Evaluasi Otonomi Daerah, Catatan Buat Pasangan Kepala Daerah Baru


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Di penghujung bulan lalu tahun 2011, pemerintah mengumumkan hasil evaluasi penyelenggaraan otonomi daerah.  Pada 399 kabupaten yang telah dievaluasi dua tahun terakhir, terdapat 10 kabupaten terbaik.  Diantara 10 kabupaten terbaik itu, 70% berada di wilayah Pulau Jawa. Sisanya 30% mewakili Indonesia Bagian Timur atau di luar Pulau Jawa.  Kesepuluh kabupaten tersebut adalah Jombang, Bojonegoro, Sragen, Pacitan, Buleleng, Karanganyar, Kulonprogo, Enrekang, Luwu Utara dan Bualemo.  Jika dicermati lebih dekat, 3 kabupaten yang berada di luar Pulau Jawa diwakili masing-masing oleh Kabupaten Enrekang (Provinsi Sulawesi Barat), Luwu Utara (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Bualemo (Provinsi Gorontalo).  Lalu, bagaimana dengan evaluasi penyelenggaraan otonomi daerah di wilayah perkotaan? Dari total 98 kota di Indonesia, 90% penyelenggaraan otonomi terbaik berada di Pulau Jawa, sisanya 10% berada di wilayah kota luar Jawa.  Kota-kota tersebut adalah Surakarta, Semarang, Banjar, Yogyakarta, Cimahi, Probolinggo, Mojokerto, Sukabumi, Bogor dan Sawahlunto.  Satu-satunya kota terbaik di luar Pulau Jawa diwakili oleh Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat.  Pertanyaannya, dimanakah posisi kabupaten kita dalam percaturan penyelenggaraan otonomi daerah dewasa ini? Sayapun sulit menemukan dimanakah posisi kita dalam konteks demikian, jangan-jangan kita sedang kehabisan energi gara-gara pertarungan pemilukada yang tak berujung pangkal.  Menempati urutan dalam kategori sebagaimana telah dicapai oleh kesepuluh kabupaten di atas setidaknya menunjukkan kualitas dan marwah kita dihadapan daerah lain dalam penyelenggaraan otonomi daerah.  Apa makna yang bisa di petik dalam reward demikian? Banyak hal yang dapat dimaknai sekaligus dipelajari, mulai dari perencanaan hingga implementasi program di masing-masing kabupaten tersebut, namun bagi saya adalah kemampuan pemerintah daerah menjalankan satu nilai dasar, yaitu amanah.  Sedemikian luasnya falsafah dari kata amanah tersebut, dalam bahasa ilmiah saya seringkali menggunakan tiga kata sekaligus untuk mewakili nilai dasar tadi, yaitu komitmen, konsistensi dan kontinuitas.  Menurut saya, amanah mengandung tiga konsep di atas.  Jika pemerintah daerah amanah, maka lihatlah seberapa jauh ketiga konsep tersebut mengalir dari desain visi dan misi hingga program dan kegiatan yang lebih konkrit dilapangan.  Terlalu banyak kepala daerah pandai merajut visi dan misi laiknya kaligrafi di depan kantor bupati dan walikota, namun sedikit yang beranjak pada tingkat yang lebih realistik.  Sebagai contoh, kalau anda kepala daerah yang melukis visi dan misi lewat kata “nyaman dan aman”, bagaimana merasakan kata-kata tersebut jika anda keluar dari garasi mobil dan tiba di jalan protokol langsung dihadang macet. Pada saat yang sama, setiap warga beresiko berhadapan dengan kejahatan jalanan yang kian marak.  Kalau anda kepala daerah yang sering menjual visi dengan kata “agamis dan cerdas”, bagaimana kata spiritual dan akademis tersebut muncul dalam bentuk kesantunan masyarakatnya saat menjalankan agamanya.  Produk dari pengamalan agama yang baik dan benar mestinya tercermin dalam perilaku sopan dan santun dalam keluarga, sekolah, ruang kerja hingga lingkungan dimanapun seorang warga bermukim.  Bukan sebaliknya, pemerintah daerah tak peduli dengan visi yang dicantumkannya sendiri, hingga melahirkan sekelompok penganut radikal semacam NII.  Visi kecerdasan seharusnya nampak dalam program dan kegiatan belajar-mengajar dari tingkat paling dasar hingga level paling tinggi yang mampu disediakan.  Kalau lebih banyak masyarakat yang “pata pinsil” hidup di tengah dinamisasi politik, pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, bukankah visi yang dibangun jauh panggang dari api.  Anda boleh bayangkan, kalau visi membentuk kecerdasan masyarakat tak bisa dicapai, maka kantor partai politik akan dipenuhi oleh sekelompok pengurus tanpa pendidikan yang memadai.  Jika sudah demikian, maka isi ruang DPRD di setiap daerah adalah sekelompok orang dengan sertifikat ijazah paket C (bukan bahan galian C).  Yang menjadi renungan saya, mengapa kelompok masyarakat yang sedikit lebih cerdas dan berpengalaman tak menyediakan waktunya untuk mewakili mereka yang tak begitu cerdas di dewan. Paling tidak mewakili saya dan anda sekalian yang rajin membaca harian ini. Ironisnya, masyarakat yang lebih pandai dan berpengalaman tadi rela dan ikhlas dipimpin oleh dua-tiga orang wakilnya di dewan dengan hanya bermodalkan izajah persamaan. Mudah-mudahan bukan persamaan dengan orang bodoh. Atau mungkin orang bodoh hanya dipersamakan secara administratif supaya sederajat dengan orang pandai. Soal isinya lain lagi. Atau bisa jadi orang pandai sudah tak mempersoalkan jika mereka disamakan dengan orang bodoh. Atau orang pandai sudah diperbodoh oleh orang bodoh.  Dewasa ini kita agak kesulitan membedakan mana orang pandai, mana orang bodoh.  Yang tampak, orang bodohlah yang kini menjadi orang pintar di daerah, bahkan di negeri ini.  sebab tanpa ijazah dan pendidikan yang memadai mereka duduk sebagai anggota dewan lalu membuat aturan macam-macam. Memang tak ada hubungan signifikan antara yang punya izajah dengan tingkat kecerdasannya, sebab banyak juga pemegang ijazah yang IQnya jongkok. Tapi paling tidak ini menjadi standar ideal. Masalahnya, ketika ijazah persamaan tadi dijadikan syarat untuk menjadi wakil rakyat yang notabene membutuhkan kecerdasan dalam mendesain regulasi guna mengatur masyarakat secara luas semisal peraturan daerah. Kritik saya buat mereka yang merasa lebih pandai di daerah, untuk apa ijazah terbaik dari lulusan SMU, Diploma, Sarjana dan Pasca Sarjana tersimpan di lemari?  Kalau anda tak gunakan, maka realitas politik berhadapan dengan dilemma demokrasi, setidaknya demikian kekuatiran Socrates.  Seseorang cenderung akan dipilih bukan karena kompetensi, hanya karena popularitas dan kekuatan uang.  Indikasi lain, semakin santun masyarakat menyelesaikan setiap perkara lewat jalur hukum sebagai sarana yang sah, menunjukkan tingkat kesadaran yang lahir dari proses pendidikan relatif membuahkan hasil.  Sebaliknya, semakin tinggi penyelesaian setiap masalah di level jalanan, ia melahirkan apa yang kita sebut sebagai parlemen jalanan.  Mengapa ini terjadi? Jawabannya sederhana, masyarakat tak memiliki kecerdasan yang cukup untuk membangun argumentasi rasional lewat sarana hukum yang tersedia.  Maka lihatlah kenyataan dilapangan,  banyak demonstran tak lebih dari kumpulan masyarakat ber-tatto yang tak cukup tercerdaskan, kecuali satu-dua orang sebagai aktor intelektual yang kering nilai.  Inilah relevansi visi “agamis dan cerdas” seperti harapan semula dalam visi dan misi seorang kepala daerah.  Kalau saja ada kepala daerah yang meletakkan visi “sejahtera”, maka realitas dilapangan seharusnya menunjukkan indikasi kuat berkaitan dengan meningkatnya pendidikan, meningkatnya kualitas kesehatan serta terciptanya lapangan kerja dimana-mana.  Kalau hasilnya sebaliknya, semakin banyak petani dan nelayan mengeluh karena tak sanggup menyekolahkan anaknya, tak punya jaminan kartu askes berobat pada derajat Puskesmas, serta meluapnya angkatan kerja tanpa market yang jelas, maka disinilah kegagalan pemerintah dalam menjalankan amanat yang diletakkan dipundaknya. Sebagai catatan pendek, perlu di ingat bahwa keseluruhan penilaian terhadap keberhasilan daerah otonom bukan saja terletak pada komitmen, konsistensi dan kontinuitas pemerintah daerah lewat penyusunan rencana berdasarkan RPJP dan RPJM nasional, atau RPJP dan RPJM Provinsi, tetapi juga seberapa besar partisipasi masyarakat dalam merespon setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.  Masalahnya, sejauh pengamatan saya, kebanyakan dokumen perencanaan daerah di desain berdasarkan feeling lewat mekanisme top down.  Feeling, sebab kebijakan tersebut lahir tanpa data yang jelas, kecuali meraba-raba, copy-paste plus tambal sulam dari tahun ke tahun.  Top down, sebab mekanisme Musrembang sebagai jembatan emas bagi upaya menyulam kepentingan daerah dan masyarakatnya tak lebih dan tak kurang hanyalah prosesi rutin guna menggugurkan kewajiban formal.  Maka, barangkali disinilah posisi kita diantara sekian banyak daerah yang kehilangan amanah sebagaimana penilaian saya diatas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]