota dewan asal PPP dan PDI yang cukup lantang hingga tak gentar di recall oleh partainya sendiri. Sekarang silahkan anda bandingkan sendiri bagaimana kemampuan anggota dewan saat ini baik di tingkat lokal maupun pusat. Satu hal yang patut diacungi jempol, keberanian berbicara di dewan harus diakui, karena memang tak ada lagi batasan dari rezim berkuasa, apalagi hidup dalam suasana demokrasi.  Sayangnya, keberanian berbicara tersebut relatif tak dibarengi oleh kualitas argumentasi yang lahir dari kadar intelektualitas. Akibatnya, anda bisa saksikan di layar kaca maupun lewat mata telanjang, tak ada argumentasi yang berbobot.  Kalau itu berkenaan dengan fungsi anggaran, tak ada diskusi yang berkualitas kecuali perdebatan pragmatis yang bertele-tele disebabkan pembagian jatah projek yang tak adil menurut sebagian anggota.  Sudah rahasia umum jika anggaran belum diketuk namun jatah pimpinan, fraksi, komisi maupun badan anggaran lebih duluan final dibanding kepentingan masyarakat luas.  Jangan heran jika ada anggota dewan di senayan berteriak keras akibat ketidakadilan pimpinan, badan anggaran dan kementrian keuangan selaku penjahat anggaran dalam distribusi anggaran yang tak merata. Di level daerah relatif sama saja, jatah para pimpinan dan alat kelengkapan sudah duluan final ketimbang anggaran untuk para SKPD dan masyarakat luas. Jika itu berkaitan dengan fungsi legislasi, maka kualitas anggota dewan segera bisa di ukur lewat berapa banyak produk legislasi yang dihasilkan dalam satu periode.  Kenyataannya mereka hanya menunggu draft perda yang disodorkan oleh eksekutif.  Maka, kalau selama lima tahun eksekutif tak menyodorkan draft perda, maka praktis fungsi legislasi dewan benar-benar tak efektif berjalan.  Belum lagi seberapa jauh kualitas perda yang dihasilkan, jangan-jangan semua yang dibuat hanyalah hasil copy-paste dari studi banding selama ini, tanpa bertumpu pada karakteristik daerah masing-masing. Ribuan perda dibatalkan pemerintah pusat dalam 10 tahun terakhir setidaknya menunjukkan kualitas perda kita benar-benar bermasalah.  Di masa Orde Baru, kita hampir tak menemukan masalah demikian. Berhubungan dengan fungsi pengawasan, reses, hearing dan konsultasi publik sebagai intrumen kontrol tak menunjukkan output yang efektif untuk memperbaiki masalah di daerah.  Semua masalah yang ditemukan raib lewat pertukaran kepentingan dalam pembahasan Ranperda APBD.  Seakan di daerah kita tak ada masalah yang sesegera mungkin patut dituntaskan. Seperti lembaga pegadaian, para wakil rakyat tersebut berprinsip bagaimana menyelesaikan masalah tanpa masalah. Mengapa semua itu terjadi? Saya menduga bahwa parpol di daerah termasuk di pusat gagal melakukan seleksi dalam proses rekrutmen kader.  Mereka yang bahkan tak pernah berkeringat membangun parpol tiba-tiba meloncat bak tupai menjadi elite parpol, bahkan simsalabim abrakadabra berubah menjadi pimpinan dan ketua pada semua jenis alat kelengkapan dewan, termasuk mengetuk palu menentukan anggaran disana-sini. Bahkan kalau investasi selama menjadi anggota dewan sudah cukup dari hasil kongkalingkong sebagai pengusaha lokal, ditambah  restu parpol plus nasib bagus, bisa jadi melompat menjadi kepala daerah.  Sialnya disanalah masalah kemudian melebar kemana-mana.  Rendahnya kemampuan intelektual, kurangnya kecakapan sebagai politikus, serta minimnya pengalaman dalam manajemen pemerintahan, berakibat pada kaburnya pengelolaan pemerintahan daerah.  Tak ada visi dan misi yang jelas, kecuali syarat pelengkap menu dalam rangka fit and proper test.  Tak ada program dan kegiatan yang berkesesuaian dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat langsung, kecuali untuk mendongkrak popularitas elit. Apalagi jika moment itu mendekati perhelatan pemilukada.  Setelah itu, tak ada yang tersisa kecuali penyesalan. Rendahnya intelektual dan kecakapan anggota dewan kini ibarat duri dalam daging.  Sulit dibedah untuk dikeluarkan, sebab kitalah yang memilih lewat kesadaran optimal maupun ketidaksadaran akibat rupa-rupa janji yang mereka sebar-luaskan.  Dalam jarak yang panjang kita kuatir menjadi kanker ganas yang meluas kemana-mana. Kehadiran mereka bukan mustahil dapat mengancam organ vital semacam paru-paru, hati, ginjal hingga jantung pemerintahan.  Bukankah gejalanya sudah terlihat ketika sepuluh tahun terakhir ini parpol gagal mendidik kadernya. Semua itu dapat dilihat dari kesemrawutan wajah pemerintahan kita di daerah hingga pusat. Kalau anda menemukan elit lokal seperti anggota dewan dengan kualitas yang tak memadai, berbicara asal bunyi tanpa argumentasi rasional, jauh dari sopan-santun dan etika berpolitik, mabuk dijalanan, penuh gosip perselingkuhan, performance dan kinerja rendah, maka yakin saja itulah reproduksi parpol yang paling tinggi.  Parahnya kalau kader parpol tersebut menjadi kepala daerah yang jangankan mengelola pemerintahan, mengingat visi dan misi yang dibuat pendek dan sederhana pun ia lupa, apatah lagi kalau ia tiba-tiba menjadi pengurus elite PSSI yang mengurus persepakbolaan di tingkat lokal, pastilah amburadul.  Lihatlah bagaimana kebodohan elit lokal kita yang kini menjalar dan menjadi virus dimana-mana, mulai dari pengurus partai, anggota dewan, kepala daerah, hingga pengurus PSSI.  Tentu saja kita semua yakin bahwa parpol sangat berkontribusi dalam kegagalan penciptaan sumber daya elit sebagaimana terlihat di pentas politik Indonesia.

           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian