Wajah Birokrasi Pasca Pemilukada
Wajah Birokrasi Pasca
Pemilukada
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Siapakah yang paling sibuk berbenah
diri dan bersembunyi di balik protokoler jabatan pasca pemilihan kepala daerah?
Tentu saja kita bisa menebak dengan vulgar, kaum birokrat. Mereka yang kebetulan berani mengambil
langkah berada tepat di garis depan pertarungan politik praktis dan kalah,
kemungkinan besar nasibnya berada di ujung tanduk. Syukur-syukur kalau hanya
turun selangkah dari eselon tertinggi ke eselon yang lebih rendah. Masih mujur
seandainya ditampung lewat perasaan belas kasihan di eselon yang sama pada
jabatan kering, alias juru kunci.
Padahal, waktu mengkampanyekan paslon (pasangan calon) yang
didukung kelompok birokrat tersebut benar-benar jauh dari rasa belas
kasihan. Pendeknya, semua mahluk hidup plus benda mati yang berkecenderungan menghalangi
atau berindikasi tak mendukung, dipandang lawan sekaligus musuh yang mesti
diisolasi. Badan Kepegawaian Daerah
lazimnya menjadi instrument sensorial terhadap semua gejala dimaksud. Persis intel di jaman orde baru, semua yang berbeda
warna adalah musuh yang mesti ditiadakan dengan cara apapun. Kelompok birokrat kedua adalah mereka yang
secara latent mendukung paslon kepala
daerah yang kebetulan menang dan mengambil alih pemerintahan lewat pemilukada. Kelompok ini tak begitu banyak, gerakannya
dibawah tanah, men-suplay informasi
dan dukungan lewat tim sukses dan relawan.
Kelompok birokrat demikian biasanya akumulasi dari timpangnya kebijakan
dimasa lalu membuat mereka kehilangan masa depan serta tak memiliki akses dalam
mengembangkan karier. Kelompok birokrat
berikutnya adalah mereka yang benar-benar tak memperlihatkan dukungan pada
siapapun. Bagi mereka, siapapun yang
terpilih itulah yang patut dilayani dan diakui sebagai kepala daerah, entah
lahir dari kibaran warna merah, kuning, putih, biru maupun campuran dari
berbagai warna pelangi. Sebagian besar
adalah kaum birokrat yang memang tak memiliki harapan pada jabatan tertentu,
kecuali menanti datangnya gaji dan tunjangan bulanan tanpa kemacetan
sebagaimana macetnya lalu lintas di Ibukota Jakarta. Sisanya, sekelompok kecil birokrat yang
mengambil keuntungan dibalik riuhnya perseteruan dalam pemilukada. Dalam masa
transisi pasca pemilukada, kelompok birokrat ini biasanya berperan sebagai
pengawal transisi pemerintahan. Kemungkinan peran transisi tersebut didominasi
oleh kelompok birokrat pertama sambil menyembunyikan wajah agar tak tampak oportunistik.
Dalam masa transisi demikian segalanya bisa berubah dengan cepat. Semua yang terlihat garang boleh jadi
tiba-tiba tanpa alasan berubah menjadi lembut, selembut salju. Kelompok ini seringkali memanfaatkan transisi
pemerintahan lewat hal-hal yang tak semestinya dilakukan. Apalagi jika yang dikalahkan adalah paslon
unggulan semacam incumbent, dimana
loyalitas kelompok birokrat semacam itu tentu saja segera berangsur-angsur
lenyap. Dalam banyak catatan, persiapan
transisi pemerintahan di daerah seringkali dibarengi oleh rajinnya kelompok
birokrat demikian berkunjung kemana-mana. Beberapa diantaranya sowan malu-malu
pada paslon terpilih, minimal lewat sms. Sebagian beralasan studi banding, yang
lain mengunjungi gedung Mahkamah Konstitusi.
Ketika sebagian besar birokrat tumpah ruah di Jakarta, anda bisa
bayangkan berapa banyak APBD terkuras untuk sesuatu yang tak memiliki relevansi
dengan kinerja dan pelayanan pemerintahan.
Masuk di akal kalau projek tertentu bisa diselesaikan secara tuntas
sebelum setengah tahun berjalan, bukankah lebih mudah menghabiskan SPPD dengan
memanfaatkan peluang dimasa transisi semacam itu. Kalau saja semua birokrat menghabiskan
liburan panjangnya ke Jakarta hanya dengan satu-dua alasan yang tak begitu
jelas dan relevan dengan tugas pokoknya, maka siapakah yang melayani rakyat
pada tingkat tertentu. Tentu saja kita
sering menilai perkara demikian adalah perkara sepele, mudah, dan tak seserius
sebagaimana banyak orang keluhkan. Kita
selalu menganggap bahwa pelayanan di masyarakat bisa digantikan oleh staf yang
ditunjuk untuk itu, dan semua beban keuangan yang dihabiskan hanyalah
sepersekian persen dari nilai APBD secara keseluruhan. Kita sebenarnya hampir kehilangan sense of belonging, kehilangan kesadaran
dan tanggungjawab sebagai pemerintah.
Semua itu menandai susutnya nilai etika pemerintahan pada diri seorang birokrat. Birokrasi adalah satu-satunya mesin
pemerintahan yang diharap efektif mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan
itu sendiri. Jika birokrasi gagal
mengawal transisi pemerintahan, dan justru mengambil peluang di tengah
semrawutnya penataan pelayanan pada masyarakat, maka dimanakah nurani kita
sebagai pemerintah yang diamanahkan rakyat? Sejak pemilukada dicanangkan,
birokrasi kita adalah mahluk yang paling bermasalah selain masalah kultur yang
terus bertumpuk dari masa lalu.
Bagaimana mungkin membayangkan mereka mampu menyelesaikan segudang
masalah di tengah masyarakat jika birokrasi sendiri penuh dengan beban
masalah. Diantara pesimisme itu, saya
pernah diingatkan oleh seorang senior, pamong tulen asal Gorontalo, (bukan
Norman Camaru), yang hingga akhir pensiun tak bergeming di tengah terpaan gelombang
tsunami politik pemilukada. Menurutnya, birokrasi paling sedikit mengidap dua
belas penyakit kronis yaitu aids, asam urat, asma, batuk, flu, ginjal, kram,
kudis, kurap, panu, pucat pasi dan TBC.
Apa sebenarnya yang dimaksud olehnya? Aids artinya, alpa, izin,
dikit-dikit sakit. Asam urat, asal
sampai kantor, uring-uringan atau tidur. Asma, asal mengisi absen. Batuk, banyak
ngantuk. Flu, facebook melulu.
Ginjal, gaji ingin naik, tapi kerja lambat. Kram, kurang terampil. Kudis,
kurang disiplin. Kurap, kurang profesional. Panu, piket asal nulis. Pucat pasi,
pulang cepat padahal masih pagi. Penyakit kronis terakhir adalah TBC, tidak
bisa computer. Demikianlah wajah
birokrat kita.
Komentar
Posting Komentar