Memaknai Masalah Udin Sedunia
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Sepanjang
Januari hingga awal Agustus 2011 kita disibukkan oleh masalah “udin” sedunia. Dimulai dari perseteruan PSSI oleh ketua umum
Nurdin, tiba-tiba kita dikejutkan oleh kasus raibnya salah satu petinggi Partai
Demokrat, Nasaruddin. Tertangkapnya seorang staf perempuan Nasarudin, membuat
sedikit ketegangan antara dua pengacaranya, yaitu Syamsudin dan Komarudin.
Sebulan kemudian kita dihebohkan oleh tertangkapnya hakim Syarifuddin. Terakhir, mendekati bulan suci Ramadhan, kita
ditinggal pergi dai kondang sejuta umat, Kyai Haji Zainuddin MZ. Diantara semua
udin yang saya sebutkan diatas, semuanya memiliki latar belakang dan profesi
yang berlainan. Ada yang pergi meninggalkan nama baik, ada pula yang pergi
meninggalkan sejumlah catatan hutang-piutang bernilai milyaran, bahkan
triliunan rupiah. Inilah bedanya udin
yang satu dengan udin yang lain. Tentu
saja kita tak boleh pukul rata, sebab tak semua udin di dunia ini bermasalah,
termasuk anak dan saudara kandung saya yang berinisial udin pula. Ada yang
populer karena arogansi, jabatan, profesi dan penyalahgunaan wewenang. Hilangnya Nasaruddin selama 75 hari, 35 jam
dan 30 menit sangat kontras dengan perginya KH. Zainuddin. Yang satu hilang sementara, yang lain pergi
untuk selamanya. Yang satu dijemput dengan pesawat eksklusif carteran seharga 4
milyar, sedangkan yang lain dijemput dari Rumah Sakit dengan mobil colt ambulance rental seharga 500 ribu,
atau mungkin gratis sama sekali. Publik
cukup bingung memang, menjadi seorang penjahat kelas kakap ternyata bisa jauh
lebih populer dan mahal, daripada menjadi seorang kyai yang setiap hari
berceramah untuk mencegah manusia menjadi seorang penjahat kelas kakap semacam
itu. Menanti datangnya seorang Kyai
hebat membutuhkan waktu dan tempaan alam berpuluh, bahkan ratusan tahun. Sebaliknya, memproduk seorang penjahat kelas
kakap bisa jadi muncul setiap saat. Seorang kyai bisa menaikkan dan menurunkan
emosi pengikutnya, sejauh itu sesuai fungsi yang diembannya sebagai pengemban
risalah yang paling konkrit. Mungkin demikian kalau saya dan anda mengantongi
nama udin yang kadang membawa berkah dan rahmat secara sosial. Bagaimana kalau
sebaliknya? Kalau seorang Nasaruddin bisa menurunkan perolehan suara sebuah
partai besar senilai 5 persen menurut sebuah hasil survey, (dari 20,5 persen
menjadi 15,5 persen), maka boleh jadi kita hanya membutuhkan tiga udin lagi
untuk membuat partai tersebut benar-benar kehilangan dukungan.
Dalam Islam, kata “din” menunjukkan makna agama, seperti
pada kalimat dinnul Islam, yang
berarti suatu kepercayaan untuk menyerahkan secara total hidup dan mati hanya
kepada Yang Maha Kuasa, Allah swt. Agama sendiri secara etimologis berarti
tidak kacau (a=tidak, gama=kacau). Artinya, setiap penganut agama adalah
pribadi yang benar-benar diharapkan dapat hidup secara tertib dan teratur baik
secara individu maupun sosial menurut ajaran dan keyakinan yang dianutnya. Jika setiap orang dapat hidup teratur, bukankah
peran pemerintah tak begitu dominan lagi dalam hal menjalankan fungsi
pengaturan. Demikianlah alasan mendasar mengapa
setiap muslim berkeinginan meletakkan kata din
dibelakang namanya, ia sesungguhnya menggambarkan sebuah harapan positif dan
doa bagi masa depan manusianya dikemudian hari. Paling tidak ia menjadi insan
yang teratur secara individual, dan tertib secara sosial. Sebagai contoh, kata
Nasaruddin secara harfiah berarti seorang penolong agama, bukan sebaliknya.
Atau kata Jamaluddin yang menggambarkan doa dan harapan menjadi seorang pribadi
yang tampan, sebagus dan setampan agama yang dianutnya. Apalagi kalau kata din dipadukan dengan kata Muhammad,
tentu saja semua orang berharap agar pribadi yang memiliki nama tersebut
benar-benar memiliki staf yang banyak.
Staf disini adalah sifat khas yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw,
yaitu Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah. Jadi, kalau nama seseorang adalah paduan yang
ideal seperti Muhammad Nasaruddin, kiranya pribadi tersebut adalah seseorang
yang diharapkan menjadi seorang manusia yang selain memiliki keempat nilai
diatas, juga dapat membela agama Allah Swt.
Masalahnya, bagaimana kalau sebaliknya? Tentu saja semua itu bukan
harapan dan doa orang tua, keluarga, kerabat, bahkan bukanlah harapan agama itu
sendiri. Seseorang boleh lahir dimana
saja dalam kondisi putih bersih, dikemudian hari ia menjadi kontradiksi dengan
semua harapan dan doa adalah masalah lain. Apalah arti sebuah nama menurut Shakespeare. Makna sebuah nama bukanlah jaminan menggambarkan
nilai yang sama, bisa ya, bisa juga berbeda 360 derajat. Faktor lingkungan dominan berperan membentuk
pribadi setiap orang, apakah ia menjadi seorang yang sholeh atau salah. Pada suatu ketika seorang kolomnis di Jakarta menemukan seorang Tukang Becak
yang bernama Musyrik. Karena ragu, ia meminjam KTP sang Tukang becak biar bisa
dibuktikan lagi. Dengan senyum ramah dan
lugu, sang Tukang Becak tadi memberikan KTPnya.
Ia kaget, sambil bertanya apakah memang ini nama pemberian orang tua? Si
Tukang Becak berkata, sebenarnya orang tuanya memberi nama Mursyid, namun sejak
pindah di Jakarta, KTPnya tercetak seperti itu, jadi mau apa lagi. Bagi sang Tukang Becak, apalah arti sebuah
nama, toh hanya alat untuk membedakan, mengidentifikasi, atau instrument
administrasi yang memungkinkan ia dan keluarganya secepat dan seaman mungkin
saat berurusan dengan pihak pemerintah.
Nama Musyrik tak mewakili pribadinya yang anti Tuhan, sebab ternyata
sang Tukang Becak adalah pribadi yang taat menjalankan perintah Tuhan,
lebih-lebih dalam hal melayani orang lain sebagai representasi hubungan sosial
(muammalah). Bukankah itulah inti ajaran Islam yang
sesungguhnya, hablumminallah, wa
hablumminannas. Bagi seorang
Muslim, ibadah vertikal dan horisontal tersebut kiranya dapat
terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Secara vertikal ia mampu
membangun komunikasi intensif dengan mengerjakan seluruh perintahNya, dan
menjauhi semua laranganNya. Sedangkan
secara horisontal, setiap pribadi diharapkan mampu membangun komunikasi
ekstensif kepada segenap lingkungannya, baik sesama manusia maupun alam
sekitarnya. Kita sadar bahwa komunikasi
vertikal kita hampir tak pernah bolong, semua itu dapat dilihat lewat intensitas
syahadat, sholat, shodaqoh, haji dan puasa sebulan penuh. Namun yang terkadang alpa adalah kemampuan
kita membangun komunikasi secara horisontal, dimana semua itu dapat dilihat
secara kasat mata, seperti meningkatnya angka kemiskinan, kebodohan, korupsi,
ketidak-adilan, diskriminasi, kriminalitas serta kerusakan lingkungan
dimana-mana. Tampaknya, kita boleh jadi berubah menjadi pribadi yang sholeh
secara vertikal, namun gagal menjadi pribadi yang sholeh secara sosial. Saya yakin, semua nama yang tertera dalam
pribadi kita tidaklah semata mengandung makna yang sempit, namun lebih dari itu
bermakna luas sebagai konsekuensi dari harapan dan doa orang banyak ketika
seorang muslim di aqiqah. Kini, apakah pribadi kita benar-benar telah
memancarkan makna sosial yang dapat mengharumkan pemberi nama itu sendiri,
lingkungan sosial dan para sholeh-sholihin yang telah kita catut di depan nama
kita, ataukah justru kita menjadi sumber masalah secara pribadi maupun sosial
yang pada gilirannya dapat meruntuhkan kepercayaan orang terhadap seperangkat
keyakinan, apakah itu agama, manusia dan lingkungan sosial? Mudah-mudahan puasa kali ini dapat memberikan
energi positif bagi pribadi kita, dan tentu saja lingkungan masyarakat yang
lebih luas, amin ya rabbal alamin,….
Komentar
Posting Komentar