Indeks Korupsi di Daerah
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Dalam catatan Transparency International Indonesia (TII) di penghujung tahun
2010, terlihat dengan jelas bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia secara umum
tak mengalami pergeseran sama sekali. Dengan nilai yang sama sejak tahun 2009,
Indonesia tetap mengantongi skor 2,8.
Pada posisi ini, dari 176 negara yang di survey, Indonesia berada pada
urutan 110. Sekalipun turun beberapa digit, namun faktanya kita tak berbeda jauh dari negara-negara yang lebih buruk indeks persepsi korupsi seperti Vietnam, Philipina,
Kamboja, Laos dan Myanmar. Kendatipun
aktivitas para penegak hukum termasuk KPK semakin banyak menunjukkan hasil,
namun untuk kategori terbersih kita masih terpaut jauh dibanding Thailand,
Malaysia, Brunei, apalagi Singapura (9,3). Saya sebenarnya tetap optimistis sekalipun upaya KPK selama ini seperti tak mengubah
persepsi masyarakat tentang bersihnya aparat dan instituti penegak hukum dalam
menjalankan tugas dan fungsinya.
Seandainya survei tersebut hanya dilakukan dikawasan ibukota negara,
saya yakin persepsi masyarakat terhadap penegak hukum dapat bergeser seiring
dengan berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini. Masalahnya, survei tersebut mungkin saja
mencakup persepsi masyarakat di daerah terhadap aktivitas penegak hukum yang
bekerja disana. Kalau ini benar, saya
percaya 150 persen bahwa aktivitas para penegak hukum di daerah belum
menunjukkan hasil yang maksimal. Boleh jadi
di Jakarta indeks persepsi korupsi meningkat (dalam arti semakin bersih), namun di daerah tampaknya belum banyak
mengalami perubahan. Sejumlah daerah
memang telah mencanangkan komitmen anti korupsi, tetapi pada sisi lain tak
diimbangi oleh perbaikan sistem dan sumber daya yang memadai. Saya selalu mengingatkan bahwa sistem yang
baik dapat memaksa orang jahat menjadi baik. Lihat saja para perokok berat di
Indonesia ketika masuk Singapura lewat sejumlah aturan ketat dalam merokok,
dipaksa menjadi disiplin. Sebaliknya,
ketika warga Singapura bertandang ke Indonesia (Batam), mereka dengan bebas
merokok disembarang tempat. Apa
maknanya? Kita yang tak disiplin dipaksa oleh sistem di Singapura menjadi
disiplin, sedangkan warga Singapura yang disiplin berubah menjadi tidak
disiplin. Itu artinya sistem secara jelas melalui pengawasan yang ketat dalam
implementasinya berperan penting menciptakan keteraturan masyarakat. Sebelum itu, peningkatan kesadaran masyarakat
di daerah berkaitan dengan masalah korupsi dengan segala akibatnya perlu
dilakukan melalui pendidikan jangka pendek dan jangka panjang. Kegagalan
pendidikan kita hari ini disadari cenderung menitikberatkan pada aspek
pengetahuan semata, tanpa melibatkan pembentukan karakter anak didik agar
memahami nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, tanggungjawab, keterbukaan atau
keadilan. Inilah salah satu dosa sosial
(seven social sins) yang dikuatirkan
oleh Mahatma Gandhi, yaitu terbentuknya pengetahuan tanpa karakter. Cirinya dapat dilihat melalui berapa banyak
orang bergelar sarjana, bahkan pasca sarjana yang tak memberi perubahan positif
dalam pemerintahan dan masyarakat, kecuali menjadi contoh dalam kasus-kasus
kriminal seperti korupsi. Indeks
persepsi korupsi di daerah tentu jauh lebih rendah alias lebih buruk dalam
pandangan masyarakat. Mengapa saya
menduga demikian, sebab persoalan di daerah cenderung berikatan secara
sosiologis. Solidaritas organik yang
kental mendorong hubungan rasional berubah menjadi cair, sehingga tampak pada
penguasaan suatu rezim keluarga dibanding pemerintah yang semestinya steril dihadapan publik. Lebih dari itu, lemahnya peran civil society dalam pengawasan
pemerintahan di daerah telah dengan sengaja memelihara tumbuh suburnya
nepotisme, kolusi dan korupsi. Sekalipun
ada, sebagian besar civil society
(Pers, LSM dan Perguruan Tinggi) justru merupakan bentukan rezim yang berkuasa
untuk menjadi kontra informasi dalam setiap kebijakan. Sisanya, beberapa lembaga sosial yang tak
kuat modal sehingga bertumpu pada belas kasihan rezim berkuasa. Akibatnya,
semua lembaga sosial yang diharapkan menjadi kekuatan penyeimbang bagi rezim
berkuasa agar mampu memperkecil tindakan abuse
of power mengalami kegagalan yang nyata.
Rendahnya kritik lembaga-lembaga sosial terhadap pemerintah daerah telah
mendorong terbentuknya sikap apatisme dalam
masyarakat. Akibatnya, semua kebijakan
pemerintah daerah apakah baik atau buruk sulit untuk dibedakan. Lembaga-lembaga sosial seharusnya menjadi filter guna melindungi masyarakat dari
dampak kebijakan pemerintah daerah yang lebih banyak merugikan daripada
menguntungkan. Tanpa itu, jangan
berharap para penegak hukum dapat mengambil inisiasi untuk setiap kesalahan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah. Para
penegak hukum cenderung lebih memilih bersikap pasif dari pada mengutak-atik
persoalan korupsi di daerah. Barangkali
inilah salah satu faktor yang memicu persepsi masyarakat Indonesia terhadap
korupsi tetap rendah. Sekali lagi kita
perlu mengingatkan bahwa korupsi adalah kejahatan tingkat tinggi, sehingga
diperlukan tindakan diluar kebiasaan.
Disinilah alasan mengapa kita membutuhkan KPK. Sejauh pengawas
fungsional seperti KPK masih memainkan peranannya sebagai instrument yang
dipercaya efektif dalam menangani korupsi, maka selayaknya institusi dan
penegak hukum seperti polisi dan jaksa secepatnya berbenah diri, maksimal
korupsi di daerah dapat ditangani sesegera mungkin. Kalau kepercayaan masyarakat tumbuh terhadap
institusi dan para penegak hukum di daerah, saya pikir indeks persepsi korupsi
Indonesia pada tahun depan akan semakin meningkat. Dengan demikian boleh jadi kita tak
membutuhkan pengawas fungsional semacam KPK dikemudian hari yang tidak saja
menyerap biaya tinggi, tetapi juga mengkerdilkan institusi dan penegak hukum
lainnya.
Komentar
Posting Komentar