Mengembangkan Pulau Bajo
Oleh. Dr. Muhadam
Labolo
Dalam 20 tahun ini, pergerakan ekonomi
pulau Bajo sebagai salah satu desa kecil dan padat penduduk di Kecamatan
Pagimana Kabupaten Banggai Sulteng cukup mengejutkan. Pengamatan kualitatif dan diskusi terbatas
dengan guru cerdas saya menunjukkan berbagai indikator sederhana yang menempatkan
pulau bajo sebagai maskot ibukota kecamatan.
Saya mengibaratkan pulau Bajo sama dengan Singapura. Lihat saja bagaimana negara itu hidup dengan
mengandalkan core competence jasa
sebagai sandaran pergerakan ekonomi. Singapura tak punya pertanian, perkebunan,
kehutanan, tambang apalagi gas sebagaimana negara-negara yang memiliki daratan
luas seperti Indonesia. Sekedar
perbandingan sederhana, dengan penduduk 6,5 juta dan pertumbuhan ekonomi diatas
10% pertahun, Singapura jauh meninggalkan Indonesia yang hanya tumbuh diatas
rata-rata 6% pertahun. Tentu saja secara
umum Indonesia lebih sepadan jika dibandingkan dengan Amerika, China atau
India. Bagaimana dengan pulau Bajo? Saya
kira relatif sama. Pulau Bajo dengan
penduduk padat dan luas wilayah yang terbatas hidup tanpa lahan perkebunan,
kehutanan dan pertanian.Tetapi, mengapa mereka dapat hidup lebih baik ketimbang
penduduk di pesisir pantai yang kaya akan lahan kebun, pertanian dan hutan?
Saya menduga, mereka hidup serius dengan core
competence laut sebagai sumber perekonomian. Sama dengan negara kecil Palau disisi
Philiphina yang hidup dengan mengandalkan laut.
Dari sisi ekonomi, dengan kemampuan yang terasah baik secara konvensional
maupun modern masyarakat Bajo mampu mengkontribusikan pendapatan baik secara
internal maupun eksternal. Secara
internal, pendapatan yang relatif tinggi untuk ukuran rata-rata disana mendorong
masyarakatnya mampu menyekolahkan anak-anaknya dari jenjang dasar hingga
perguruan tinggi. Jangan kaget kalo
hampir semua murid dari pulau Bajo punya kenderaan roda dua. Angka masuk sekolah mereka jauh lebih tinggi
di banding 20 tahun lalu. Lihatlah data
murid yang masuk SMU Pagimana. Ini
menunjukkan kesadaran yang luar biasa di kalangan masyarakatnya untuk
memutuskan rantai kemiskinan dan kesan ketertinggalan selama ini. Sekalipun tanpa data yang akurat, saya
menduga bahwa angka putus sekolah disana jauh lebih rendah di banding
masyarakat yang hidup di wilayah daratan seperti Pagimana, Basabungan, Asahan,
Tongkonunuk atau Sinampangnyo. Secara
fisual, sekalipun dengan bentuk rumah yang relatif tak berubah, namun kebutuhan
dasar seperti sandang, pangan dan papan tak berkekurangan. Wajah generasi mudanya selalu ceria,
kenderaan mereka dikerubuti anak-anak yang polos sebagai bentuk kepemilikan dan
solidaritas. Keadaan spiritual tetap
menjadi nilai yang mengikat kuat sesamanya, di selingi olah raga favorit volly ball sebagai pemenuhan kebutuhan
jasmani. Secara eksternal, hasil laut
mereka di beli dan di jual kemana-mana.
Ikan asin (ikan garam) menjadi salah satu produk unggulan hingga ke
Jakarta. Pada struktur birokrasi, output generasi pulau Bajo cukup
terepresentasikan. Tengok saja dinas
kesehatan dan perawat di rumah sakit luwuk misalnya. Bagi generasi mudanya yang suka merantau,
biasanya lebih suka masuk militer atau polisi.
Di bidang politik, saya mengamati dari Banggai Kepulauan hingga tanah
kelahiran saya Banggai, satu-satunya suara yang paling solid adalah suara yang
disumbangkan oleh masyarakat pulau Bajo.
Perhatikan bagaimana mereka mampu mengantarkan wakilnya untuk duduk di
DPRD Kabupaten hingga Provinsi. Dengan
partai yang tak begitu dominan mereka mampu menjaga kepentingan lewat wakil
yang terpilih saat ini. Bahkan, beberapa
kandidat kepala daerah di Bangkep sepertinya akan diramaikan oleh kandidat dari
suku Bajo. Mungkin masih banyak
kekurangan masyarakat pulau Bajo, namun pada sisi ini kita harus mengakui dan
belajar untuk mengembangkan kampung kita yang justru punya potensi lebih. Kuncinya adalah keseriusan untuk
mengembangkan core competence (sektor
unggulan). Kita memang punya laut, tapi
biarlah dengan kesadaran lemahnya profesionalitas kita mengelola hasil laut
cukuplah menjadi unggulan masyarakat di pulau Bajo. Sebagai perbandingan, sejak kecil sumber
unggulan pertanian sayur-mayur berasal dari Desa Asahaan selain Salodik. Bahkan, kampung lingku’an juga menjadi sumber
sayur-mayur selain buah-buahan seperti mangga, pisang, pepaya, jagung, durian, langsat,
jambu, manggis dan kelapa. Sekarang,
jangan berharap sayur-mayur dan buah-buahan datang dari desa-desa tersebut,
tanpa Salodik yang mensuplay hingga
ke desa-desa, maka kita bisa-bisa diserang penyakit kekurangan vitamin A,B, dan
C karena kurang mengkonsumsi bayam, kacang panjang, wortel, kangkung, atau
terong (popoki). Bisa jadi kualitas
fisik generasi muda kita, anak-anak kita tak akan sebagus bapak ibunya dulu yang
dengan mudah mendapatkannya. Soal
kecerdasan tinggal bagaimana mengasahnya, sebab badan besar belum tentu pikiran
juga ikut besar. Yang jelas, tubuh kurang
gizi sulit berharap melahirkan pikiran cemerlang. Kini yang harus disadari adalah bagaimana
menciptakan wilayah kita sebagai wilayah dengan produk unggulan kompetitif.
Tugas kita dan pemerintah adalah memetakan semua itu, menjadikan Asahaan,
Sinampangnyo dan Lingkuän kembali sebagai sumber unggulan sayur-mayur dan
buah-buahan. Bajo tetap dengan unggulan
kelautannya. Dengan demikian maka semua
wilayah akan saling berkontribusi sehingga wilayah seluas Kecamatan Pagimana
tak perlu bergantung dari kecamatan lain, sebab antar wilayah dengan potensi
unggulan masing-masing tersimpan baik dan dapat saling melengkapi. Contohnya, kalau masyarakat di Pulau Bajo
butuh sayur-mayur dan buah-buahan cukup datang ke pasar, disana suplay sayur mayur dari Asaahan,
Sinampangnyo dan Lingkuán tersedia dengan lengkap, demikian sebaliknya. Maka jadilah pasar kita sebagai mini market. Tak perlu membeli
jauh-jauh. Bahkan, kalau pemerintah mau mengintervensi, maka mini market bisa berubah menjadi super market dengan nilai
traditional. Bukan seperti mini market, super market, alfamart,
indomart, sircle, carefure atau total buah segar yang secara perlahan
membunuh pedagang dan petani di Indonesia, dimana seluruh pasokan bahan makanan
di import dari luar negeri. Tahapan
berikutnya yang perlu dilakukan adalah membangun kesadaran masyarakatnya agar
kembali ke sektor unggulan masing-masing.
Sayang sekali, di kampung saya banyak petani yang kurang serius mengolah
lahan pertanian, kebun dan hutannnya.
Karena tidak serius, maka yang ditanam hanya sayur dan buah-buahan untuk
konsumsi internal keluarga, tidak untuk dikomersialisasikan sebagaimana masyarakat
bajo menangkap ikan untuk konsumsi sekaligus komoditi. Dampaknya, sebagian
menggantungkan hidup dari jasa yang tak seberapa, baik sebagai buruh pelabuhan
maupun ojek bentor. Bagaimana mungkin mereka mampu menyekolahkan
anak hingga ke perguruan tinggi seperti masyarakat di pulau Bajo? Cobalah kembali ke kebun, pertanian dan hutan
kita, disana teramat banyak sumber daya yang dapat menghidupi kita sepanjang
masa. Disana ada madu, kayu, sayur, kelapa, cokelat, cengkeh, air, pisang,
mangga, nangka, atau gula merah yang dapat di jual kemana-mana. Kadang kita butuh
hutan bahkan mempertahankan habis-habisan hingga titik darah penghabisan
(bahkan ke Jakarta) hanya untuk sekedar melindungi dengan berbagai kepentingan
politik, tetapi kita sendiri tak pernah memanfaatkan hutan dengan penuh keseimbangan. Seharusnya, kalau kita menolak pemerintah dan
swasta mengeksploitasi hutan dengan maksud yang membahayakan, kini saatnya kita
sebagai pemilik hutan seyogyanya memanfaatkan semaksimal mungkin untuk
kesejahteraan kita semua, bukan menjadi penonton di tengah hutan belantara. Tampaknya, masyarakat kita lebih demam berpolitik
sebagai jalan pintas mendapatkan kursi di DPRD, borongan projek dan kalau bisa
cepat menjadi pegawai negeri. Lihat saja
bendera dan spanduk dukungan mereka di depan rumah. Jujur saja, secara ekonomi
dan politik kita tertinggal dari masyarakat di pulau Bajo. Selain lahan kita
tak produktif juga kehilangan orientasi dalam mengembangkan sektor unggulan.
Komentar
Posting Komentar