Rotasi Jabatan dan Idealisme Weber
Rotasi
Jabatan dan Idealisme Weber
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Dalam
tradisi birokrasi, normal jika terjadi rotasi dari manajemen puncak hingga
jabatan yang paling rendah. Ini sering disebut
dengan tour of duty, tujuannnya agar
mesin birokrasi lebih fresh dan tak
monoton dengan pekerjaan yang membosankan. Menaruh seseorang pada jabatan lebih
dari empat tahun misalnya, sama halnya membuka peluang kearah penyalahgunaan
kekuasaan. Semakin lama pada kekuasaan
semakin besar peluang tersebut, demikian sinisme sejarawan Inggris Lord Acton. Dalam
rotasi jabatan seharusnya setiap anggota birokrat tak perlu risau, sebab
birokrasi memang disusun seideal mungkin oleh Maximilliam Weber (1864-1920) untuk
tujuan efisiensi dan efektivitas. Ibarat
mesin mobil, jika terasa ada yang kurang beres kemungkinan sebagian onderdil
harus diganti, ditukar, atau cukup dibersihkan. Itulah mengapa birokrasi
dipandang sebagai sebuah mesin, sebab semua proses dalam struktur yang
dikonstruksi haruslah berdasarkan pada karakteristik yang ditetapkan secara
ketat. Dalam hal ini praktek birokrasi pada umumnya menuruti kehendak Weber,
sehingga lazim disebut Weberian. Kalau saja saya yang susun waktu itu mungkin
saja namanya menjadi birokrasi ala Muhadamian. Persoalannya, bagaimanakah kalau
onderdil mesin diganti mendadak hanya karena pergantian sopir baru. Saya hanya kuatir jika sopir yang baru merasa
gerah dengan kondisi yang ada, lalu mengganti pula mesin dan asesoris baru. Ini
tentu saja selain membuang biaya besar juga membuat kenderaan seringkali mogok
di jalan. Mengapa? Karena kondisi mesin
kenderaan dan medan yang ditempuh mungkin saja jauh berbeda. Jika sopir baru terbiasa dengan kecepatan
penuh pada kenderaan kelas SUV, serta berstandar nasional, lalu kapasitas mesin
pendukung baru dibawah 1500 cc, berusia di atas 50 tahun, bukan KW satu alias barang second, maka kita bisa memperkirakan bukan
saja mesin kenderaan tadi yang tak dapat melaju cepat, namun semua penumpang
yang percaya pada sopir selama ini akan kecewa, sebab lima tahun kenderaan
bukan saja tidak bisa jalan, tapi benar-benar mogok total. Kalau alasan mengganti berbagai peralatan dan
asesoris kenderaan supaya sopir baru tak mengalami banyak kesulitan saat
serah-terima jabatan saya kira kita patut memberi apresiasi. Itupun sesuai
prosedur, bukan tergesa-gesa, apalagi main pangkas kiri-kanan. Yang kita
kuatirkan kalau saja penggantian mesin dan asesoris oleh sopir lama hanya
karena alasan agar kenderaan terlihat baru, tanpa memperhatikan ketepatan perangkat
onderdil yang dibutuhkan. Saya takut bukan saja mogok, boleh jadi rem bisa
blong dan masuk jurang. Syukurlah kalau
memang sudah waktunya untuk diganti. Di
negara ini, struktur birokrasi sangat kental dipengaruhi oleh kultur masyarakat
(Dwiyanto, 2011). Kuatnya kultur tadi seringkali memporak-porandakan semua
sistem nilai dalam birokrasi itu sendiri. Sistem hirarkhi dalam birokrasi
berguna sebagai instrumen kontrol dari level paling rendah hingga manajer
puncak. Sayangnya, kultur menjilat dan Asal Bapak Senang mematahkan sistem
hirarkhi tadi sehingga kontrol berubah menjadi media untuk menyampaikan laporan
yang paling disenangi, serta membuang jauh kebenaran secara faktual. Selain itu, jenjang hirarkhi yang panjang
mengakibatkan mereka yang berada di level puncak kekuasaan tentu saja lebih
berpeluang menjadi bagian yang paling di dengar dibanding mereka yang berada
dilevel kekuasaan paling rendah. Apalagi kalau sang manajer jarang turun ke
lapangan, sudah pasti semua laporan terkesan positif di atas meja kerja. Sistem
formalitas dalam birokrasi diharapkan mampu menjembatani semua pengambilan
keputusan agar terkendali dan memiliki landasan hukum yang jelas. Ironisnya, politisasi birokrasi seringkali
menggunting semua prosedur dan mekanisme yang tersedia demi pemenuhan syahwat
politik. Dengan alasan rupa-rupa,
seperti memperpendek birokrasi dan mempercepat pelayanan, sejumlah keputusan bisa
dibuat tanpa prosedur dan mekanisme yang jelas. Pada sejumlah kasus, untuk urusan mutasi,
promosi dan demosi pejabat yang tak disukai digunakan jalan pintas dengan
alasan bahwa ketentuan yang berlaku memungkinkan. Namun untuk masalah lain
dalam tempo yang berbeda, prosedur dan mekanisme digunakan secara ketat untuk
mengganjal seseorang ke level jabatan yang lebih memungkinkan. Dengan alasan
rasionalisasi, seseorang bisa memberi argumentasi lewat penafsiran sepihak
terhadap semua aturan yang dipandang menghalangi untuk kemudian dilanggar
secara etis. Disini bergantung pintar-pintarnya sang pejabat membuat statement di depan publik supaya publik
percaya bahwa tidak ada yang salah dalam prosedur dan mekanisme yang dijalani. Sistem spesialisasi dalam birokrasi juga
mengalami depresiasi yang jauh dari prinsip the
right man and the right place.
Seorang lulusan akademi pemerintahan bisa jadi dikandangkan supaya
pintar mengurus ternak sebagai Kepala Dinas Peternakan. Seorang magister peternakan bukan mustahil
dilantik menjadi Kepala Bagian Pertambangan.
Semua bergantung pada kepentingan penguasa. Disinilah struktur birokrasi mengalami
kepayahan, dimana kultur kekuasaan sangat rentan memojokkan idealismenya.
Disamping itu, tingginya intervensi kekuasaan terhadap birokrasi mengakibatkan
birokrasi kehilangan impersonalitasnya, sebuah sistem nilai yang ditumbuhkan
untuk melahirkan keadilan pada setiap orang saat dilayani. Sayangnya, sistem ini gagal memastikan
terwujudnya keadilan tadi, sebab mereka yang memiliki akses langsung dengan
para penguasa lokal tampaknya lebih menikmati keadilan dibanding mereka yang
telah menjalankan kewajibannya dengan baik tanpa alasan macam-macam, kecuali duduk
manis menikmati secangkir kopi panas di pojok kedai. Sekali lagi saya perlu
tegaskan, bahwa rotasi jabatan dalam birokrasi adalah hal biasa. Yang tidak
biasa jika ia dilakukan pada momentum
yang tak biasanya, bahkan pada sejumlah orang yang tak memiliki kemampuan luar
biasa. Singkatnya, kalau anda mengganti onderdil mesin saat kenderaan masih
sehat melaju di atas kecepatan 360 km/jam, bukankah sama dengan tindakan
mubajir atau sedikit gila. Parahnya
lagi, kalau penggantian onderdil dilakukan tidak sesuai merek, saya yakin bukan
saja sopir baru yang akan masuk jurang, penumpangnya pun beresiko amblas, sebab
merekalah sebenarnya yang fokus kita layani, apalagi jika tak diasuransikan
sama sekali. Innalillahi wainna ilaihi roojiun,......
Komentar
Posting Komentar