Menimbang Kembali Pemilihan Kepala Daerah Tak langsung, Respon Terhadap Mekanisme Demokrasi Langsung di Indonesia
Oleh. Dr. Muhadam
Labolo[1]
Pendahuluan
Pemilihan
kepala daerah merupakan bagian dari kerangka mekanisme demokrasi di Indonesia.
Sebagai bagian dari hal itu, pemilukada[2]
memiliki esensi penting dalam menjawab sejumlah hal pasca desentralisasi. Hadirnya pemilukada paling tidak di dorong
oleh lima hal penting yaitu, pertama,
respon terhadap tuntutan aspirasi masyarakat yang semakin luas akibat tingginya
dominasi partai lewat kekuasaan legislatif lokal. Kedua, lahirnya perubahan pada level konstitusi mendorong
dilakukannya perubahan secara normatif terhadap semua pengaturan soal
pemilukada. Ketiga, pemilukada merupakan proses pembelajaran demokrasi pada
tingkat lokal. Lahirnya leadership
memberi harapan bagi terciptanya tanggungjawab yang tinggi melalui pendekatan
kearifan lokal. Keempat, pemilukada
sebagai spirit dalam penyelenggaraan otonomi, dimana aktualisasi hak-hak
otonomi daerah diantaranya dapat memilih dan dipilih secara langsung. Kelima,
pemilukada sebagai proses pendidikan kepemimpinan bangsa di setiap strata dapat
menciptakan kepemimpinan yang kuat.
Terhadap kelima persoalan diatas, pertanyaan yang dapat dikemukakan
adalah apakah realitas pemilukada langsung dalam lima tahun terakhir telah
menjawab hal dimaksud? Kalau iya, indikasi apa saja yang menunjukkan
semua itu. Jika sebaliknya, maka perlukah kita mempertimbangkan kembali
pemilukada tak langsung dimasa mendatang?
Apakah keunggulan dan kelemahan dalam sistem representative democracy?
Lima
catatan pendahuluan dalam Jurnal Pamong Praja oleh Surbakti, Haris, Rowa, Fatoni
dan Agustino menjadi rujukan pengembangan lewat sejumlah kesimpulan dan saran yang
ditawarkan.[3]
Sejumlah pertanyaan yang dikemukakan oleh Surbakti (2005) tentang keajegan
sistem pemilukada pada dasarnya telah terjawab melalui perubahan sistem hingga
aturan pelaksanaannya sejak digulirkan tahun 2005 hingga saat ini. Sedangkan catatan Haris (2005) tentang lima
potensi konflik dalam pemilukada pada pokoknya relatif dapat diselesaikan lewat
solusi yang ditawarkan, yaitu pembangunan konsensus dengan seluruh stakeholder dan pentingnya sikap netral
pemerintahan daerah. Dua potensi konflik
yang tetap muncul hingga saat ini adalah sumber konflik yang berasal dari
mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah dan darah, serta sumber
konflik yang bersumber dari penghitungan suara hasil pemilukada. Catatan menarik lain adalah apa yang
dianalisis Rowa (2009) tentang deskripsi terkini problem pemilukada sehingga
mendorong perlunya revisi sistem dengan mempertimbangkan aspek efisiensi. Dilemma ongkos demokrasi yang semakin tinggi
mengakibatkan kecenderungan inefisiensi,
sebaliknya pengurangan ongkos demokrasi
setidaknya mendorong terciptanya efisiensi. Pemilukada demokratis menurutnya memenuhi
syarat legitimasi etis, sedangkan pemilukada efisien bermakna keseluruhan
proses pemilukada berjalan diatas pertimbangan efisiensi seperti waktu, biaya,
tempat dan aspek legalitas. Kupasan Fatoni (2010) yang sekalipun hanya
mengidentifikasi permasalahan pemilukada di lapangan, namun kesimpulan dan
saran yang cukup mengejutkan pada akhirnya mendukung pengembangan tulisan ini,
dimana pada negara modern dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang banyak,
prinsip demokrasi dapat dilakukan melalui sistem perwakilan (representatif government). Alasan lain bahwa kepala daerah dan wakil
kepala daerah sebagai kepala pemerintahan yang dipilih oleh DPRD
bertanggungjawab kepada para pemilih dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Catatan akhir Agustino (2010) tentang masalah pemilukada lewat pendekatan teori
stasionary bandits yang menciptakan
apa yang disebut Olson[4]
sebagai roving bandits, menyimpulkan
bahwa semua cita-cita pemilukada yang dikemas dalam tujuan ideal jauh dari
harapan semula, kecuali menyisakan slogan semata dan cerita. Dengan mengambil case study di Provinsi Jambi dan
Bengkulu, ia menunjukkan bahwa demokrasi di aras lokal justru telah dipenjara
oleh kepentingan penguasa lokal. Pada
akhirnya, keseluruhan kesimpulan mengandung saran pada perubahan sistem dan harapan
terhadap pemahaman mendalam dari para pelaku kebijakan di level operasional. Jika tiga kesimpulan terakhir diintegrasikan,
maka terdapat petunjuk dimana kemungkinan mekanisme demokrasi lewat alternatif
lain dapat menjawab permasalahan di atas, yaitu terpenuhinya pemilukada yang
tetap demokratis, efisien, legitimate, partisipatif, akuntabel, komunikatif,
serta terciptanya sistem perwakilan dan pertanggungjawaban yang efektif. Berpijak
dari semua itu, penulis bermaksud mengurai alternatif mekanisme demokrasi lewat
pemilukada tak langsung. Tinjauan ini mencoba
menitikberatkan pada aspek teoritik dan realitas empirik dengan harapan dapat
memberi landasan yang kuat terhadap alternatif pemilihan kepala daerah tak
langsung di Indonesia.
Demokrasi dan Cara Kerjanya
Tanpa
menelurusi demokrasi sebagai suatu konsep sekaligus sistem yang rumit dengan seperangkat
defenisi yang bergantung pada realitas dimana ia bersentuhan, kita hanya akan
mengambil bagian terpenting yang berfungsi menjawab pertanyaan tentang relevansi
demokrasi langsung dan tak langsung.
Demokrasi, sebagaimana lazim kita pahami merujuk pada argument populer
Lincoln (1963) by the people, rule the
people and for the people,[5]
menyisakan perdebatan yang tak habis-habisnya sejak para filosof sekelas
Sokrates, Plato dan Aristoles mencoba membangun dalam suatu kerangka pikir.[6] Menurut Hamdi (2002), demokrasi setidaknya
menunjuk pada paling tidak empat pengertian penting yaitu; pertama, derajat
kekuasaan dan pengaruh terhadap pembuatan keputusan penting bagi masyarakat
disebarkan di seluruh masyarakat tersebut (Sidney Verba dalam Greenstein &
Polsby, 1975:306). Kedua, demokrasi
merupakan seperangkat lembaga-lembaga formal seperti pemilu yang bebas dan umum
dan pengambilan suara mayoritas di parlemen (Felix E, Oppenheim dalam
Greenstein & Polsby, 1975:306). Ketiga, demokrasi selalu bermakna suatu
bentuk partisipasi dalam kehidupan politik pada suatu masyarakat (Orlando
Patterson dalam Warren, 1999:156).
Terakhir, demokrasi diartikan secara sederhana sebagai bentuk
pemerintahan (Huntington, 1993:5).[7]
Sebagai bentuk pemerintahan, demokrasi sebagaimana diingatkan oleh Lipson
(1964), bukanlah sistem pemerintahan yang dilakukan oleh yang terbaik dan
terbijak, tetapi demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling bijak dan
paling baik diantara bentuk-bentuk pemerintahan yang pernah diterapkan. Yang
membuat demokrasi unik adalah berpadunya antara tujuan dan cara (Riker,1982).
Jadi, bukan hanya tujuan yang mesti baik, tetapi juga cara untuk mencapainya.
Dalam karya klasik Political Man,
Seymor Martin Lipset mengingatkan bahwa demokrasi bukan sekedar cara untuk
membuat setiap kelompok dapat mencapai tujuan mereka, tetapi demokrasi juga
adalah cara untuk membangun masyarakat yang baik. Di sudut lain, tanpa menutup mata atas
ketidaksempurnaan demokrasi, Aurel Croissant dan Wolfgang Merkel dalam democratization (2004) memberi warning lewat istilah defective democracy. Dimana demokrasi
mungkin berhasil membangun mekanisme yang rumit, namun terkadang gagal
mengatasi masalah pokok masyarakat, seperti diskriminasi, kesenjangan antar
kelompok, pendewasaan perilaku publik, penyejahteraan dan pemakmuran.
Suatu
alternatif lain dari pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dengan sistem
perwakilan.[8]
Pandangan ini ingin mementahkan argumentasi bahwa rakyat kebanyakan pada
dasarnya mampu memahami dan mempertahankan dirinya sendiri, termasuk
kepentingan dalam arti luas yaitu pemerintahan.
Rakyat biasa dengan keterbatasan yang melekat tentu saja tak cukup
memadai untuk mengatur diri mereka sendiri.
Diperlukan sejumlah orang yang secara khusus memenuhi syarat tertentu
untuk memerintah, dimana paling tidak memiliki pengetahuan yang cukup, serta
keunggulan (keistimewaan) yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan
kepentingan orang banyak. Argumen ini
setidaknya diamini oleh Aristoteles dalam sebuah diskusi pendek dimana banyak
sekali orang yang tak memenuhi persyaratan untuk ikut serta memerintah.[9]Kelemahan
tersebut seharusnya ditutupi oleh sekelompok orang yang memenuhi syarat
sehingga mampu melindungi kepentingan rakyat dengan keunggulan yang dimiliki.
Demokrasi bukanlah tanpa kemampuan dan keunggulan, tetapi demokrasi
mensyaratkan keahlian yang memungkinkan untuk melindungi semuanya. Pengetahuan penting dalam mengelola
pemerintahan, termasuk bagaimana memerintah dan membuat kebijakan yang efektif. Penciptaan pemerintahan yang baik tentu saja
mensyaratkan keahlian memerintah dan kemampuan menciptakan kebijakan yang
memungkinkan kesejahteraan dapat dicapai. Sedemikian pentingnya keahlian
memerintah itu sehingga terkadang sistem pemerintahan kita menggambarkan
campuran antara demokrasi dan meristokrasi[10]. Menurut
Aristoteles, persyaratan dimaksud paling tidak memenuhi aspek pertama, moral capacity. Kapasitas moral menunjukkan suatu kemampuan
memahami tujuan dan maksud sesungguhnya dari apa yang akan diupayakan oleh
pemerintah. Tanpa pengetahuan ini tentu
saja rakyat kebanyakan yang bahkan bersikap apolitis
tidak pernah bisa memahami apa tujuan dan maksud dari pemerintahan yang sedang
berjalan. Mereka hanya paham, bagaimana
sekelompok orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai tadi dapat
memenuhi semua kepentingan dengan segera. Kalaupun rakyat banyak relatif memahami tujuan
dan maksud pemerintahan tersebut, persoalan berikutnya adalah bagaimana
mewujudkan semua impian tersebut. Itikad
kuat untuk mewujudkan maksud dan tujuan pemerintahan inilah yang disebut
dengan istilah kebajikan (good capacity).
Paduan kedua persyaratan diatas menghasilkan apa yang disebutnya dengan
kecakapan moral. Ketika dua persyaratan tersebut terpenuhi, maka bagian
terakhir adalah bagaimana agar semua maksud dan tujuan tadi secara teknis dapat
direalisasikan secara efektif. Inilah persyaratan
ketiga yang mesti dipunyai, yaitu kecakapan teknis/instrumental (technical capacity). Keseluruhan syarat
dimaksud menciptakan kecakapan politik yang memungkinkan seorang perwakilan memadai
untuk menjalankan pemerintahan. Pemimpin
politik yang baik menurut Juergen Habermas, seorang pemikir kondang madzabh
Frankurt, sebaiknya memenuhi kualifikasi quantity
of participation dan quality of
discourse. Dalam konteks pemilihan kepala daerah misalnya, idealnya kepala
daerah terpilih adalah pemimpin yang memenuhi kualifikasi jumlah kepala
sekaligus isi kepala. Simpelnya, kepala
daerah tidak saja di dukung oleh jumlah kepala mayoritas yang terdaftar dalam setiap
TPS, tetapi juga memiliki visi, misi, konsepsi dan skill perihal bagaimana mengurus daerah dan masyarakatnya. Jumlah kepala pada dasarnya penting, karena
semakin banyak pemilih tentu saja semakin tinggi tingkat legitimasi[11]
seorang kandidat. Legitimasi penting
guna menjustifikasi kebijakan yang dijalankan oleh kepala daerah. Sementara
ibarat kompas, isi kepala adalah visi dasar yang memandu dan menentukan arah
pemerintahan. Satu hal yang pasti,
kepala daerah dapat saja memperoleh legitimasi yang kokoh, sebab terpilih
karena di dukung oleh suara mayoritas.
Namun harus disadari, bahwa kepala daerah dengan dukungan mayoritas
tidak otomatis sanggup mengemban aspirasi masyarakat. Karena itu, publik di tuntut agar memilih
pemimpin secara selektif, jika tidak maka pemilukada hanya akan sukses
melahirkan pemimpin dengan banyak konstituen, namun tanpa kompetensi
menjalankan amanat rakyat. Masalahnya,
apakah masyarakat di daerah dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang
rendah cukup selektif untuk memilih kepala daerah langsung?
Pada
hakekatnya, tujuan demokrasi melalui mekanisme pemilihan langsung adalah
membuka akses seluas mungkin bagi partisipasi masyarakat dalam menentukan
pemimpin pemerintahan. Bahkan, sebagaimana dikatakan Jhon Stuart Mill, setiap
minoritas dihargai dalam partisipasi demokrasi. Lebih dari itu, setiap individu
yang terlibat dalam proses demokrasi sekecil apapun harus turut
bertanggungjawab (Dahl,1992). Berlandaskan pemikiran itu, melalui sistem ini diharapkan
lahir pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat. Dengan demikian,
pemilukada langsung sesungguhnya merupakan langkah antisipatif guna
meminimalisir kemungkinan salah pilih pemimpin.
Maka tak heran jika kemudian masyarakat banyak berharap pada sistem
demokrasi. Namun demokrasi ternyata
tidak selalu menghadirkan harapan baik tadi, ia dapat pula mencuatkan
kecemasan.[12]
Sokrates, bahkan orang pertama yang skeptis
pada sistem demokrasi model demikian. Ia
cemas karena sistem demikian hanya membuka peluang bagi manusia bebal, dungu
dan tolol yang kebetulan di dukung konstituen mayoritas menjadi pemimpin. Sokrates paham benar bahwa rakyat tidak
selalu mendukung sosok yang dinilai paling mampu dan cerdas, tetapi lebih
sering sosok yang paling disukai. Dapat
dibayangkan, tanpa kualitas nalar, kompetensi dan pengalaman politik, kepala
daerah cenderung bertindak atas dasar insting
semata. Pengambilan keputusan dan tindakan bersifat instingtual, terperangkap pada agenda rutin, prosedur tetap
(protap), business as usual, yang
kesemuanya di desain tanpa pertimbangan kritis rasional. Akibatnya, setiap
kebijakan dalam lingkungan birokrasi lebih tampak sebagai tindakan reflex, bukan produk refleksi yang lahir dari olahan intellectual discourse.
Pada
sisi lain, meminjam prasyarat Schumpeter (dalam Aminuddin,2009:26) terhadap
proses demokratisasi lokal setidaknya memenuhi tiga situasi penting yaitu political equality, local accountability
dan local responsive. Kesetaraan
politik merujuk pada terciptanya mekanisme chek
and balance sehingga memungkinkan kemitraan berjalan tanpa dominasi satu
sama lain. Pertanyaannya, apakah dengan sistem pemilukada langsung telah
mendorong terciptanya mekanisme dimaksud? Tampaknya, harapan agar terciptanya
kemitraan lewat mekanisme chek and
balance dalam pilkada langsung belum terbukti sepenuhnya. Yang terjadi hanya pergeseran kekuatan dari legislative strong ke arah eksekutif strong. Legislatif lokal tampaknya hanya barisan
pelengkap dalam rapat istimewa, tanpa kekuatan efektif untuk menganulir setiap kebijakan
kepala daerah. Pada level operasional,
LKPJ kepala daerah hanyalah progress
report,[13]
bukan instrument pemakzulan. Komunikasi politik yang diharapkan terbangun
dengan sendirinya dalam pilkada langsung ternyata tak menunjukkan tanda-tanda
positif, yang tampak justru kekuatan sekelompok orang dalam barisan tim sukses sebagai pemetik manfaat dari
pesta demokrasi di tingkat lokal. Kedua,
pertanggungjawaban lokal merujuk pada harapan masyarakat dimana kepala daerah
dapat mempertanggungjawabkan setiap kebijakannya dihadapan masyarakat. Faktanya, sekalipun mekanisme tersebut
tersedia, namun tak ada satupun kepala daerah yang secara terbuka mempertanggungjawabkan
kebijakannya pada masyarakat. Akhirnya,
satu-satunya harapan adalah mewakilkan kepada legislatif lokal. Namun,
banyaknya regulasi yang melemahkan peran legislatif lokal dalam pengawasan
politik mengakibatkan pola pertanggungjawaban kepala daerah hanyalah bersifat
formalitas belaka. Ketiga, harapan
terhadap lahirnya kepala daerah yang dapat merespon secara cepat apa yang
menjadi kebutuhan masyarakat secara langsung, faktanya berhadapan dengan relatif
belum terpenuhinya kemampuan yang memadai pada setiap kepala daerah. Akibatnya, figur kepala daerah sebagai
“bapak” sekaligus “teman” tak banyak muncul di tengah masyarakat, yang lahir
adalah jarak yang semakin jauh (dissosiatif). Sekali lagi, kepala daerah hanya dekat pada
sekelompok orang dalam klub tim sukses
yang kemudian menikmati secara dekat dan leluasa konsekeunsi dari relasi dimaksud.
Nyatanya, hanya kelompok birokrat tertentu yang banyak memperoleh manfaat atas
hubungan tersebut, bukan rakyat kebanyakan.
Sebenarnya, komunikasi politik dalam wilayah
berpenduduk kecil tidaklah sukar. Karena
itulah mengapa sistem demokrasi langsung (direct
democracy) lebih efektif dilaksanakan di negara-negara kecil (small country). Dalam kondisi demikian, setiap warga negara
memungkinkan dapat terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan. Pemilihan
langsung merupakan mekanisme yang memungkinkan keterlibatan rakyat secara sadar
untuk memilih pemimpinnya sebagaimana dipraktekkan di Polis, Athena.[14] Inilah
yang di sebut dengan partisipasi politik[15],
yaitu keterlibatan setiap warga negara dalam proses politik. Pada negara dengan
sistem politik modern serta memiliki jangkauan yang lebih luas, gagasan
demokrasi langsung menjadi sukar untuk diterapkan, bahkan dipandang tak
realistis (Suhelmi:2007).[16]Jumlah
penduduk yang sedemikian besar dan struktur politik yang kompleks di
negara-negara modern hanya mungkin menerapkan demokrasi melalui sistem
perwakilan (indirect democracy).
Realitas
Pemilukada di Indonesia
Dalam
konteks Indonesia, perdebatan kita bukan lagi pada soal apakah sistem politik
apa yang sesuai, sebab amandemen konstitusi 1945[17]
telah menjawab, yaitu sistem politik demokrasi.
Yang perlu didiskusikan adalah mekanisme apakah yang lebih layak, jika
kita tak ingin menyebut ideal dalam suasana batin Indonesia saat ini.
Sejak
diberlakukannya pemilukada di Indonesia tahun 2005, sejumlah masalah muncul
sebagai implikasi pemilukada dalam mencapai tujuan awal. Di tingkat
operasional, identifikasi lapangan Fatoni (2010) menyebutkan bahwa terdapat
masalah pada aspek pendaftaran pemilih, pendaftaran dan penetapan kepala daerah
dan wakil kepala daerah, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta
penetapan dan pengesahan pasangan calon terpilih. Realitas empirik dimaksud
sejauh ini relatif dapat diselesaikan melalui upaya-upaya teknis dilapangan.
Namun, pada skala yang lebih luas terdapat sejumlah persoalan yang sebelumnya
terprediksikan oleh para pengamat sebagaimana catatan Surbakti dan Haris
(2005). Demikian pula catatan Bisri dkk
(2006) tentang dua masalah krusial berkaitan dengan dampak liberalisasi politik
yang menghadirkan kandidat kuat modal serta menguatnya dominasi eksekutif
karena dipilih langsung. Hadirnya pemodal
kuat dalam pemilukada disebabkan terbukanya akses langsung ketika kandidat
berhadapan dengan masyarakat luas. Tanpa
pendidikan yang cukup, masyarakat tak berharap banyak dari setiap kandidat yang
akan bertarung, kecuali ongkos pulang-pergi ke tempat pemungutan suara. Para pemodal domestik berkepentingan dalam
bentuk dukungan finansial yang memungkinkan mereka mendapatkan konsesi atas
sejumlah projek. Pemodal asing tak kalah
memberi warna dalam konsesi barang tambang, mineral hingga kelapa sawit. Disisi gelap, sebagian birokrat mengundi
nasib lewat bargaining position untuk
memastikan masa depan dengan mempertaruhkan keberpihakan dan mobilisasi massa. Menguatnya
dominasi eksekutif bukanlah isapan jempol belaka, faktanya keseluruhan
perencanaan dan implementasi APBD dijalankan secara solo karier oleh pasangan kepala daerah terpilih. DPRD praktis tak
memiliki akses langsung kecuali mengetuk dan mengamini semua kebijakan kepala
daerah. LKPJ sebagai momentum evaluasi
dan konkritisasi pengawasan DPRD hanyalah prosedur formal yang penuh senda
gurau dan pantun jenaka, tanpa catatan kritis sebagaimana harapan publik. Secara umum, catatan pemilukada hingga tahun
2011 menyiratkan persoalan besar yaitu, pertama,
tingginya ongkos demokrasi. Berpijak pada
catatan Fatah (2008),[18]pemilukada dilaksanakan rata-rata setahun kurang lebih 103 kali[19]. Dari
sisi ongkos pemilukada, menurut Jusuf Kalla (2008), setiap tahun negara
menganggarkan biaya lebih kurang 200 triliun. [20] Menurut kalkulasi kasar,
secara umum baik pemilukada dan pemilu legislatif plus presiden menyedot biaya
tinggi.[21] Dengan perkiraan tersebut tampak bahwa ongkos
demokrasi melalui mekanisme langsung menyedot biaya yang tak sedikit. Namun persoalannya bukan semata-mata pada hal itu. Masalahnya, apakah demokrasi langsung
telah menghasilkan
pemimpin yang berkualitas sehingga mampu menunaikan amanah rakyat sekaligus
mengantarkan mereka
kepada kehidupan yang lebih baik? Faktanya, produk pilkada langsung baru menghasilkan
pemimpi, bukan
pemimpin. Para pemenang bahkan tak meninggalkan apa-apa, kecuali hutang piutang pemda dari satu rezim ke rezim berikutnya. Sementara beban APBD kian menyusut oleh ongkos
demokrasi.[22] Dari sisa itu, yang tampak bukan efek trickle down namun trickle up, dimana
para kapitalis yang mampu menguasai percaturan politik pemerintahan lokal.
Pada aras
publik, makna demokrasi sebagai alat atau instrumen yang digunakan dalam sistem politik
untuk menjadi kanal bagi lahirnya pemimpin yang mumpuni dalam mengemban amanah masih jauh dari harapan. Demokrasi
dipahami sebagai terminal akhir, bukan pilihan sistem diantara sistem otoriter dan totaliter. Bukan mustahil, sistem lain pada dasarnya menawarkan
jalan lurus yang lebih menjanjikan, akomodatif dan marketable.
Rendahnya upaya penghematan dalam
biaya demokrasi mendorong terciptanya inefisiensi,
bahkan pemborosan pada kenyataanya. Disini, prioritas kepentingan publik
menjadi pertaruhan diantara kepentingan kelompok elit yang berkuasa. Dengan
kesadaran bahwa pemilukada hanyalah salah satu diantara mekanisme demokrasi
yang perlu dibangun, maka selayaknya
proses demikian tidaklah dipandang sebagai terminal akhir dalam demokrasi.
Paradoks lain
yang perlu diperhatikan adalah kecenderungan semakin
tinggi kualitas sistem demokrasi yang akan di bangun terdapat kecenderungan
rendahnya efisiensi. Bagaimanapun, demokrasi dengan
segala bentuk mekanismenya adalah
sistem yang baik, bahkan mungkin jauh lebih baik
dan bijak jika dibanding dengan
sistem lain, sekalipun tak sedikit mengandung
sejumlah kelemahan. Lewat
analisis Boediono, demokrasi memiliki
relasi positif dengan efisiensi[23].
Urgensi
dan Keunggulan Pemilukada Tak Langsung
Urgensi pemilukada tak langsung
tampaknya perlu dipertimbangkan kembali untuk menjawab sejumlah persoalan besar
yang menghadang dalam implementasi demokrasi langsung. Jika pemilukada langsung merupakan antitesa
terhadap pemilukada tak langsung tempo hari, maka diperlukan instrument yang
mampu menjawab antitesa sebaliknya dengan mencuatkan problem mendasar
pemilukada tak langsung. Hal ini perlu dikemukakan lebih awal untuk sesegera
mungkin menutupi kegagalan sistem pemilihan tak langsung dimasa lalu. Satu-satunya catatan ktitis terhadap
pemilukada tak langsung dimasa lalu adalah, rakyat tak merasa dilibatkan sama
sekali. Ini bisa dimaklumi, sebab lewat
cara ini cukup wakil rakyat yang melakukan eksekusi untuk kemudian disodorkan
kepada pemerintah pusat. Jika diamati
pemilukada tak langsung di jaman Orde Baru, sebenarnya asumsi bahwa DPRD sangat
dominan dalam pemilihan kepala daerah tidaklah dapat disetujui, sebab sekalipun
DPRD secara langsung memberikan suara, namun pemanang sebenarnya sudah dapat
ditentukan sebelum permainan dimulai.
Satu-satunya faktor paling berpengaruh adalah persetujuan rezim yang
berkuasa. Bahkan, sekalipun DPRD
memenangkan salah satu kandidat kepala daerah dari dua kandidat yang diajukan
kepada pemerintah pusat, bukan mustahil kandidat lain dengan suara terkecil
yang dilantik oleh pemerintah. Dengan
perubahan sifat dari sentralistik ke desentralistik, kemungkinan pemilihan
kepala daerah akan sangat bergantung pada dinamika partai politik. Pentingnya Pemilukada tak langsung di dorong alasan
pokok; Pertama, konsistensi pada konstitusi dan falsafah negara. Sejalan
dengan amanah konstitusi hasil amandemen ke 4 pasal 18 ayat (4), pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota dilaksanakan secara demokratis. Demokratis, menunjukkan bahwa sistem yang
dapat dibangun melalui pemilihan langsung (direct
election) maupun pemilihan tidak langsung (indirect election). Konsekuensi pada level implementasi adalah
pemilihan langsung dilakukan oleh rakyat, sedangkan pemilihan tidak langsung
dilakukan melalui DPRD. Memperhatikan
hal itu, maka secara konstitusional, pemilihan kepala daerah tak langsung oleh
perwakilan rakyat tidaklah merupakan pekerjaan yang rumit dalam perubahan
regulasi. Tentu saja dengan
memperhatikan kelemahan dan kelebihannya.
Apabila merujuk pada pembukaan UUD 1945 alinea ke 4, jelas bahwa
konstitusi menyiratkan tentang pentingnya sistem perwakilan dimunculkan
sebagaimana bunyi sila ke (4), kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam
permusyawaratan/perwakilan. Berpijak pada kesadaran konstitusi dan
falsafah negara, tampak bahwa selama ini sistem yang terbangun justru semakin
jauh dari kedua rujukan utama. Jika Presiden
dan Wakil Presiden, DPR-RI, Gubernur dan Wakil Gubernur, DPRD, Bupati/Walikota
serta Kepala Desa dipilih langsung, maka, dimanakah makna representasi government sebagaimana amanah konstitusi dan falsafah
negara tersebut dapat ditemukan? Selain itu, jika dicermati lebih jauh
konstruksi pasal 18 ayat (4) yang melandasi pemilihan kepala daerah dan pasal 4
UUD 1945 yang menjadi rujukan pemilihan presiden dan wakil presiden jelas
berbeda. Norma pertama hanya
mengamanatkan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secara demokratis minus
wakil gubernur, wakil bupati maupun wakil walikota. Sedangkan norma kedua
secara eksplisit menyatakan pemilihan presiden oleh rakyat dilakukan secara
berpasangan dengan wakil presiden. Konsekuensi pasal 18 diatas menyiratkan
bahwa sesungguhnya pemilukada di level pemerintah daerah tidaklah mesti dalam
bentuk berpasangan, bisa jadi dalam bentuk tunggal (Gubernur, Bupati, Walikota
saja). Teks ini jika dikaitkan dengan
konteks Indonesia yang memiliki karakteristik daerah majemuk setidaknya dapat
ditafsirkan secara fleksibel dalam artian suatu daerah kecil seperti DIY,
Bengkulu, Gorontalo dan Bangka Belitung cukup satu wakil kepala daerah. Sedangkan daerah luas seperti Jawa Timur,
Jawa Barat, Jawa Tengah dapat saja memiliki lebih dari satu wakil kepala
daerah, bahkan untuk kota-kota kecil seperti Salatiga, Lubuk Linggau dan Padang
Panjang tak perlu dilengkapi oleh wakil kepala daerah[24]. Kedua,
meningkatkan efisiensi dalam mekanisme demokrasi. Pemilukada tak langsung dapat
memperkecil high cost demokrasi.
Realitas menunjukkan bahwa tingginya biaya pemilukada telah banyak menyerap
proporsi APBD pada setiap lima tahun, bahkan pada tahun-tahun selanjutnya pasca
pemilukada. Setiap tahun pemerintah pusat
harus menyiapkan biaya pemilukada dalam hitungan triliunan rupiah. Belum lagi
biaya tambahan jika terjadi pemilihan ulang setelah dianulasi oleh Mahkamah
Konstitusi. Dalam pemilukada tak
langsung kemungkinan draw tidak akan
terjadi. Selain itu costnya sangat
rendah. Untuk pemilukada tak langsung,
penyerapan biaya hanya dalam konteks panitia pelaksana, honorarium anggota DPRD
serta pengamanan yang bersifat terbatas. Sebaliknya, pemilukada langsung
membutuhkan biaya yang tak terbatas dari aspek manajemen KPUD hingga operasionalisasi
lapangan pada tingkat TPS.
Ketidakterbatasan disini berkaitan dengan peluang dilakukannya
pemilukada ulang sekiranya terjadi perselisihan. Ketiga, mengurangi konflik
horizontal. Oleh karena pemilukada dilaksanakan oleh DPRD secara langsung, maka
konflik dapat diminimalisir sedemikian rupa.
Kecenderungan konflik yang sering meluas pada level horizontal dapat
direpresentasikan oleh anggota DPRD dengan jumlah terbatas. Jika selama ini
yang konflik berjumlah 1 juta orang, maka kemungkinan melalui pemilukada tak
langsung cukup diwakili oleh 25 sampai dengan 100 orang. Dengan demikian konflik relatif lebih menurun
disebabkan mengecilnya kuantitas dan kualitas dalam medan perebutan kekuasaan.
Kuantitas berkaitan dengan jumlah anggota perwakilan yang akan menentukan siapa
kepala daerah yang akan dipilih. Sedangkan kualitas berkaitan dengan kemampuan
anggota DPRD dalam proses penentuan kepala daerah yang akan dipilih. Dengan pertimbangan pendidikan dan pendapatan
yang cukup memadai, anggota DPRD tentu saja akan lebih berhati-hati dibanding kecenderungan
anarkhisme masyarakat pendukung yang
kecewa dalam pemilukada. Keempat,
melalui pemilukada tak langsung, rakyat
diharapkan tak selalu diprovokasi dengan janji dan ancaman bila tak memilih
kandidat kepala daerah. Kemungkinan
rakyat lebih fokus pada kegiatan pokoknya. Selain itu, benturan antar basis
massa dengan sendirinya akan terputus, sebab kandidat hanya berhubungan
langsung dengan anggota DPRD, bukan massa di jalanan. Sterilnya masyarakat dari hiruk-pikuk
pemilukada dapat mendorong produktivitas tidak saja pada pejabat yang terpilih,
termasuk masyarakat itu sendiri. Kelima, melalui pemilukada tak
langsung setiap kandidat relatif dapat di kontrol dari aspek kualitas, sebab
partai akan melakukan seleksi terhadap kadernya yang benar-benar memiliki
kemampuan. Kemampuan dimaksud tidak semata-mata pada aspek financial, tetapi juga kapasitas moral, politik, dan pengelolaan
kekuasaan dalam pemerintahan. Dalam konteks ini diperlukan regulasi yang lebih
efektif untuk menciptakan mekanisme seleksi yang lebih transparan. Keenam, melalui pemilukada tak
langsung, dengan sendirinya mengurangi beban Mahkamah Konstitusi berkaitan
dengan sengketa pemilukada. Selama ini
MK disibukkan oleh sengketa Pemilukada hingga sampai pada keputusan mengulang
kembali. Sejak pemilukada dilaksanakan, sengketa pemilukada telah mengakibatkan
konflik horizontal, high cost, serta
munculnya isu suap di tubuh MK. Kondisi
ini secara terus menerus dapat menurunkan kredibilitas pemerintah, khususnya
komitmen penegakan hukum di Indonesia. Ketujuh, melalui pemilukada tak
langsung akuntabilitas kepala daerah lebih efektif di kontrol. Hubungan kepala daerah dan DPRD selama ini
berjalan di atas semangat mitra kerja semu.
Oleh karena keduanya dipilih langsung, maka dengan mengusung semangat yang
sama, keduanya memiliki legitimasi yang seimbang, eksesnya banyak kepala daerah
cenderung tak begitu cooperatif dalam
kaitan dengan fungsi pengawasan DPRD.
Hal ini dapat diamati dalam kasus penilaian LKPJ setiap tahun
anggaran. Jika pemilukada tak langsung
dapat dilaksanakan, maka kepala daerah dipastikan lebih respek dan
bertanggungjawab kepada DPRD sebagai wakil rakyat. Kedelapan, melalui pemilukada tak
langsung, netralitas birokrasi relatif dapat terjamin. Dalam pemilukada tak langsung, tentu saja tak
diperlukan tim sukses yang beranggotan PNS.
Oleh karena kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD, maka keterkaitan
antara kandidat kepala daerah dengan birokrasi cenderung bersifat dissosiatif. Birokrasi akan lebih steril, dimana area
pelayanan publik tak begitu dominan tersentuh oleh arus politik. Pada dasarnya siapapun
yang akan terpilih sebagai kepala daerah, itulah pemimpin yang akan dipatuhi
oleh kelompok birokrasi. Kesembilan, dalam pemilukada tak
langsung, money Politics relative
dapat berkurang. Menghilangkan money
politics secara nihil dalam realitas politik adalah mustahil. Yang perlu dilakukan adalah memperkecil
peluang terjadinya money politics
sedapat mungkin melalui mekanisme pengawasan tertentu. Sejauh terdapat demand and supplay, pasar dengan
sendirinya akan terbentuk. Namun jika
diperbandingkan, money politic hanya
akan terkonsentrasi pada elit partai politik yang jelas dan terukur. Ini hanyalah
konsekuensi dari pemilihan kepala daerah. Sebagai ilustrasi, seseorang yang
akan maju dalam pemilukada tak langsung dengan jumlah anggota DPRD 40 orang,
cukup menyiapkan upeti bagi 21 orang (50% plus 1, absolute mayority). Seandainya setiap suara dihargai dengan nilai
200 juta rupiah, maka setiap kandidat hanya butuh 4,1 M. Secara logika ini masih wajar dapat
dikembalikan dalam kurun waktu lima tahun dengan gaji dan tunjangan rata-rata
kepala daerah sebesar 8,5 jt/bulan.
Bandingkan jika bertarung dalam pemilukada langsung, setidaknya seorang
kandidat harus menyiapkan 15 M pada setiap putaran untuk memenangkan jabatan
kepala daerah. Kalaupun menang, dengan
gaji dan tunjangan kepala daerah sebagaimana dikemukakan diatas, tidaklah
mungkin dapat dikembalikan dalam lima tahun, kecuali melakukan tindakan yang
justru kita tolak bersama, yaitu korupsi.
Kesimpulan
Jika keunggulan
pemilukada langsung adalah kepala daerah cenderung dikehendaki rakyat, faktanya
ia cenderung dikehendaki karena uang.
Kepala daerah yang dikehendaki rakyat terbatas berasal dari daerah
pemilihan tertentu. Jika kepala daerah dianggap dekat dengan rakyat,
realitasnya kandidat justru banyak berasal dari luar daerah yang lama
meninggalkan daerah kelahirannya. Jika
asumsinya bahwa kepala daerah dipahami dan memahami rakyat, kenyataanya justru
banyak kepala daerah tak begitu paham seluk beluk daerahnya, bahkan tak
memahami kehendak rakyat. Jika kepala
daerah dinilai dapat memberikan janji secara langsung dan rakyat dapat menagih
secara langsung, di alam nyata kebanyakan janji tinggal janji, dan rakyat tak
punya mekanisme yang pasti dalam menagih janji kepala daerah. Jika rakyat dipandang dapat mengoreksi cara
kerja kepala daerah, faktanya rakyat tak punya nyali sekaligus mekanisme baku
untuk melakukan kontrol, apalagi memberi punishment manakala kepala daerah
melakukan tindakan yang melanggar moral.
Secara umum, bahkan rakyat tak mengetahui kadar kemampuan kepala daerah.
Diatas semua keunggulan pemilukada langsung yang pada akhirnya menunjukkan
sejumlah kegagalan di tingkat implementasi, tampaknya membutuhkan alternatif
pemilukada tak langsung dengan sejumlah kelebihan antara lain, konsistensi pada
konstitusi dan falsafah negara, rendahnya konflik horizontal, rendahnya
manipulasi dalam bentuk janji yang mengakibatkan hubungan antara kepala daerah
dengan rakyat, penguasa serta birokrasi terganggu, terfokusnya publik pada
kegiatan pokok tanpa melalaikan pengawasan secara berjenjang, meningkatnya
efisiensi dan efektivitas demokrasi, lahirnya kandidat kepala daerah yang
relatif berkualitas, berkurangnya beban Mahkamah Konstitusi, munculnya kontrol
partai politik terhadap setiap kandidat, meningkatnya akuntabilitas kepala
daerah pada rakyat melalui DPRD, terjaminnya netralitas birokrasi, serta
mengurangi perilaku money politics
selama proses pemilukada.
Referensi :
Agustino, Leo,
2010. Pilkada dan Redistricting: Dinamika
Politik Lokal dalam Politik Indonesia yang Terdemokrasi, edisi 16, Forum
Komunikasi Alumni Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta
Amirudin dan A.
Zaini Bisri, 2006. Pilkada Langsung,
Problem dan Prospek, Pustaka Pelajar, 2006
Budiardjo,
Mariam, 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Jakarta.
Dahl, Robert,
2001. Perihal Demokrasi, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta
---------------,
1985. Dilema Demokrasi Pluralis,
Rajawali Press
---------------,
1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Fatoni, Agus,
2009. Pilkada yang Demokratis dan
Permasalahan dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Jurnal Pamong Praja,
edisi 15, Forum Komunikasi Alumni Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.
Haris,
Samsuddin, 2005. Masalah dan Strategi
Menyukseskan Pilkada Langsung, Jurnal Pamong Praja Edisi 3, Forum Komunikasi Alumni Institut Ilmu
Pemerintahan, Jakarta.
Hamdi, Muchlis, 2002. Bunga Rampai Pemerintahan, Yarsif Watampone, Jakarta
Halim, Ridwan,
2009. Sendi-Sendi Sosiologi dan Hukum-Hukum
Pragmatisasinya, Puncak Karma, Jakarta
Koten, Yosef
Keladu, 2010. Partisipasi Politik, sebuah
Analisis atas Etika Politik Aritoteles, Ledalero ,Maumere
Lestari, Simto,
2011. Arah Kebijakan Regulasi Pemilihan Kepala Daerah, Republika, 2011
Noer,
Deliar, 1997. Pemikiran Politik Barat,
Mizan, Bandung
Olson, M, 1993. Dictatorship, Democracy and Development,
The American Political Science Review,
(dalam Agustino Leo, 2010)
Rapar,
1993. Filsafat Politik Aristoteles,
Rajawali Press, Jakarta
Rasyid, Ryaas,
2002. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari
Segi Etika dan Kepemimpinan, Yarsif Watampone, Jakarta
Rowa, Hyronimus,
2009. Perimbangan Demokrasi dan Efisiensi
Dalam Pemilihan Kepala Daerah, Jurnal edisi14, Forum Komunikasi Alumni
Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta
Sabine, G.H, 1950. A History of Political Theory, Henry Holt and Company, New York
Surbakti, Ramlan,
2005. Beberapa Pertanyaan Tentang Sistem
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jurnal Pamong Praja Edisi 3, Forum Komunikasi
Alumni Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.
Suhelmi,
Ahmad, 2007. Pemikiran Politik Barat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Regulasi
UUD
1945 Amandemen Ke 4
UU No.
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU
No.22 Tahun 2003 Tentang Sususnan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
UU No.12 Tahun
2003 Tentang Perubahan atas UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
PP No.6 Tahun
2005 Tentang Pengangkatan, Pengesahan, Penetapan dan Pemilihan Kepala Daerah
PP
No.3 Tahun 2007 Tentang LPPD, LKPJ dan LIPPD
[1] Email;
muhadamlabolo@yahoo.com.
Dosen tetap pada Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta, Pasca Sarjana Ilmu
Pemerintahan Unlam Banjarmasin, Ketua Departemen Kajian Pemerintahan pada
Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan (IKAPTK), Ketua
Departemen Pengembangan Akademik dan Pendidikan pada Masyarakat Ilmu
Pemerintahan Indonesia (MIPI), Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategik
Pemerintahan.
[2] Istilah
Pemilukada merupakan hasil perubahan
normatif pasca keputusan MK yang mendudukkan rezim pilkada sebagai bagian dari
Pemilu. Lihat perubahan kedua UU 32/2004
Tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No.12 Tahun 2007 dan aturan pelaksanaan
pilkada (PP 6/2005 dan perubahan selanjutnya).
[3] Ramlan
Surbakti, tentang Beberapa Pertanyaan
Tentang Sistem Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (hal.49-63),
Samsuddin Haris, Masalah dan Strategi
Menyukseskan Pilkada Langsung (hal.64-75), masing-masing dalam Jurnal
Pamong Praja Edisi 3-2005. Hyronimus Rowa dapat dilihat dalam Jurnal yang sama
edisi14-2009, tentang Perimbangan
Demokrasi dan Efisiensi Dalam Pemilihan Kepala Daerah, (hal.41-54). Agus Fatoni,
Pilkada yang Demokratis dan Permasalahan
dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Jurnal Pamong Praja, edisi 15-2009,
hal.31-40. Leo Agustino, Pilkada dan
Redistricting: Dinamika Politik Lokal dalam Politik Indonesia yang Terdemokrasi,
edisi 16-2010, hal.14-34, Jakarta, Forum Komunikasi Alumni Institut Ilmu
Pemerintahan.
[4] M.Olson,
Dictatorship, Democracy and Development,
The American Political Science Review,
1993. Sekalipun istilah Olson yang dimodifikasi Agustino tak begitu nyaman
untuk menggambarkan jalinan terbentuknya pola-pola kekuasaan dari tingkat elit
hingga daerah, Namun perlu dipahami bahwa teori dimaksud hanya untuk
menggambarkan kesamaan-kesamaan yang berlaku dalam realitas sosial. Bisa jadi
penguasa yang terbentuk adalah sekelompok bandit yang tentu saja dipilih oleh
mayoritas bandit, sebagaimana logika sederhana demokrasi. Stationary
bandit dimaknai sebagai penguasaan sumber daya oleh sekelompok oligarkhi yang kemudian
mendistribusikannya ke level bawah guna mempertahankan kekuasaan secara
berjenjang. Mereka yang berada di level
bawah disebutnya dengan kelas baru sebagai perpanjangan tangan pusat (roving bandits), lihat kembali Agustino, Pilkada dan Redistricting: Dinamika Politik
Lokal dalam Politik Indonesia yang Terdemokrasi, edisi 16-2010, hal.18-19,
Jakarta, Forum Komunikasi Alumni Institut Ilmu Pemerintahan.
[5] Dielaborasi
kembali oleh Ryaas Rasyid dalam Makna
Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Yarsif Watampone,
2002, hal.39.
[6] Tentang
konsep demokrasi dapat dilihat kembali dalam elaborasi Dahl, Perihal Demokrasi, Yayasan Obor
Indonesia,2001, bandingkan pada buku lain seperti Dilema Demokrasi Pluralis, Rajawali Press,1985, atau Demokrasi dan Para Pengkritiknya,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992 jilid 1 dan 2.
[8] Robert A.Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, (terjem),
yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992, hal.69
[10] Meristokrasi, suatu konsep yang
menunjukkan pada sejumlah pejabat yang diseleksi semata-mata berdasarkan
keahlian dalam bentuk kompetisi, tunduk secara formal pada kabinet, perdana mentri,
presiden atau badan badan legislatif. Meristokrasi secara praktis merujuk pada
organisasi birokrasi berdasarkan keahlian dan beroperasi pada setiap rezim
demokrasi serta dikendalikan sepenuhnya oleh para pemimpin yang terpilih
(Aristoteles dalam Dahl, 1992:78)
[11] Legitimasi disini tidak saja
berkaitan dengan seberapa besar hasil yang diperoleh, tetapi juga seberapa
sehat suatu proses dapat dilewati dengan baik oleh setiap kandidat. Tentang
konsep legitimasi dapat dibaca kembali Ridwan Halim, Sendi-Sendi Sosiologi dan Hukum-Hukum Pragmatisasinya, Puncak
Karma, Jakarta, 2009,hal.57-59.
[12] Amirudin
dan A. Zaini Bisri, Pilkada Langsung,
Problem dan Prospek, Pustaka Pelajar, 2006, hal.66.
[15] Lebih
jauh dapat dibaca kembali dalam Partisipasi
Politik, sebuah Analisis atas Etika Politik Aritoteles, oleh Yosef Keladu
Koten, Ledalero ,Maumere, 2010. Bandingkan pula konsep yang sama dalam Mariam
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
2007, Jakarta.
[16] Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal.27. Bandingkan munculnya gagasan
yang sama oleh para filosof dalam Deliar Noer, Pemikiran Politik Barat, Bandung: Mizan, 1997, atau elaborasi Rapar
dalam Filsafat Politik Aristoteles,
Jakarta: Rajawali Press, 1993.
[17] Lihat amandemen
konstitusi 1945, aline ke 4 Pembukaan UUD 1945, sila ke 4 Pancasila dan pasal 1
ayat (2), selanjutnya untuk dasar pemilihan kepala daerah lihat juga pasal 18
ayat (4).
[19] Artinya, dengan logika sederhana, setiap sebulan
ada kurang lebih 8 kali pemilukada, seminggu
ada 2 kali
pemilukada, atau setiap tiga hari rata-rata
terdapat satu kali pemilukada.
[21] Pemilu
legislatif dan Presiden menghabiskan
biaya kurang lebih 45-50 triliun, dengan
asumsi maksimal dua putaran.
Pemilihan Bupati/Walikota
di
wilayah yang berskala luas dan padat seperti Jawa menghabiskan
anggaran antara 5 sd 500 milyar. Demikian pula
untuk pemilihan
Gubernur di
area yang sama menyedot biaya rata-rata antara 500
sd 1 triliun.
Kasus pemilihan Gubernur Jawa
Timur dengan asumsi
3 putaran menghabiskan biaya lebih kurang 830 milyar. Pemilihan
Gubernur Jawa Tengah
menghabiskan anggaran kurang lebih 650 milyar.
Pemilihan kepala
desa di luar Jawa
rata-rata menyedot APBD antara 5 sd
150 juta.
[22] Menurut Suwandi (2005), alokasi APBD untuk
biaya tukang saja rata-rata menyedot 50,3%. Kalau
satu putaran pemilukada
menghabiskan 15%, biaya perawatan pemda sebesar 10%, maka
APBD praktis tersedot kurang lebih sebesar 75,3% untuk
ongkos tukang "mensejahterakan rakyat" (eksekutif
dan legislative). Yang tersisa untuk rakyat
tinggal 25%.
[23] Menurutnya, kalau income
suatu negara di bawah 1500 USD, maka usia harapan hidup
demokrasi (daya tahan demokrasi) hanya 5 tahun. Antara 1500-3000 USD, usia
harapan hidup demokrasinya hanya 8 tahun. 3000-5000 USD hanya 10 tahun,
5000-6000 USD hanya 15 tahun, di atas itu probabilitas usia harapan hidup
demokrasinya lebih stabil seperti USA dan Inggris (pidato pengukuhan guru besar Boediono,2008). Kalau Indonesia, dengan mengambil data income perkapita tahun
2006 (purcashing power purity)
sebesar 4000-4500 USD/tahun, maka kemungkinan hanya bisa survive selama 9 tahun, artinya hanya sampai tahun 2015. Mengutip
prediksi sosiolog Thamrin Tomagola pada seminar MIPI (2008), jika Indonesia pecah pada tahun 2015, kemungkinan
menjadi 17 negara, yaitu Negara Jawa, Negara Sunda dan Negara Banten. 14 negara
lain disumbangkan dari wilayah Indonesia Timur.
[24] Lihat catatan Tim
Ahli Simto Lestari dalam Arah Kebijakan
Regulasi Pemilihan Kepala Daerah,
Republika, 11 Desember 2011.
Komentar
Posting Komentar