Mengawasi Potensi Buruk Pemerintahan
Oleh Dr. Muhadam Labolo
Dalam
falsafah politik, pemerintahan
adalah suatu aktivitas yang sangat dalam mengintervensi kehidupan manusia. Ia mengikuti setiap perubahan yang terjadi,
baik perubahan pada individu, lebih-lebih kelompok. Oleh karena perubahan tadi, maka jangan kaget jika
aktivitas pemerintahan seringkali berubah-ubah, termasuk dalam konteks
perubahan tujuan. Persoalannya,
bagaimana sebaiknya pemerintahan itu dikonstruksi sehingga ia menjadi tatanan
organisasi yang relatif mampu menjamin keberlangsungan hidup bersama secara
beradab. Dalam realitas masyarakat,
setiap kali sirkulasi kekuasaan (pemilu dan pemilukada) seringkali melahirkan
sejumlah aktor dengan gaya kepemimpinan paradoks. Mereka yang dulu
revolusioner, berapi-api menentang kedzoliman, anti terhadap kemapanan bisa
jadi berubah menjadi lebih konservatif, tak reaktif menghadapi setiap tekanan,
berorientasi masa lalu, teguh pada tradisi lama serta bersikap status quo. Bahkan mereka yang
tergambarkan semula anarkhis
dilapangan, seakan tak ada kompromi dengan rezim berkuasa, demonstratif dan
pantang menyerah, kini setelah menjadi penguasa mendapat tempat yang lebih
sistemik untuk mengembangkan potensi totalitarianisme di panggung politik pemerintahan. Dalam konteks ini, diperlukan kewaspadaan
setiap individu terhadap setiap perubahan rezim pemerintah berkuasa. Pemerintahan, lewat potensi jahat yang
melekat bersamaan dengan potensi kebaikannya terkadang menjadi ancaman utama
terhadap kebebasan setiap individu dan kelompok di tengah masyarakat. Terhadap hal itu, mengingatkan kita pada
catatan Mc. Iver (1992), sebagian individu percaya bahwa pemerintahan adalah
kejahatan yang diperlukan. Kejahatan, dimana sebagian besar perilaku bermasyarakat
di atur secara paksa
mulai dari membayar pajak hingga menempati kuburan ukuran dua kali satu meter
oleh dinas pemakaman. Ketika pemerintah merampas keseluruhan hak setiap
individu dan kelompok, maka disinilah gejala pemerintahan seringkali dipandang
sebagai kejahatan yang tidak saja
dibutuhkan, tetapi juga dibatasi. Sebaliknya,
ia dibutuhkan berkaitan dengan kesadaran kita tentang perlunya perlindungan
dari ancaman setiap individu maupun kelompok yang sewaktu-waktu datang
menghampiri kita. Sekalipun pemerintahan
dianggap sebagai musuh bagi kebebasan individu, ancaman terhadap kehidupan dan
kepentingan bersama,
namun pada saat yang sama pemerintahan diakui sebagai organisasi yang paling
dibutuhkan sekaligus dirindukan. Doktrin individu demikian bukanlah pandangan
yang keliru, selain untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap setiap perubahan
tindakan pemerintah yang memiliki potensi buruk. Sebab bagaimanapun pemerintahan hanyalah
kumpulan sejumlah individu yang tentu saja tak mampu melepaskan kepentingan
pribadi dengan serta-merta. Dalam bahasa
sederhana, Rousseau mengemukakan bahwa dalam kehidupan bebas, semua orang
membuat rencana jahat dan berjuang untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya
sendiri. Jika pemerintahan adalah
kumpulan individu demikian, dan setiap aktor pemerintahan memperlihatkan
rencana dan aktivitas dalam upaya menggapai keuntungan pribadi semata, maka tugas kita adalah melakukan normalisasi
guna memperkecil tumbuh dan berkembangnya kejahatan pemerintah dalam hal memperkaya
diri sendiri lewat cara apapun yang mungkin.
Salah satu strategi yang mesti di dorong adalah memaksa agar setiap
aktor pemerintahan melakukan konversi kepentingan individu mereka menjadi
kepentingan bersama yang lebih luas. Cara
ini bertujuan untuk menepis dan memperkecil dominasi kepentingan pemerintah
lewat aktor-aktornya dalam menguasai sumber daya yang tersedia. Satu hal yang perlu diingat bahwa di setiap
pelayanan pemerintah mengandung kepentingan mereka yang tak mungkin
terhindarkan. Ini mengandung makna bahwa
semakin banyak pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat, semakin banyak
pula kepentingan setiap aktor pemerintah yang tersimpan didalamnya. Seorang Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota,
Camat, Lurah, Kepala Desa, termasuk keseluruhan perangkat pemerintahan yang
melakukan pelayanan tentu saja secara otomatis memperoleh keuntungan dari
setiap pelayanan yang mereka laksanakan.
Dan semua itu tak dapat dihindari, baik honorarium, tunjangan kinerja
pelayanan, tugas pokok hingga insentif bekerja diluar paruh waktu untuk
melayani masyarakat. Jika keuntungan
tersebut tak diperoleh langsung dalam bentuk material, paling kurang setiap
aktor pemerintah memperoleh nama (status) dihadapan masyarakat melalui prestasi
gemilang atas pelayanan yang diberikan. Jika
demikian, maka pada logika sebaliknya menyatakan bahwa aktor pemerintah yang
enggan melayani rakyat hanyalah kumpulan aktor pemerintah yang miskin dan tak
amanah, selain tentu saja lebih jahat dari pemerintah yang sebenarnya. Bukankah secara gamblang mereka melalaikan
kepentingannya sendiri, bahkan secara terang-terangan memperlihatkan gejala autisme akut. Penghindaran diri para aktor pemerintah atas
tanggungjawab pelayanan pada masyarakat
menunjukkan gejala dimana pemerintah tidaklah mampu menyadari dirinya sendiri
sebagai kumpulan individu yang berkepentingan, sekaligus memperlihatkan gagalnya
kelompok elit yang bertanggungjawab terhadap semua harapan publik. Kasus dimana tingginya angka korupsi dalam
pemerintahan menunjukkan meluasnya kepentingan para aktor dalam organisasi
pemerintahan dibanding kepentingan publik yang lebih luas. Ia menjadi sumber masalah sekaligus ancaman
jangka panjang bagi setiap individu dan kelompok dalam masyarakat. Sebaliknya,
rendahnya pelayanan para aktor pemerintah terhadap masyarakat sekaligus
menjelaskan betapa bodoh dan miskinnya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat, termasuk gagalnya melayani kepentingan dirinya sendiri. Kembali ke statement awal, bukankah pada setiap pelayanan mengandung
kepentingan setiap individu didalamnya? Lalu, mengapa kita harus membatasi dan
bahkan menghindarkan diri dari pelayanan yang baik pada masyarakat?
Komentar
Posting Komentar