Etika Bongkar Pasang Kepala Daerah
oleh. Dr. Muhadam Labolo
Indonesia adalah contoh negara
demokrasi dengan mekanisme pemilihan langsung paling unik di muka bumi. Negara sehebat dan sekaya Amerika, membangun
demokrasi susah payah selama ratusan tahun dengan tingkat kecerdasan masyarakat
diatas rata-rata enggan menerapkan demokrasi langsung, termasuk memilih
presidennya. Indonesia, dengan tingkat kehebatan ekonomi jauh dibawah Singapura,
atau barangkali hampir setaraf dengan Malaysia kalau tidak tertinggal, memasuki
usia kanak-kanak demokrasi, serta dengan tingkat kecerdasan masyarakat jauh
dibawah India, nekat menerapkan demokrasi langsung mulai dari kepala desa
hingga presiden. Dengan segala
kekurangan terhadap mekanisme yang dibangun, Indonesia menjadi contoh dimana
kekuasaan hanyalah mainan anak-anak yang dapat di bongkar pasang bergantung
keinginan dan restu pimpinan partai politik.
Kosongnya regulasi dalam mekanisme pemilihan kepala daerah telah
dimanfaatkan sedemikian rupa oleh para aktor di daerah untuk mempertahankan
kekuasaan tanpa batas waktu. Mendesain mekanisme demokrasi bukanlah hal
gampang, namun serumit apapun ia sebaiknya tetap dalam koridor yang mengarah
pada tujuan pembangunan demokrasi itu sendiri. Tanpa menutup mata, democratization, demikian menurut
Croissant dan Wolfgang Merkel (2004), mengidap semacam defective democracy, ia mungkin berhasil membangun mekanisme yang
rumit, namun terkadang gagal mengatasi masalah pokok masyarakat seperti
diskriminasi, kesenjangan antar kelompok, pendewasaan perilaku publik,
penyejahteraan dan kemakmuran. Salah
satu mekanisme yang rumit tadi menjadi rujukan dalam konteks pemilihan kepala
daerah langsung, diantara sekian banyak mekanisme yang berserakan dalam sistem
demokrasi di negara kita. Berkaitan
dengan pemilihan kepala daerah tersebut, kita dibuat terkagum-kagum dengan pola
bongkar pasang kandidat kepala daerah. Kalau anda sudah dibatasi jadi kepala
daerah, silahkan maju lagi sebagai kandidat wakil kepala daerah, tinggal pilih
kandidat kepala daerah mana yang akan rela menempatkan anda dibawah ketiaknya. Dan
berharaplah suatu ketika kepala daerah tersebut bermasalah hukum, biar anda
bisa menjadi kepala daerah untuk periode yang ketiga kalinya. Dinegara-negara
yang meletakkan demokrasi sebagai sistem politiknya tak juga melupakan etika
dalam pola rekrutmen. Seseorang yang pernah menjadi kepala pemerintahan tak
semestinya memikirkan dirinya sendiri, dengan melupakan orang lain. Sebut saja seandainya saya mantan kepala
daerah dan kini turun menjadi wakil kepala daerah, saya pasti akan menghadapi
bawahan dengan loyalitas kabur. Dulu
saya dipatuhi karena saya kepala daerah, sekarang loyalitas tertinggi tersebut
ada pada orang lain di puncak kekuasaan, dimana kepatuhan tersebut dengan
sendirinya bergeser sekian derajat selsius.
Disinilah masalah psikologisnya. Kalau keduanya konflik sebagaimana
potret hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lazim bertengkar
dewasa ini, pastilah kepala daerah akan menggunakan catatan kelam wakil kepala
daerah saat ia pernah menjabat sebagai kepala daerah. Kasus di Surabaya lain lagi, wakil walikota
yang sudah dua kali menjabat sebagai walikota plus dua kali sebagai wakil
walikota, bersiap-siap maju sebagai walikota untuk periode ketiga sekiranya
walikota defenitif tumbang dari sergapan pemakzulan DPRD. Kita semua yakin, tak
mungkin seseorang yang pernah menjadi kepala daerah akan dengan mudah
diperintah, apalagi dikendalikan oleh orang yang mungkin saja pernah menjadi
bawahannya. Secara psikologis sulit dibayangkan, sekalipun faktanya ada saja
orang yang mau menempatkan dirinya sebagai bawahan yang baik setelah sebelumnya
menjadi atasan yang terhormat. Dongeng dimana pembantu tiba-tiba berubah
menjadi majikan dapat ditemukan dalam banyak buku cerita anak-anak di
perpustakaan, tetapi sulit menemukan cerita dimana majikan tiba-tiba turun dan
bersepakat hidup bersama sebagai pembantu hingga akhir masa jabatan. Kalau cerita dongeng saja jarang
diilustrasikan lantaran kurang logis dan tak menarik, mengapa dalam kenyataan
kita mempraktekkan sesuatu yang tak
logis dan tak menarik tersebut? Saya menilai, seseorang yang ingin terus
berkuasa hingga dengan tulus memposisikan diri sebagai wakil kepala daerah
kemungkinan mengidap semacam sindrom autisme.
Mereka suka melakukan bongkar pasang untuk memenuhi ambisi dan kepentingan politik
sejauh yang mereka dapat peroleh. Seakan tak ada lagi orang lain disekitarnya,
sibuk dengan urusannya sendiri, budeg
terhadap kritik orang lain, bahkan tak mau tau apa kata dunia. Para pemimpin
kita kehilangan sensivitas etika pemerintahan, serta gagal membentuk kaderisasi
bagi kelangsungan pemerintahan di daerah. Saya tentu saja sangat menghargai
mereka yang bahkan pernah menjabat posisi puncak sebagai menteri, namun enggan
turun memperebutkan kursi kekuasaan di level bawah. Apapun alasan idealnya seperti mengabdi pada
tanah kelahiran, tampak jauh panggang dari api, semuanya jelas pada satu kepentingan
pragmatis, yaitu ambisi mempertahankan kekuasaan untuk melanggengkan
kepentingan hingga ajal menjemput di depan mata. Saya teringat seorang anak autis, anak kesayangan sahabat saya yang
aktivitasnya habis untuk permainan bongkar pasang. Permainan bongkar pasang adalah salah satu instrumen
yang memiliki mekanisme khususnya bagi anak kurang normal untuk melatih diri
agar dapat memahami pola hidup secara teratur.
Bagi seseorang yang mengidap autis,
mekanisme bongkar pasang pada sejumlah instrumen yang disiapkan mungkin saja
dapat merespon bekerjanya otak kiri dan kanan, bahkan bukan mustahil otak
tengah. Seorang autis akan
menghabiskan waktu berjam-jam untuk membongkar dan memasang kembali setiap permainan
yang disiapkan. Ia juga membutuhkan
konsentrasi yang cukup untuk menyelesaikan semua pekerjaan tadi. Saking asiknya mengotak-atik permainan, ia
menjadi orang paling sibuk menyelesaikan pekerjaan tanpa mau diganggu orang
lain. Kaum autis terkadang jauh dari hingar-bingar sosial, butuh kontrol
ekstra terhadap stabilitas mentalnya yang sewaktu-waktu dapat berubah arah. Para
autis kebanyakan adalah kelompok apatis, bahkan disebabkan oleh
ketidaknormalan tadi ia boleh jadi dibebaskan dari kewajiban berkomunikasi
dengan Tuhan, semacam ateis.
Komentar
Posting Komentar