Belajar dari Pilkada Jakarta, Sebuah Era Baru
Oleh. Dr.
Muhadam Labolo
Pemilukada DKI Jakarta rasanya patut
diamati dengan seksama, sebab selain saya sekeluarga menjadi bagian dari warga
yang berhak menentukan masa depan Jakarta sebagai Ibukota Negara juga dalam hal
lain mudah dikenali, didekati, dirasakan serta dilihat sebagai bagian dari
observasi pemilu lokal. Saya dan
kawan-kawan banyak mengamati proses pemilukada di banyak daerah, termasuk di
tanah leluhur saya yang bermil-mil jaraknya dari pusat pemerintahan. Sekali lagi saya merasa penting untuk
diamati, sebab bersentuhan dengan banyak aspek yang menentukan masa depan
Jakarta sebagai representasi Indonesia. Boleh dikatakan inilah saatnya melihat
Jakarta sebagai miniatur demokrasi bercitra-rasa khas Indonesia. Silahkan bicara tentang demokrasi Amerika,
Inggris dan India, tetapi inilah demokrasi model Indonesia yang tentu saja
berkarakter dan bersudut-pandang Indonesia. Pertama, munculnya
kandidat gubernur dari berbagai latar belakang mengingatkan kita bahwa Jakarta
masih menjadi rumah bagi wadah kebangsaan Indonesia. Mengapa bicara kebangsaan?
Sebab demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia tampak bertumbuh dan
berkembang menurut selera lokalitas masing-masing. Ini menggembirakan sekaligus
mengkuatirkan jika tak dirawat dengan baik. Mengutip kekaguman Denys Lombard (dalam
Latif, 2012), “sungguh tak ada satu pun tempat di dunia ini kecuali mungkin
Asia Tengah yang seperti Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir semua
kebudayaan besar dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu”. Spirit ini
menjadi harapan kita semua agar berwujud dalam ke-Indonesiaan, dan bukan
sebaliknya. Maklum, dalam sepuluh tahun terakhir sejak kita menyepakati
mekanisme demokrasi langsung di daerah (2005), kecil peluang untuk dipilih
menjadi kepada daerah jika bukan putra asli. Pada rezim lampau, hak untuk
dipilih sebagai kepala daerah di daerah lain sangat terbuka sekalipun di desain
sistematis dan masif oleh penguasa. Sekarang, jangan berharap sekalipun tak ada
satu kalimat yang melarang kita bertandang ke daerah lain, sebab konstituen di
suatu daerah tentu akan mencemoh sekalipun kandidat kepala daerah memiliki
segudang prestasi dan pengalaman terbaik semasa hidup. Kita semua memaklumi inilah
salah satu dampak dari demokrasi politik.
Sebagai contoh, dua pasangan terbaik yang bertarung di Provinsi Bali
yaitu I Wayan Winasa (Mantan Bupati Jembrana) dan Cokorda (Mantan Bupati
Gianyar) sulit dinaturalisasi sebagai kandidat gubernur di daerah lain setelah
kalah oleh pasangan I Made Mangkupastika.
Ketiganya sosok figur yang relatif bagus namun dengan menguatnya
sentimen lokal dewasa ini sulit bagi yang kalah mengadu nasib di daerah lain
kecuali DKI Jakarta. Inilah kelebihan
Jakarta yang dapat menerima semua pasangan kandidat gubernur dari berbagai
latar belakang. Mencermati pasangan Alex
Noerdin, Hidayat Nur Wahid, Faisal Basri, Hendarman Soepandji, Joko Widodo dan
calon incumbent Fauzi Bowo saya pikir
ini menunjukkan kesebangsaan yang memperoleh wadahnya. Kini, siapakah yang
paling memiliki kepercayaan rakyat untuk menyelesaikan problem Jakarta yang
kian ruwet. Kedua, jika kita mencoba membedah pasangan kandidat gubernur
berdasarkan politik etnik, maka Alex Noerdin-Nono Sampono mewakili
Sumatera-Jawa, Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama merepresentasikan Jawa-China
Keturunan, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menjadi duta bagi Betawi-Jawa, Hidayat Nur
Wahid-Didik J Rachbini mewakili Jawa-Sumatera, Faisal Basri-Biem Benjamin
menjadi ikon Jawa-Betawi, sedangkan Hendardji Soepandji-Riza Patria menyisakan
Jawa-Sumatera. Dengan jumlah penduduk
Jakarta yang mencapai 9,7 juta jiwa, komposisi tertinggi etnik Jawa manjadi
cukup strategis untuk diperebutkan oleh semua kandidat. Penduduk asli Betawi
sendiri kini bukanlah populasi besar kecuali menjadi etnik ekslusif lewat
organisasi Forum Betawi Rembug. Selama
ini, etnik Betawi cenderung menyokong penuh putra asli seperti Fauzi Bowo. Fakta tersebut bisa dilihat dalam kasus
kemenangan Fauzi lima tahun lalu ketika berhadapan dengan pasangan Adang
Dorodjatun dalam jumlah yang tak berselisih lebar. Jika dicermati, semua pasangan mayoritas memiliki
kandidat yang berasal dari etnik Jawa. Sekalipun
demikian, komposisi demikian dapat menguntungkan calon incumbent disebabkan polarisasi etnik Jawa kesemua pasangan
kandidat yang pada akhirnya menyisakan dukungan etnik Betawi dan pemilih
konservatif. Bayangan berikutnya adalah meningkatnya dukungan pada pasangan
Jokowi yang memperoleh suara dari kelompok etnik China keturunan di sepanjang
Mangga Besar, Mangga Dua, Glodok, Tanah Abang hingga real estate seputaran
Jakarta. Ketiga, dari sisi
idiologi, komposisi pasangan dapat dipetakan dalam dua idiologi besar yaitu
kelompok nasionalis dan kelompok agamis.
Meskipun demikian, pembedaan tersebut dalam faktanya terkesan sulit
dilakukan disebabkan semua kandidat mengklaim sebagai pasangan
nasionalis-agamis. Di tingkat basis hal ini akan mendorong polarisasi yang
lebih senjang, sebab pemilih menganggap semua pasangan nasionalis sekaligus
religius. Hilangnya batas idiologi
tersebut menjadikan pemilih lebih bebas menentukan siapa yang paling dipercaya,
kecuali pemilih konservatif-radikal yang relatif sedikit. Terlepas dari itu, jika tim sukses pasangan
Jokowi mau bekerja keras, maka Ahok bisa menjadi kartu utama untuk menarik
basis dari sisi idiologi. Paling tidak perolehan suara tersebut dapat mengimbangi populasi Muslim terbesar di
Jakarta yang tentu saja terpolarisasi keseluruh pasangan kandidat Gubernur DKI
Jakarta. Keempat, dilihat dari aspek profesionalitas sebagai garansi
terhadap kemampuan menyelesaikan problem pokok Jakarta yaitu banjir dan kemacetan,
komposisi pasangan kandidat menunjukkan paket Politisi-Militer,
Politisi-Pengusaha, Politisi-Militer, Politisi-Akademisi, Akademisi-Civil
Society, Birokrat-Civil Society. Jika
dicermati, kandidat nomor satu dominan berasal dari politisi, akademisi dan
mantan birokrat, sedangkan wakil berasal dari jajaran militer, pengusaha,
akademisi dan civil society. Komposisi tersebut sekaligus menyadarkan kita
bahwa problem DKI Jakarta kemungkinan besar hanya akan diselesaikan secara
politik dikemudian hari, kecuali ada diantara kandidat yang benar-benar
menyiapkan sekenario besar dengan komitmen tinggi. Kelima, apabila
dihubungkan dengan stabilitas pemerintahan, pasangan yang mesti diwaspadai
adalah kandidat yang berasal dari lapis pengusaha dan akademisi, sebab realitas
pasca pemilukada mereka yang berpasangan dengan sesama politisi, pengusaha dan
akademisi rawan pecah kongsi pada tahun kedua dan seterusnya. Tentu saja prediksi tersebut tak menutup
kasus yang terjadi antara Fauzi dengan wakilnya yang berasal dari kalangan
militer. Kedepan, hubungan antara kepala
daerah dan wakil kepala daerah haruslah diperjelas dalam hal pembagian kewenangan
sehingga tak mesti “pisah ranjang” sebagaimana kita saksikan dimana-mana.
Menurut catatan Kemendagri (2012), 94% hubungan kepala daerah dan wakil sejauh
ini berjalan ibarat Tom and Jerry. Sisanya 6% hidup semusim laksana Romie and Julie.
Komentar
Posting Komentar