Menimbang Kembali Pemilihan Kepala Daerah Tak langsung, Respon Terhadap Mekanisme Demokrasi Langsung di Indonesia


Oleh. Dr. Muhadam Labolo[1]

Pendahuluan

          Pemilihan kepala daerah merupakan bagian dari kerangka mekanisme demokrasi di Indonesia. Sebagai bagian dari hal itu, pemilukada[2] memiliki esensi penting dalam menjawab sejumlah hal pasca desentralisasi.  Hadirnya pemilukada paling tidak di dorong oleh lima hal penting yaitu, pertama, respon terhadap tuntutan aspirasi masyarakat yang semakin luas akibat tingginya dominasi partai lewat kekuasaan legislatif lokal. Kedua, lahirnya perubahan pada level konstitusi mendorong dilakukannya perubahan secara normatif terhadap semua pengaturan soal pemilukada.  Ketiga, pemilukada merupakan proses pembelajaran demokrasi pada tingkat lokal. Lahirnya leadership memberi harapan bagi terciptanya tanggungjawab yang tinggi melalui pendekatan kearifan lokal. Keempat, pemilukada sebagai spirit dalam penyelenggaraan otonomi, dimana aktualisasi hak-hak otonomi daerah diantaranya dapat memilih dan dipilih secara langsung.  Kelima, pemilukada sebagai proses pendidikan kepemimpinan bangsa di setiap strata dapat menciptakan kepemimpinan yang kuat.  Terhadap kelima persoalan diatas, pertanyaan yang dapat dikemukakan adalah apakah realitas pemilukada langsung dalam lima tahun terakhir telah menjawab hal  dimaksud?  Kalau iya, indikasi apa saja yang menunjukkan semua itu. Jika sebaliknya, maka perlukah kita mempertimbangkan kembali pemilukada tak langsung dimasa mendatang?  Apakah keunggulan dan kelemahan dalam sistem representative democracy?
Lima catatan pendahuluan dalam Jurnal Pamong Praja oleh Surbakti, Haris, Rowa, Fatoni dan Agustino menjadi rujukan pengembangan lewat sejumlah kesimpulan dan saran yang ditawarkan.[3] Sejumlah pertanyaan yang dikemukakan oleh Surbakti (2005) tentang keajegan sistem pemilukada pada dasarnya telah terjawab melalui perubahan sistem hingga aturan pelaksanaannya sejak digulirkan tahun 2005 hingga saat ini.  Sedangkan catatan Haris (2005) tentang lima potensi konflik dalam pemilukada pada pokoknya relatif dapat diselesaikan lewat solusi yang ditawarkan, yaitu pembangunan konsensus dengan seluruh stakeholder dan pentingnya sikap netral pemerintahan daerah.  Dua potensi konflik yang tetap muncul hingga saat ini adalah sumber konflik yang berasal dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah dan darah, serta sumber konflik yang bersumber dari penghitungan suara hasil pemilukada.  Catatan menarik lain adalah apa yang dianalisis Rowa (2009) tentang deskripsi terkini problem pemilukada sehingga mendorong perlunya revisi sistem dengan mempertimbangkan aspek efisiensi.  Dilemma ongkos demokrasi yang semakin tinggi mengakibatkan kecenderungan inefisiensi, sebaliknya pengurangan ongkos demokrasi setidaknya mendorong terciptanya efisiensi. Pemilukada demokratis menurutnya memenuhi syarat legitimasi etis, sedangkan pemilukada efisien bermakna keseluruhan proses pemilukada berjalan diatas pertimbangan efisiensi seperti waktu, biaya, tempat dan aspek legalitas. Kupasan Fatoni (2010) yang sekalipun hanya mengidentifikasi permasalahan pemilukada di lapangan, namun kesimpulan dan saran yang cukup mengejutkan pada akhirnya mendukung pengembangan tulisan ini, dimana pada negara modern dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang banyak, prinsip demokrasi dapat dilakukan melalui sistem perwakilan (representatif government).  Alasan lain bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai kepala pemerintahan yang dipilih oleh DPRD bertanggungjawab kepada para pemilih dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Catatan akhir Agustino (2010) tentang masalah pemilukada lewat pendekatan teori stasionary bandits yang menciptakan apa yang disebut Olson[4] sebagai roving bandits, menyimpulkan bahwa semua cita-cita pemilukada yang dikemas dalam tujuan ideal jauh dari harapan semula, kecuali menyisakan slogan semata dan cerita. Dengan mengambil case study di Provinsi Jambi dan Bengkulu, ia menunjukkan bahwa demokrasi di aras lokal justru telah dipenjara oleh kepentingan penguasa lokal.  Pada akhirnya, keseluruhan kesimpulan mengandung saran pada perubahan sistem dan harapan terhadap pemahaman mendalam dari para pelaku kebijakan di level operasional.  Jika tiga kesimpulan terakhir diintegrasikan, maka terdapat petunjuk dimana kemungkinan mekanisme demokrasi lewat alternatif lain dapat menjawab permasalahan di atas, yaitu terpenuhinya pemilukada yang tetap demokratis, efisien, legitimate, partisipatif, akuntabel, komunikatif, serta terciptanya sistem perwakilan dan pertanggungjawaban yang efektif. Berpijak dari semua itu, penulis bermaksud mengurai alternatif mekanisme demokrasi lewat pemilukada tak langsung.  Tinjauan ini mencoba menitikberatkan pada aspek teoritik dan realitas empirik dengan harapan dapat memberi landasan yang kuat terhadap alternatif pemilihan kepala daerah tak langsung di Indonesia.

Demokrasi dan Cara Kerjanya
Tanpa menelurusi demokrasi sebagai suatu konsep sekaligus sistem yang rumit dengan seperangkat defenisi yang bergantung pada realitas dimana ia bersentuhan, kita hanya akan mengambil bagian terpenting yang berfungsi menjawab pertanyaan tentang relevansi demokrasi langsung dan tak langsung.  Demokrasi, sebagaimana lazim kita pahami merujuk pada argument populer Lincoln (1963) by the people, rule the people and for the people,[5] menyisakan perdebatan yang tak habis-habisnya sejak para filosof sekelas Sokrates, Plato dan Aristoles mencoba membangun dalam suatu kerangka pikir.[6]  Menurut Hamdi (2002), demokrasi setidaknya menunjuk pada paling tidak empat pengertian penting yaitu; pertama, derajat kekuasaan dan pengaruh terhadap pembuatan keputusan penting bagi masyarakat disebarkan di seluruh masyarakat tersebut (Sidney Verba dalam Greenstein & Polsby, 1975:306).  Kedua, demokrasi merupakan seperangkat lembaga-lembaga formal seperti pemilu yang bebas dan umum dan pengambilan suara mayoritas di parlemen (Felix E, Oppenheim dalam Greenstein & Polsby, 1975:306). Ketiga, demokrasi selalu bermakna suatu bentuk partisipasi dalam kehidupan politik pada suatu masyarakat (Orlando Patterson dalam Warren, 1999:156).  Terakhir, demokrasi diartikan secara sederhana sebagai bentuk pemerintahan (Huntington, 1993:5).[7] Sebagai bentuk pemerintahan, demokrasi sebagaimana diingatkan oleh Lipson (1964), bukanlah sistem pemerintahan yang dilakukan oleh yang terbaik dan terbijak, tetapi demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling bijak dan paling baik diantara bentuk-bentuk pemerintahan yang pernah diterapkan. Yang membuat demokrasi unik adalah berpadunya antara tujuan dan cara (Riker,1982). Jadi, bukan hanya tujuan yang mesti baik, tetapi juga cara untuk mencapainya. Dalam karya klasik Political Man, Seymor Martin Lipset mengingatkan bahwa demokrasi bukan sekedar cara untuk membuat setiap kelompok dapat mencapai tujuan mereka, tetapi demokrasi juga adalah cara untuk membangun masyarakat yang baik.  Di sudut lain, tanpa menutup mata atas ketidaksempurnaan demokrasi, Aurel Croissant dan Wolfgang Merkel dalam democratization (2004) memberi warning lewat istilah defective democracy. Dimana demokrasi mungkin berhasil membangun mekanisme yang rumit, namun terkadang gagal mengatasi masalah pokok masyarakat, seperti diskriminasi, kesenjangan antar kelompok, pendewasaan perilaku publik, penyejahteraan dan pemakmuran.
Suatu alternatif lain dari pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dengan sistem perwakilan.[8] Pandangan ini ingin mementahkan argumentasi bahwa rakyat kebanyakan pada dasarnya mampu memahami dan mempertahankan dirinya sendiri, termasuk kepentingan dalam arti luas yaitu pemerintahan.  Rakyat biasa dengan keterbatasan yang melekat tentu saja tak cukup memadai untuk mengatur diri mereka sendiri.  Diperlukan sejumlah orang yang secara khusus memenuhi syarat tertentu untuk memerintah, dimana paling tidak memiliki pengetahuan yang cukup, serta keunggulan (keistimewaan) yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan kepentingan orang banyak.  Argumen ini setidaknya diamini oleh Aristoteles dalam sebuah diskusi pendek dimana banyak sekali orang yang tak memenuhi persyaratan untuk ikut serta memerintah.[9]Kelemahan tersebut seharusnya ditutupi oleh sekelompok orang yang memenuhi syarat sehingga mampu melindungi kepentingan rakyat dengan keunggulan yang dimiliki. Demokrasi bukanlah tanpa kemampuan dan keunggulan, tetapi demokrasi mensyaratkan keahlian yang memungkinkan untuk melindungi semuanya.  Pengetahuan penting dalam mengelola pemerintahan, termasuk bagaimana memerintah dan membuat kebijakan yang efektif.  Penciptaan pemerintahan yang baik tentu saja mensyaratkan keahlian memerintah dan kemampuan menciptakan kebijakan yang memungkinkan kesejahteraan dapat dicapai. Sedemikian pentingnya keahlian memerintah itu sehingga terkadang sistem pemerintahan kita menggambarkan campuran antara demokrasi dan meristokrasi[10]. Menurut Aristoteles, persyaratan dimaksud paling tidak memenuhi aspek pertama, moral capacity.  Kapasitas moral menunjukkan suatu kemampuan memahami tujuan dan maksud sesungguhnya dari apa yang akan diupayakan oleh pemerintah.  Tanpa pengetahuan ini tentu saja rakyat kebanyakan yang bahkan bersikap apolitis tidak pernah bisa memahami apa tujuan dan maksud dari pemerintahan yang sedang berjalan.  Mereka hanya paham, bagaimana sekelompok orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai tadi dapat memenuhi semua kepentingan dengan segera.  Kalaupun rakyat banyak relatif memahami tujuan dan maksud pemerintahan tersebut, persoalan berikutnya adalah bagaimana mewujudkan semua impian tersebut. Itikad  kuat untuk mewujudkan maksud dan tujuan pemerintahan inilah yang disebut dengan istilah kebajikan (good capacity). Paduan kedua persyaratan diatas menghasilkan apa yang disebutnya dengan kecakapan moral. Ketika dua persyaratan tersebut terpenuhi, maka bagian terakhir adalah bagaimana agar semua maksud dan tujuan tadi secara teknis dapat direalisasikan secara efektif.  Inilah persyaratan ketiga yang mesti dipunyai, yaitu kecakapan teknis/instrumental (technical capacity). Keseluruhan syarat dimaksud menciptakan kecakapan politik yang memungkinkan seorang perwakilan memadai untuk menjalankan pemerintahan.  Pemimpin politik yang baik menurut Juergen Habermas, seorang pemikir kondang madzabh Frankurt, sebaiknya memenuhi kualifikasi quantity of participation dan quality of discourse. Dalam konteks pemilihan kepala daerah misalnya, idealnya kepala daerah terpilih adalah pemimpin yang memenuhi kualifikasi jumlah kepala sekaligus isi kepala.  Simpelnya, kepala daerah tidak saja di dukung oleh jumlah kepala mayoritas yang terdaftar dalam setiap TPS, tetapi juga memiliki visi, misi, konsepsi dan skill perihal bagaimana mengurus daerah dan masyarakatnya.  Jumlah kepala pada dasarnya penting, karena semakin banyak pemilih tentu saja semakin tinggi tingkat legitimasi[11] seorang kandidat.  Legitimasi penting guna menjustifikasi kebijakan yang dijalankan oleh kepala daerah. Sementara ibarat kompas, isi kepala adalah visi dasar yang memandu dan menentukan arah pemerintahan.  Satu hal yang pasti, kepala daerah dapat saja memperoleh legitimasi yang kokoh, sebab terpilih karena di dukung oleh suara mayoritas.  Namun harus disadari, bahwa kepala daerah dengan dukungan mayoritas tidak otomatis sanggup mengemban aspirasi masyarakat.  Karena itu, publik di tuntut agar memilih pemimpin secara selektif, jika tidak maka pemilukada hanya akan sukses melahirkan pemimpin dengan banyak konstituen, namun tanpa kompetensi menjalankan amanat rakyat.  Masalahnya, apakah masyarakat di daerah dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah cukup selektif untuk memilih kepala daerah langsung?
Pada hakekatnya, tujuan demokrasi melalui mekanisme pemilihan langsung adalah membuka akses seluas mungkin bagi partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpin pemerintahan. Bahkan, sebagaimana dikatakan Jhon Stuart Mill, setiap minoritas dihargai dalam partisipasi demokrasi. Lebih dari itu, setiap individu yang terlibat dalam proses demokrasi sekecil apapun harus turut bertanggungjawab (Dahl,1992). Berlandaskan pemikiran itu, melalui sistem ini diharapkan lahir pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat. Dengan demikian, pemilukada langsung sesungguhnya merupakan langkah antisipatif guna meminimalisir kemungkinan salah pilih pemimpin.  Maka tak heran jika kemudian masyarakat banyak berharap pada sistem demokrasi.  Namun demokrasi ternyata tidak selalu menghadirkan harapan baik tadi, ia dapat pula mencuatkan kecemasan.[12] Sokrates, bahkan orang pertama yang skeptis pada sistem demokrasi model demikian.  Ia cemas karena sistem demikian hanya membuka peluang bagi manusia bebal, dungu dan tolol yang kebetulan di dukung konstituen mayoritas menjadi pemimpin.  Sokrates paham benar bahwa rakyat tidak selalu mendukung sosok yang dinilai paling mampu dan cerdas, tetapi lebih sering sosok yang paling disukai.  Dapat dibayangkan, tanpa kualitas nalar, kompetensi dan pengalaman politik, kepala daerah cenderung bertindak atas dasar insting semata. Pengambilan keputusan dan tindakan bersifat instingtual, terperangkap pada agenda rutin, prosedur tetap (protap), business as usual, yang kesemuanya di desain tanpa pertimbangan kritis rasional. Akibatnya, setiap kebijakan dalam lingkungan birokrasi lebih tampak sebagai tindakan reflex, bukan produk refleksi yang lahir dari olahan intellectual discourse.
Pada sisi lain, meminjam prasyarat Schumpeter (dalam Aminuddin,2009:26) terhadap proses demokratisasi lokal setidaknya memenuhi tiga situasi penting yaitu political equality, local accountability dan local responsive. Kesetaraan politik merujuk pada terciptanya mekanisme chek and balance sehingga memungkinkan kemitraan berjalan tanpa dominasi satu sama lain. Pertanyaannya, apakah dengan sistem pemilukada langsung telah mendorong terciptanya mekanisme dimaksud? Tampaknya, harapan agar terciptanya kemitraan lewat mekanisme chek and balance dalam pilkada langsung belum terbukti sepenuhnya.  Yang terjadi hanya pergeseran kekuatan dari legislative strong ke arah eksekutif strong.  Legislatif lokal tampaknya hanya barisan pelengkap dalam rapat istimewa, tanpa kekuatan efektif untuk menganulir setiap kebijakan kepala daerah.  Pada level operasional, LKPJ kepala daerah hanyalah progress report,[13] bukan instrument pemakzulan. Komunikasi politik yang diharapkan terbangun dengan sendirinya dalam pilkada langsung ternyata tak menunjukkan tanda-tanda positif, yang tampak justru kekuatan sekelompok orang dalam barisan tim sukses sebagai pemetik manfaat dari pesta demokrasi di tingkat lokal.  Kedua, pertanggungjawaban lokal merujuk pada harapan masyarakat dimana kepala daerah dapat mempertanggungjawabkan setiap kebijakannya dihadapan masyarakat.  Faktanya, sekalipun mekanisme tersebut tersedia, namun tak ada satupun kepala daerah yang secara terbuka mempertanggungjawabkan kebijakannya pada masyarakat.  Akhirnya, satu-satunya harapan adalah mewakilkan kepada legislatif lokal. Namun, banyaknya regulasi yang melemahkan peran legislatif lokal dalam pengawasan politik mengakibatkan pola pertanggungjawaban kepala daerah hanyalah bersifat formalitas belaka.  Ketiga, harapan terhadap lahirnya kepala daerah yang dapat merespon secara cepat apa yang menjadi kebutuhan masyarakat secara langsung, faktanya berhadapan dengan relatif belum terpenuhinya kemampuan yang memadai pada setiap kepala daerah.  Akibatnya, figur kepala daerah sebagai “bapak” sekaligus “teman” tak banyak muncul di tengah masyarakat, yang lahir adalah jarak yang semakin jauh (dissosiatif).  Sekali lagi, kepala daerah hanya dekat pada sekelompok orang dalam klub tim sukses yang kemudian menikmati secara dekat dan leluasa konsekeunsi dari relasi dimaksud. Nyatanya, hanya kelompok birokrat tertentu yang banyak memperoleh manfaat atas hubungan tersebut, bukan rakyat kebanyakan.
 Sebenarnya, komunikasi politik dalam wilayah berpenduduk kecil tidaklah sukar.  Karena itulah mengapa sistem demokrasi langsung (direct democracy) lebih efektif dilaksanakan di negara-negara kecil (small country).  Dalam kondisi demikian, setiap warga negara memungkinkan dapat terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan. Pemilihan langsung merupakan mekanisme yang memungkinkan keterlibatan rakyat secara sadar untuk memilih pemimpinnya sebagaimana dipraktekkan di Polis, Athena.[14] Inilah yang di sebut dengan partisipasi politik[15], yaitu keterlibatan setiap warga negara dalam proses politik. Pada negara dengan sistem politik modern serta memiliki jangkauan yang lebih luas, gagasan demokrasi langsung menjadi sukar untuk diterapkan, bahkan dipandang tak realistis (Suhelmi:2007).[16]Jumlah penduduk yang sedemikian besar dan struktur politik yang kompleks di negara-negara modern hanya mungkin menerapkan demokrasi melalui sistem perwakilan (indirect democracy).

Realitas Pemilukada di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, perdebatan kita bukan lagi pada soal apakah sistem politik apa yang sesuai, sebab amandemen konstitusi 1945[17] telah menjawab, yaitu sistem politik demokrasi.  Yang perlu didiskusikan adalah mekanisme apakah yang lebih layak, jika kita tak ingin menyebut ideal dalam suasana batin Indonesia saat ini.
Sejak diberlakukannya pemilukada di Indonesia tahun 2005, sejumlah masalah muncul sebagai implikasi pemilukada dalam mencapai tujuan awal. Di tingkat operasional, identifikasi lapangan Fatoni (2010) menyebutkan bahwa terdapat masalah pada aspek pendaftaran pemilih, pendaftaran dan penetapan kepala daerah dan wakil kepala daerah, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta penetapan dan pengesahan pasangan calon terpilih. Realitas empirik dimaksud sejauh ini relatif dapat diselesaikan melalui upaya-upaya teknis dilapangan. Namun, pada skala yang lebih luas terdapat sejumlah persoalan yang sebelumnya terprediksikan oleh para pengamat sebagaimana catatan Surbakti dan Haris (2005).  Demikian pula catatan Bisri dkk (2006) tentang dua masalah krusial berkaitan dengan dampak liberalisasi politik yang menghadirkan kandidat kuat modal serta menguatnya dominasi eksekutif karena dipilih langsung.  Hadirnya pemodal kuat dalam pemilukada disebabkan terbukanya akses langsung ketika kandidat berhadapan dengan masyarakat luas.  Tanpa pendidikan yang cukup, masyarakat tak berharap banyak dari setiap kandidat yang akan bertarung, kecuali ongkos pulang-pergi ke tempat pemungutan suara.  Para pemodal domestik berkepentingan dalam bentuk dukungan finansial yang memungkinkan mereka mendapatkan konsesi atas sejumlah projek.  Pemodal asing tak kalah memberi warna dalam konsesi barang tambang, mineral hingga kelapa sawit.  Disisi gelap, sebagian birokrat mengundi nasib lewat bargaining position untuk memastikan masa depan dengan mempertaruhkan keberpihakan dan mobilisasi massa. Menguatnya dominasi eksekutif bukanlah isapan jempol belaka, faktanya keseluruhan perencanaan dan implementasi APBD dijalankan secara solo karier oleh pasangan kepala daerah terpilih. DPRD praktis tak memiliki akses langsung kecuali mengetuk dan mengamini semua kebijakan kepala daerah.  LKPJ sebagai momentum evaluasi dan konkritisasi pengawasan DPRD hanyalah prosedur formal yang penuh senda gurau dan pantun jenaka, tanpa catatan kritis sebagaimana harapan publik.  Secara umum, catatan pemilukada hingga tahun 2011 menyiratkan persoalan besar yaitu, pertama, tingginya ongkos demokrasi. Berpijak pada catatan Fatah (2008),[18]pemilukada dilaksanakan rata-rata setahun kurang lebih 103 kali[19]. Dari sisi ongkos pemilukada, menurut Jusuf Kalla (2008), setiap tahun negara menganggarkan biaya lebih kurang 200 triliun. [20] Menurut kalkulasi kasar, secara umum baik pemilukada dan pemilu legislatif plus presiden menyedot biaya tinggi.[21] Dengan perkiraan tersebut tampak bahwa ongkos demokrasi melalui mekanisme langsung menyedot biaya yang tak sedikit.  Namun persoalannya bukan semata-mata pada hal itu. Masalahnya, apakah demokrasi langsung telah menghasilkan pemimpin yang berkualitas sehingga mampu menunaikan amanah rakyat sekaligus mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih baik? Faktanya, produk pilkada langsung baru menghasilkan pemimpi, bukan pemimpin. Para pemenang bahkan tak meninggalkan apa-apa, kecuali hutang piutang pemda dari satu rezim ke rezim berikutnya. Sementara beban APBD kian menyusut oleh ongkos demokrasi.[22] Dari sisa itu, yang tampak bukan efek trickle down  namun trickle up, dimana para kapitalis yang mampu menguasai percaturan politik pemerintahan lokal.
Pada aras publik, makna demokrasi sebagai alat atau instrumen yang digunakan dalam sistem politik untuk menjadi kanal bagi lahirnya pemimpin yang mumpuni dalam mengemban amanah masih jauh dari harapan. Demokrasi dipahami sebagai terminal akhir, bukan pilihan sistem diantara sistem otoriter dan totaliter. Bukan mustahil, sistem lain pada dasarnya menawarkan jalan lurus yang lebih menjanjikan, akomodatif dan marketable. Rendahnya upaya penghematan dalam biaya demokrasi mendorong terciptanya inefisiensi, bahkan pemborosan pada kenyataanya. Disini, prioritas kepentingan publik menjadi pertaruhan diantara kepentingan kelompok elit yang berkuasa. Dengan kesadaran bahwa pemilukada hanyalah salah satu diantara mekanisme demokrasi yang perlu dibangun, maka selayaknya proses demikian tidaklah dipandang sebagai terminal akhir dalam demokrasi.
Paradoks lain yang perlu diperhatikan adalah kecenderungan semakin tinggi kualitas sistem demokrasi yang akan di bangun terdapat kecenderungan rendahnya efisiensi. Bagaimanapun, demokrasi dengan segala bentuk mekanismenya adalah sistem yang baik, bahkan mungkin jauh lebih baik dan bijak jika dibanding dengan sistem lain, sekalipun tak sedikit mengandung sejumlah kelemahan. Lewat analisis Boediono, demokrasi memiliki relasi positif dengan efisiensi[23]. 

Urgensi dan Keunggulan Pemilukada Tak Langsung
          Urgensi pemilukada tak langsung tampaknya perlu dipertimbangkan kembali untuk menjawab sejumlah persoalan besar yang menghadang dalam implementasi demokrasi langsung.  Jika pemilukada langsung merupakan antitesa terhadap pemilukada tak langsung tempo hari, maka diperlukan instrument yang mampu menjawab antitesa sebaliknya dengan mencuatkan problem mendasar pemilukada tak langsung. Hal ini perlu dikemukakan lebih awal untuk sesegera mungkin menutupi kegagalan sistem pemilihan tak langsung dimasa lalu.  Satu-satunya catatan ktitis terhadap pemilukada tak langsung dimasa lalu adalah, rakyat tak merasa dilibatkan sama sekali.  Ini bisa dimaklumi, sebab lewat cara ini cukup wakil rakyat yang melakukan eksekusi untuk kemudian disodorkan kepada pemerintah pusat.  Jika diamati pemilukada tak langsung di jaman Orde Baru, sebenarnya asumsi bahwa DPRD sangat dominan dalam pemilihan kepala daerah tidaklah dapat disetujui, sebab sekalipun DPRD secara langsung memberikan suara, namun pemanang sebenarnya sudah dapat ditentukan sebelum permainan dimulai.  Satu-satunya faktor paling berpengaruh adalah persetujuan rezim yang berkuasa.  Bahkan, sekalipun DPRD memenangkan salah satu kandidat kepala daerah dari dua kandidat yang diajukan kepada pemerintah pusat, bukan mustahil kandidat lain dengan suara terkecil yang dilantik oleh pemerintah.  Dengan perubahan sifat dari sentralistik ke desentralistik, kemungkinan pemilihan kepala daerah akan sangat bergantung pada dinamika partai politik.  Pentingnya Pemilukada tak langsung di dorong alasan pokok; Pertama, konsistensi pada konstitusi dan falsafah negara. Sejalan dengan amanah konstitusi hasil amandemen ke 4 pasal 18 ayat (4), pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dilaksanakan secara demokratis.  Demokratis, menunjukkan bahwa sistem yang dapat dibangun melalui pemilihan langsung (direct election) maupun pemilihan tidak langsung (indirect election). Konsekuensi pada level implementasi adalah pemilihan langsung dilakukan oleh rakyat, sedangkan pemilihan tidak langsung dilakukan melalui DPRD.  Memperhatikan hal itu, maka secara konstitusional, pemilihan kepala daerah tak langsung oleh perwakilan rakyat tidaklah merupakan pekerjaan yang rumit dalam perubahan regulasi.  Tentu saja dengan memperhatikan kelemahan dan kelebihannya.  Apabila merujuk pada pembukaan UUD 1945 alinea ke 4, jelas bahwa konstitusi menyiratkan tentang pentingnya sistem perwakilan dimunculkan sebagaimana bunyi sila ke (4), kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan/perwakilan.  Berpijak pada kesadaran konstitusi dan falsafah negara, tampak bahwa selama ini sistem yang terbangun justru semakin jauh dari kedua rujukan utama.  Jika Presiden dan Wakil Presiden, DPR-RI, Gubernur dan Wakil Gubernur, DPRD, Bupati/Walikota serta Kepala Desa dipilih langsung, maka, dimanakah makna representasi government sebagaimana amanah konstitusi dan falsafah negara tersebut dapat ditemukan? Selain itu, jika dicermati lebih jauh konstruksi pasal 18 ayat (4) yang melandasi pemilihan kepala daerah dan pasal 4 UUD 1945 yang menjadi rujukan pemilihan presiden dan wakil presiden jelas berbeda.  Norma pertama hanya mengamanatkan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secara demokratis minus wakil gubernur, wakil bupati maupun wakil walikota. Sedangkan norma kedua secara eksplisit menyatakan pemilihan presiden oleh rakyat dilakukan secara berpasangan dengan wakil presiden. Konsekuensi pasal 18 diatas menyiratkan bahwa sesungguhnya pemilukada di level pemerintah daerah tidaklah mesti dalam bentuk berpasangan, bisa jadi dalam bentuk tunggal (Gubernur, Bupati, Walikota saja).  Teks ini jika dikaitkan dengan konteks Indonesia yang memiliki karakteristik daerah majemuk setidaknya dapat ditafsirkan secara fleksibel dalam artian suatu daerah kecil seperti DIY, Bengkulu, Gorontalo dan Bangka Belitung cukup satu wakil kepala daerah.  Sedangkan daerah luas seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dapat saja memiliki lebih dari satu wakil kepala daerah, bahkan untuk kota-kota kecil seperti Salatiga, Lubuk Linggau dan Padang Panjang tak perlu dilengkapi oleh wakil kepala daerah[24]. Kedua, meningkatkan efisiensi dalam mekanisme demokrasi. Pemilukada tak langsung dapat memperkecil high cost demokrasi. Realitas menunjukkan bahwa tingginya biaya pemilukada telah banyak menyerap proporsi APBD pada setiap lima tahun, bahkan pada tahun-tahun selanjutnya pasca pemilukada.  Setiap tahun pemerintah pusat harus menyiapkan biaya pemilukada dalam hitungan triliunan rupiah. Belum lagi biaya tambahan jika terjadi pemilihan ulang setelah dianulasi oleh Mahkamah Konstitusi.  Dalam pemilukada tak langsung kemungkinan draw tidak akan terjadi. Selain itu costnya sangat rendah.  Untuk pemilukada tak langsung, penyerapan biaya hanya dalam konteks panitia pelaksana, honorarium anggota DPRD serta pengamanan yang bersifat terbatas. Sebaliknya, pemilukada langsung membutuhkan biaya yang tak terbatas dari aspek manajemen KPUD hingga operasionalisasi lapangan pada tingkat TPS.  Ketidakterbatasan disini berkaitan dengan peluang dilakukannya pemilukada ulang sekiranya terjadi perselisihan.  Ketiga, mengurangi konflik horizontal. Oleh karena pemilukada dilaksanakan oleh DPRD secara langsung, maka konflik dapat diminimalisir sedemikian rupa.  Kecenderungan konflik yang sering meluas pada level horizontal dapat direpresentasikan oleh anggota DPRD dengan jumlah terbatas. Jika selama ini yang konflik berjumlah 1 juta orang, maka kemungkinan melalui pemilukada tak langsung cukup diwakili oleh 25 sampai dengan 100 orang.  Dengan demikian konflik relatif lebih menurun disebabkan mengecilnya kuantitas dan kualitas dalam medan perebutan kekuasaan. Kuantitas berkaitan dengan jumlah anggota perwakilan yang akan menentukan siapa kepala daerah yang akan dipilih. Sedangkan kualitas berkaitan dengan kemampuan anggota DPRD dalam proses penentuan kepala daerah yang akan dipilih.  Dengan pertimbangan pendidikan dan pendapatan yang cukup memadai, anggota DPRD tentu saja akan lebih berhati-hati dibanding kecenderungan anarkhisme masyarakat pendukung yang kecewa dalam pemilukada.  Keempat, melalui pemilukada tak langsung,  rakyat diharapkan tak selalu diprovokasi dengan janji dan ancaman bila tak memilih kandidat kepala daerah.  Kemungkinan rakyat lebih fokus pada kegiatan pokoknya. Selain itu, benturan antar basis massa dengan sendirinya akan terputus, sebab kandidat hanya berhubungan langsung dengan anggota DPRD, bukan massa di jalanan.  Sterilnya masyarakat dari hiruk-pikuk pemilukada dapat mendorong produktivitas tidak saja pada pejabat yang terpilih, termasuk masyarakat itu sendiri. Kelima, melalui pemilukada tak langsung setiap kandidat relatif dapat di kontrol dari aspek kualitas, sebab partai akan melakukan seleksi terhadap kadernya yang benar-benar memiliki kemampuan. Kemampuan dimaksud tidak semata-mata pada aspek financial, tetapi juga kapasitas moral, politik, dan pengelolaan kekuasaan dalam pemerintahan. Dalam konteks ini diperlukan regulasi yang lebih efektif untuk menciptakan mekanisme seleksi yang lebih transparan.  Keenam, melalui pemilukada tak langsung, dengan sendirinya mengurangi beban Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan sengketa pemilukada.  Selama ini MK disibukkan oleh sengketa Pemilukada hingga sampai pada keputusan mengulang kembali. Sejak pemilukada dilaksanakan, sengketa pemilukada telah mengakibatkan konflik horizontal, high cost, serta munculnya isu suap di tubuh MK.  Kondisi ini secara terus menerus dapat menurunkan kredibilitas pemerintah, khususnya komitmen penegakan hukum di Indonesia. Ketujuh, melalui pemilukada tak langsung akuntabilitas kepala daerah lebih efektif di kontrol.  Hubungan kepala daerah dan DPRD selama ini berjalan di atas semangat mitra kerja semu.  Oleh karena keduanya dipilih langsung, maka dengan mengusung semangat yang sama, keduanya memiliki legitimasi yang seimbang, eksesnya banyak kepala daerah cenderung tak begitu cooperatif dalam kaitan dengan fungsi pengawasan DPRD.  Hal ini dapat diamati dalam kasus penilaian LKPJ setiap tahun anggaran.  Jika pemilukada tak langsung dapat dilaksanakan, maka kepala daerah dipastikan lebih respek dan bertanggungjawab kepada DPRD sebagai wakil rakyat.  Kedelapan, melalui pemilukada tak langsung, netralitas birokrasi relatif dapat terjamin.  Dalam pemilukada tak langsung, tentu saja tak diperlukan tim sukses yang beranggotan PNS.  Oleh karena kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD, maka keterkaitan antara kandidat kepala daerah dengan birokrasi cenderung bersifat dissosiatif.  Birokrasi akan lebih steril, dimana area pelayanan publik tak begitu dominan tersentuh oleh arus politik. Pada dasarnya siapapun yang akan terpilih sebagai kepala daerah, itulah pemimpin yang akan dipatuhi oleh kelompok birokrasi. Kesembilan, dalam pemilukada tak langsung, money Politics relative dapat berkurang. Menghilangkan money politics secara nihil dalam realitas politik adalah mustahil.  Yang perlu dilakukan adalah memperkecil peluang terjadinya money politics sedapat mungkin melalui mekanisme pengawasan tertentu. Sejauh terdapat demand and supplay, pasar dengan sendirinya akan terbentuk.  Namun jika diperbandingkan, money politic hanya akan terkonsentrasi pada elit partai politik yang jelas dan terukur. Ini hanyalah konsekuensi dari pemilihan kepala daerah. Sebagai ilustrasi, seseorang yang akan maju dalam pemilukada tak langsung dengan jumlah anggota DPRD 40 orang, cukup menyiapkan upeti bagi 21 orang (50% plus 1, absolute mayority).  Seandainya setiap suara dihargai dengan nilai 200 juta rupiah, maka setiap kandidat hanya butuh 4,1 M.  Secara logika ini masih wajar dapat dikembalikan dalam kurun waktu lima tahun dengan gaji dan tunjangan rata-rata kepala daerah sebesar 8,5 jt/bulan.  Bandingkan jika bertarung dalam pemilukada langsung, setidaknya seorang kandidat harus menyiapkan 15 M pada setiap putaran untuk memenangkan jabatan kepala daerah.  Kalaupun menang, dengan gaji dan tunjangan kepala daerah sebagaimana dikemukakan diatas, tidaklah mungkin dapat dikembalikan dalam lima tahun, kecuali melakukan tindakan yang justru kita tolak bersama, yaitu korupsi.

Kesimpulan
          Jika keunggulan pemilukada langsung adalah kepala daerah cenderung dikehendaki rakyat, faktanya ia cenderung dikehendaki karena uang.  Kepala daerah yang dikehendaki rakyat terbatas berasal dari daerah pemilihan tertentu. Jika kepala daerah dianggap dekat dengan rakyat, realitasnya kandidat justru banyak berasal dari luar daerah yang lama meninggalkan daerah kelahirannya.  Jika asumsinya bahwa kepala daerah dipahami dan memahami rakyat, kenyataanya justru banyak kepala daerah tak begitu paham seluk beluk daerahnya, bahkan tak memahami kehendak rakyat.  Jika kepala daerah dinilai dapat memberikan janji secara langsung dan rakyat dapat menagih secara langsung, di alam nyata kebanyakan janji tinggal janji, dan rakyat tak punya mekanisme yang pasti dalam menagih janji kepala daerah.  Jika rakyat dipandang dapat mengoreksi cara kerja kepala daerah, faktanya rakyat tak punya nyali sekaligus mekanisme baku untuk melakukan kontrol, apalagi memberi punishment manakala kepala daerah melakukan tindakan yang melanggar moral.  Secara umum, bahkan rakyat tak mengetahui kadar kemampuan kepala daerah. Diatas semua keunggulan pemilukada langsung yang pada akhirnya menunjukkan sejumlah kegagalan di tingkat implementasi, tampaknya membutuhkan alternatif pemilukada tak langsung dengan sejumlah kelebihan antara lain, konsistensi pada konstitusi dan falsafah negara, rendahnya konflik horizontal, rendahnya manipulasi dalam bentuk janji yang mengakibatkan hubungan antara kepala daerah dengan rakyat, penguasa serta birokrasi terganggu, terfokusnya publik pada kegiatan pokok tanpa melalaikan pengawasan secara berjenjang, meningkatnya efisiensi dan efektivitas demokrasi, lahirnya kandidat kepala daerah yang relatif berkualitas, berkurangnya beban Mahkamah Konstitusi, munculnya kontrol partai politik terhadap setiap kandidat, meningkatnya akuntabilitas kepala daerah pada rakyat melalui DPRD, terjaminnya netralitas birokrasi, serta mengurangi perilaku money politics selama proses pemilukada.






Referensi :

Agustino, Leo, 2010. Pilkada dan Redistricting: Dinamika Politik Lokal dalam Politik Indonesia yang Terdemokrasi, edisi 16, Forum Komunikasi Alumni Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta
Amirudin dan A. Zaini Bisri, 2006. Pilkada Langsung, Problem dan Prospek, Pustaka Pelajar, 2006
Budiardjo, Mariam, 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta.
Dahl, Robert, 2001. Perihal Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
---------------, 1985. Dilema Demokrasi Pluralis, Rajawali Press
---------------, 1992.  Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Fatoni, Agus, 2009. Pilkada yang Demokratis dan Permasalahan dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Jurnal Pamong Praja, edisi 15, Forum Komunikasi Alumni Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.
Haris, Samsuddin, 2005. Masalah dan Strategi Menyukseskan Pilkada Langsung, Jurnal Pamong Praja Edisi 3,  Forum Komunikasi Alumni Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.
Hamdi, Muchlis, 2002. Bunga Rampai Pemerintahan, Yarsif Watampone, Jakarta
Halim, Ridwan, 2009. Sendi-Sendi Sosiologi dan Hukum-Hukum Pragmatisasinya, Puncak Karma, Jakarta
Koten, Yosef Keladu, 2010. Partisipasi Politik, sebuah Analisis atas Etika Politik Aritoteles, Ledalero ,Maumere
Lestari, Simto, 2011.  Arah Kebijakan Regulasi Pemilihan Kepala Daerah, Republika, 2011
Noer, Deliar, 1997. Pemikiran Politik Barat, Mizan, Bandung
Olson, M, 1993. Dictatorship, Democracy and Development, The American Political Science Review, (dalam Agustino Leo, 2010)
Rapar, 1993. Filsafat Politik Aristoteles, Rajawali Press, Jakarta
Rasyid, Ryaas, 2002. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Yarsif Watampone, Jakarta
Rowa, Hyronimus, 2009. Perimbangan Demokrasi dan Efisiensi Dalam Pemilihan Kepala Daerah, Jurnal edisi14, Forum Komunikasi Alumni Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta
Sabine, G.H, 1950. A History of Political Theory, Henry Holt and Company, New York
Surbakti, Ramlan, 2005. Beberapa Pertanyaan Tentang Sistem Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung,  Jurnal Pamong Praja Edisi 3, Forum Komunikasi Alumni Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.
Suhelmi, Ahmad, 2007. Pemikiran Politik Barat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Regulasi

UUD 1945 Amandemen Ke 4
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU No.22 Tahun 2003 Tentang Sususnan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
UU No.12 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
PP No.6 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan, Pengesahan, Penetapan dan Pemilihan Kepala Daerah
PP No.3 Tahun 2007 Tentang LPPD, LKPJ dan LIPPD

         





[1] Email; muhadamlabolo@yahoo.com. Dosen tetap pada Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta, Pasca Sarjana Ilmu Pemerintahan Unlam Banjarmasin, Ketua Departemen Kajian Pemerintahan pada Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan (IKAPTK), Ketua Departemen Pengembangan Akademik dan Pendidikan pada Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategik Pemerintahan.
[2] Istilah Pemilukada merupakan hasil perubahan normatif pasca keputusan MK yang mendudukkan rezim pilkada sebagai bagian dari Pemilu.  Lihat perubahan kedua UU 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No.12 Tahun 2007 dan aturan pelaksanaan pilkada (PP 6/2005 dan perubahan selanjutnya).
[3] Ramlan Surbakti, tentang Beberapa Pertanyaan Tentang Sistem Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (hal.49-63), Samsuddin Haris, Masalah dan Strategi Menyukseskan Pilkada Langsung (hal.64-75), masing-masing dalam Jurnal Pamong Praja Edisi 3-2005. Hyronimus Rowa dapat dilihat dalam Jurnal yang sama edisi14-2009, tentang Perimbangan Demokrasi dan Efisiensi Dalam Pemilihan Kepala Daerah, (hal.41-54). Agus Fatoni, Pilkada yang Demokratis dan Permasalahan dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Jurnal Pamong Praja, edisi 15-2009, hal.31-40. Leo Agustino, Pilkada dan Redistricting: Dinamika Politik Lokal dalam Politik Indonesia yang Terdemokrasi, edisi 16-2010, hal.14-34, Jakarta, Forum Komunikasi Alumni Institut Ilmu Pemerintahan.
[4] M.Olson, Dictatorship, Democracy and Development, The American Political Science Review, 1993. Sekalipun istilah Olson yang dimodifikasi Agustino tak begitu nyaman untuk menggambarkan jalinan terbentuknya pola-pola kekuasaan dari tingkat elit hingga daerah, Namun perlu dipahami bahwa teori dimaksud hanya untuk menggambarkan kesamaan-kesamaan yang berlaku dalam realitas sosial. Bisa jadi penguasa yang terbentuk adalah sekelompok bandit yang tentu saja dipilih oleh mayoritas bandit, sebagaimana logika sederhana demokrasi.  Stationary bandit dimaknai sebagai penguasaan sumber daya oleh sekelompok oligarkhi yang kemudian mendistribusikannya ke level bawah guna mempertahankan kekuasaan secara berjenjang.  Mereka yang berada di level bawah disebutnya dengan kelas baru sebagai perpanjangan tangan pusat (roving bandits), lihat kembali Agustino, Pilkada dan Redistricting: Dinamika Politik Lokal dalam Politik Indonesia yang Terdemokrasi, edisi 16-2010, hal.18-19, Jakarta, Forum Komunikasi Alumni Institut Ilmu Pemerintahan.
[5] Dielaborasi kembali oleh Ryaas Rasyid dalam Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Yarsif Watampone, 2002, hal.39.
[6] Tentang konsep demokrasi dapat dilihat kembali dalam elaborasi Dahl, Perihal Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia,2001, bandingkan pada buku lain seperti Dilema Demokrasi Pluralis, Rajawali Press,1985, atau Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992 jilid 1 dan 2.
[7] Muchlis Hamdi, Bunga Rampai Pemerintahan, Yarsif Watampone, Jakarta, 2002, hal.44-45
[8] Robert A.Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, (terjem), yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992, hal.69
[9] Ibid, 1992,hal.75
[10] Meristokrasi, suatu konsep yang menunjukkan pada sejumlah pejabat yang diseleksi semata-mata berdasarkan keahlian dalam bentuk kompetisi, tunduk secara formal pada kabinet, perdana mentri, presiden atau badan badan legislatif. Meristokrasi secara praktis merujuk pada organisasi birokrasi berdasarkan keahlian dan beroperasi pada setiap rezim demokrasi serta dikendalikan sepenuhnya oleh para pemimpin yang terpilih (Aristoteles dalam Dahl, 1992:78)
[11] Legitimasi disini tidak saja berkaitan dengan seberapa besar hasil yang diperoleh, tetapi juga seberapa sehat suatu proses dapat dilewati dengan baik oleh setiap kandidat. Tentang konsep legitimasi dapat dibaca kembali Ridwan Halim, Sendi-Sendi Sosiologi dan Hukum-Hukum Pragmatisasinya, Puncak Karma, Jakarta, 2009,hal.57-59.
[12] Amirudin dan A. Zaini Bisri, Pilkada Langsung, Problem dan Prospek, Pustaka Pelajar, 2006, hal.66.
[13] Lihat kembali PP No.3 Tahun 2007 Tentang LPPD, LKPJ dan LIPPD.
[14] Sabine, A History of Political Theory, Henry Holt and Company, New York, 1950, hal.3.
[15] Lebih jauh dapat dibaca kembali dalam Partisipasi Politik, sebuah Analisis atas Etika Politik Aritoteles, oleh Yosef Keladu Koten, Ledalero ,Maumere, 2010. Bandingkan pula konsep yang sama dalam Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2007, Jakarta.
[16] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal.27. Bandingkan munculnya gagasan yang sama oleh para filosof dalam Deliar Noer, Pemikiran Politik Barat, Bandung: Mizan, 1997, atau elaborasi Rapar dalam Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
[17] Lihat amandemen konstitusi 1945, aline ke 4 Pembukaan UUD 1945, sila ke 4 Pancasila dan pasal 1 ayat (2), selanjutnya untuk dasar pemilihan kepala daerah lihat juga pasal 18 ayat (4).
[18] Eep Saeful Fatah, bahan ceramah dalam seminar Konsolidasi Demokrasi oleh MIPI, 2008
[19] Artinya, dengan logika sederhana, setiap sebulan ada kurang lebih 8 kali pemilukada, seminggu ada 2 kali pemilukada, atau setiap tiga hari rata-rata terdapat satu kali pemilukada.
[20] Jusuf Kalla, Republika, 2008
[21] Pemilu legislatif dan Presiden menghabiskan biaya kurang lebih 45-50 triliun, dengan asumsi maksimal dua putaran. Pemilihan Bupati/Walikota di wilayah yang berskala luas dan padat seperti Jawa menghabiskan anggaran antara 5 sd 500 milyar. Demikian pula untuk pemilihan Gubernur di area yang sama menyedot biaya rata-rata antara 500 sd 1 triliun. Kasus pemilihan Gubernur Jawa Timur dengan asumsi 3 putaran menghabiskan biaya lebih kurang 830 milyar. Pemilihan Gubernur Jawa Tengah menghabiskan anggaran kurang lebih 650 milyar. Pemilihan kepala desa di luar Jawa rata-rata menyedot APBD antara 5 sd 150 juta.
[22] Menurut Suwandi (2005), alokasi APBD untuk biaya tukang saja rata-rata menyedot 50,3%. Kalau satu putaran pemilukada menghabiskan 15%, biaya perawatan pemda sebesar 10%, maka APBD praktis tersedot kurang lebih sebesar 75,3% untuk ongkos tukang "mensejahterakan rakyat" (eksekutif dan legislative). Yang tersisa untuk rakyat tinggal 25%.
[23] Menurutnya, kalau income suatu negara di bawah 1500 USD, maka usia harapan hidup demokrasi (daya tahan demokrasi) hanya 5 tahun. Antara 1500-3000 USD, usia harapan hidup demokrasinya hanya 8 tahun. 3000-5000 USD hanya 10 tahun, 5000-6000 USD hanya 15 tahun, di atas itu probabilitas usia harapan hidup demokrasinya lebih stabil seperti USA dan Inggris (pidato pengukuhan guru besar Boediono,2008). Kalau Indonesia, dengan mengambil data income perkapita tahun 2006 (purcashing power purity) sebesar 4000-4500 USD/tahun, maka kemungkinan hanya bisa survive selama 9 tahun, artinya hanya sampai tahun 2015. Mengutip prediksi sosiolog Thamrin Tomagola pada seminar MIPI (2008), jika Indonesia pecah pada tahun 2015, kemungkinan menjadi 17 negara, yaitu Negara Jawa, Negara Sunda dan Negara Banten. 14 negara lain disumbangkan dari wilayah Indonesia Timur.
[24] Lihat catatan Tim Ahli Simto Lestari dalam Arah Kebijakan Regulasi Pemilihan Kepala Daerah,  Republika, 11 Desember 2011.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian