Benarkah Indonesia Surga bagi Pebisnis?


Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Sebuah survei BBC World Service dan The GlobeScan terhadap 24 negara akhir bulan Mei 2011 menunjukkan bahwa Indonesia, Amerika Serikat, Kanada, India dan Australia adalah surga bagi para pebisnis pemula maupun yang sudah profesional. Sedangkan Kolombia, Mesir, Turki, Italia dan Rusia dinilai sebagai negara paling ramah terhadap inovasi dan kewirausahaan. Survei tersebut melibatkan lebih dari 24.000 orang yang meminta para partisipan untuk memberikan komentar mengenai bagaimana para pengusaha memulai bisnis di negara mereka. Partisipan juga dimintai pendapat, apakah negara mereka menghargai kreativitas dan inovasi, apakah pengusaha ataupun orang-orang kreatif mendapatkan tempat untuk berkreasi. Hasilnya, Indonesia menempati posisi tertinggi untuk negara paling ramah bagi para pengusaha. Sedangkan di 23 negara lainnya, para pengusaha yang baru terjun ke dunia bisnis menemukan kesulitan dan hambatan yang besar. Brasil salah satu contohnya, di mana 84% dari partisipan membenarkan kesulitan dan hambatan itu. Hal serupa juga kerap ditemukan di Jerman, Australia dan Kanada.  Kini marilah kita dekati hasil survei tersebut melalui mata telanjang, khususnya perkembangan bisnis di tingkat lokal.  Kalau survei tersebut diambil dari pendapat para pebisnis, tentu saja akan jauh lebih reliabel jika kita amati secara langsung dilapangan.  Saya akan mengambil sampel dari para pebisnis asal Korea, karena selain mudah ditemukan juga cukup banyak yang bersahabat dengan saya untuk urusan eksplorasi tambang dan mineral dari Sabang sampai Merauke.  Kebetulan juga pada sebuah perusahaan bonafide milik orang Korea saya duduk sebagai penasehat tidak tetap dalam hal governmant releation.  Karena duduk sebagai penasehat tidak tetap, maka honor saya juga tidak tetap, kadang ada, kadang tidak.  Kadang banyak, kadang sedikit, bergantung seberapa besar kendala dan informasi yang dibutuhkan dalam projek eksplorasi tambang dan mineral di perut bumi Indonesia.  Saya tidak paham mengapa para pengusaha asal Korea tersebut bertaburan diberbagai daerah di Indonesia. Saya suka berspekulasi bahwa kemungkinan mereka datang di Indonesia dengan dua alasan, pertama menghindar dari konsekuensi perang dingin antara Korea Utara dan Korea Selatan. Kedua, saya sedikit curiga kemungkinan saja mereka adalah agent pemerintah Korea yang diutus untuk mencari pasokan bahan mentah seperti pasir besi, batubara, mangan dan nikel sebagai cadangan dalam perang nanti.  Saking banyaknya hingga setiap kompleks restoran elit di Jakarta diwakili satu restoran ala Korea.  Bukan hanya itu, karaoke khusus warga Korea menjamur di Jakarta disamping karaoke ala Jepang dan China.  Jika hasil survei diatas menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling ramah dalam melayani para pebisnis, saya kira ada benarnya, dan Korea saya pikir merupakan salah satu negara yang paling ramah diterima di Indonesia. Orang Korea mudah bersosialisasi, bahkan berasimilasi dengan warga Indonesia.  Coba anda bayangkan, diantara sejumlah pebisnis asal Korea tersebut, terdapat dua kawan saya yang sudah berstatus Muslim dan berganti nama seperti Sulaiman Choi dan Muhammad.  Keduanya fasih berbahasa Indonesia, beristri orang Bekasi, memiliki tempat tinggal di Jakarta dan saya dengar telah berubah status kewarganegaraan Indonesia.  Kawan saya sebagai pemilik perusahaan besar asal Korea lebih fasih berbahasa Indonesia, beristri orang Manado, tinggal lebih sepuluh tahun di kawasan elit Sentul City Bogor.  Untuk mengimbangi orang Indonesia, dia bersikap lebih ramah dan luas pergaulan.  Koneksinya bukan saja sejumlah pejabat menteri dinegaranya, demikian pula pejabat teras di Indonesia, termasuk kedekatan beliau dengan beberapa elit di partai berkuasa.  Dalam komunikasi Indonesia aksen Korea dicampur separuh Inggris, tampaknya mereka merasa nyaman hidup di Indonesia, apalagi keramahan orang-orang di wilayah Indonesia Timur.  Mereka tidak saja mengakui sumber daya alam Indonesia yang teramat kaya dan luas, lebih dari itu keramahan hati masyarakatnya sebagaimana mereka temukan di Nusa Tenggara Timur. Ini membuat mereka lebih betah untuk berbisnis di Indonesia. Terlepas dari itu, menurut mereka kendala berbisnis di Indonesia ada dua. Pertama, belum jelasnya regulasi antara pusat dan daerah berkaitan dengan izin usaha penambangan.  Terkadang pemerintah pusat cukup ramah memberi kelonggaran dalam hal izin usaha, namun pemerintah daerah dan masyarakat lokal tak begitu siap.  Sebaliknya, terkadang pemerintah daerah dan masyarakat lokal bersikap ramah lewat izin usaha pertambangan yang relatif mudah, namun ditingkat pusat terkesan mensyaratkan banyak hal sehingga memperlambat upaya eksploitasi.  Demikian ramahnya pemerintah daerah, terkadang seorang pebisnis tambang di daerah diberikan izin usaha penambangan tumpang tindih.  Saya belum paham apakah ini bentuk keramahan pemerintah daerah, ataukah sekedar mengeruk keuntungan sesaat lalu membiarkan para pebisnis tersebut kebingungan menyelesaikan masalahnya masing-masing dilapangan.  Sejumlah kasus yang tak membuat jera para pebisnis asal Korea adalah kelakuan oknum pejabat daerah yang suka mempermainkan mereka lewat izin usaha penambangan.  Sekalipun rugi melepas milyaran rupiah tanpa kepastian disebabkan tumpang tindih, mereka tetap bertahan dengan alasan masih banyak orang Indonesia yang ramah menerima mereka sebagai pebisnis.  Kendala kedua karena Indonesia memiliki wilayah yang luas sehingga relatif sulit di jangkau lewat darat, laut maupun udara.  Untuk mencapai daerah-daerah yang kaya akan mineral dan tambang membutuhkan waktu rata-rata lebih dari dua jam.  Saya menyarankan agar mereka lebih sering turun ke daerah, supaya paham seluk-beluk birokrasi lokal dan tidak mudah di tipu-daya lewat perilaku ramah-tamah.  Sebab harus diakui, banyak diantara kita yang sering menampakkan keramah-tamahan hanya untuk mengeruk keuntungan seketika.  Suatu perilaku paradoks dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertera dalam falsafah Pancasila.  Dengan luas Korea yang tak melebihi daratan Kalimantan dibagi dua, mereka sebenarnya tak memiliki cukup sumber daya alam, kecuali sumber daya manusia.  Mengharap produk Samsung dan Dae Woo tentu saja tak bisa bertahan lama ditengah sengitnya persaingan dengan produk Jepang, China dan Eropa. Rendahnya bahan baku membuat mereka merambah kemana-mana, termasuk Indonesia.  Bagaimana dengan kita sendiri? Disinilah ironinya, kita tak cukup memiliki sumber daya manusia sehingga kesulitan mengolah bahan mentah yang berserakan dimana-mana. Semua mineral dan bahan tambang yang teramat banyak dan luas itu hanya bisa ditonton ketika diangkut oleh orang asing kenegaranya masing-masing.  Kita kebagian sampah dan limbahnya, mereka kebagian nikel, timah, batubara, mangan, gas, pasir besi dan minyak bumi untuk menghidupi negerinya.  Bahkan sebagian malah dikirim kembali kenegeri kita sendiri dalam bentuk import yang mahal harganya.  Kita kelebihan bahan mentah, namun terbatas dalam bentuk bahan jadi. Kita kaya dalam kemiskinan, sekaligus miskin dalam kecerdasan.  Simpelnya, kita kaya tapi kurang pandai.  Kalau saya selama ini hanya kebagian sebagai penasehat untuk meng-advice mereka supaya begini dan begitu dalam hal mendapatkan perizinan pemda, maka para elit lokal kebagian mengatur lewat perda yang mempermudah atau sekaligus mempersulit. Sementara para kepala daerah kebagian mengeksekusi dalam bentuk tertulis sekaligus mereguk keuntungan instant.  Tentu saja secara logika kita rugi. Bisa dipahami mengapa banyak tambang di daerah berubah menjadi tambang rakyat liar, sebab mereka berpikir praktis, selama ini tak nampak keuntungan yang diperoleh untuk kemaslahatan masyarakat luas, semuanya lari ke kantong para pejabat di daerah.  Mungkin inilah dampak dari keramah-tamahan masyarakat kita bagi para pebisnis asing di tingkat lokal, sekaligus kebodohan dan penderitaan disisi lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian