Gaji, Prestasi Kerja dan Kehormatan
oleh.
Dr.Muhadam Labolo
Benarkah
kenaikan gaji akan mempengaruhi kinerja pegawai negeri di Republik ini? Jawabannya
pasti ganda, bisa ya, bisa tidak. Bagi seorang pegawai negeri yang hadir dan
melayani publik dengan kesadaran dan ketulusan yang dalam, tentu saja kenaikan
gaji adalah rahmat. Rahmat, sebab pekerjaan sebagai pegawai negeri adalah
sebuah rahmat khusus yang tidak semua orang kendatipun berkali-kali mengikuti testing plus suap sana-sini dapat lulus
dengan sendirinya. Terkadang rahmat
sering datang kehadapan kita tanpa bisa dipahami bagaimana mekanismenya ia
bekerja. Demikian kata Jansen Sinamo,
seorang ahli etos keguruan. Seorang abdi dalem di Kesultanan Jogjakarta tak
pernah berpikir berapa gaji yang mesti mereka peroleh. Diterima sebagai pelayan
istana sudah merupakan kehormatan tertinggi bagi sebagian besar rakyat kecil di
Jogjakarta. Apalagi kalau gaji mereka yang hanya puluhan ribu dinaikkan menjadi
ratusan ribu hingga jutaan, tentu saja ini merupakan rahmat yang tak terkira. Mereka yang bekerja dengan kesungguhan hati,
diatas kesadaran yang tinggi tentang makna profesi yang mereka tekuni tak
pernah punya waktu untuk berpikir kapan gaji mereka akan ditingkatkan. Banyak contoh dimana sebagian guru di daerah
terpencil, dokter dan mantri di pelosok desa tak pernah memikirkan seberapa
layak gaji yang mereka mesti terima.
Satu-satunya harapan mereka adalah kebaikan hati masyarakat setempat
yang sewaktu-waktu dengan segala hormat memberi tumpangan dan perlindungan
menuju tempat mereka bekerja. Di pelosok
desa yang saya ceritakan tadi, gaji yang tak memadai, bahkan tak begitu layak
untuk ukuran para pejabat di kota, praktis tak mempengaruhi kinerja sebagai
pelayan masyarakat. Hubungan yang
bersifat emosional menjadi dasar dalam transaksi pelayanan. Perasaan antara yang melayani dan yang
dilayani terbangun diatas landasan kepercayaan (trust). Segala hal dapat
ditawar, sesuai kemampuan antara mereka yang melayani dan yang dilayani. Sekiranya yang melayani tak sanggup, ia akan
memberi alternatif nilai yang pantas. Sebaliknya, apabila yang dilayani tak
memperlihatkan kemampuan, maka yang melayani akan dengan sendirinya
menyesuaikan. Disini terkesan tak ada
kepastian (certainty), tetapi kalau
diperhatikan baik-baik, justru kepastian tersebut berada pada kemampuan
masing-masing. Inilah makna keadilan,
tanpa harus mempelajarinya secara serius di tingkat magister ilmu hukum. Pada masyarakat kota, setiap transaksi
dilandasi oleh hubungan rasional. Tak
ada bargaining ketika anda dan saya
sampai di depan mall Pondok Indah. Semua barang mulai yang paling murah hingga
paling mahal sudah jelas harganya.
Sekalipun anda berkeinginan kuat pada sesuatu, anda harus bersikap
rasional dengan melihat seberapa cukup isi dompet anda setara dengan harga yang
tertera. Jika tidak, maka praktis secara
rasional pula anda harus menahan diri.
Para elit politik dan birokrasi seringkali terjebak dalam rasionalisasi
tadi. Pelayanan bergantung pada harga
yang mereka pasang untuk semua jenis urusan. Mulai dari pengurusan KTP hingga
IMB. Maka tak heran jika yang berurusan dengan para elit dan birokrasi hanyalah
mereka yang secara rasional mampu. Bagi
rakyat kecil tentu saja tak terjangkau.
Pada akhirnya, pelayanan menciptakan diskriminasi dan praktis hanya
milik kelompok masyarakat yang berkelas.
Padahal, rakyat kecil yang sedemikian banyaklah yang paling signifikan
memberikan kontribusi suara pada saat pemilu dan pemilukada, bukan para elit minoritas
ditengah-tengah masyarakat. Lalu mengapa
mereka yang mesti dinomorduakan? Ini
jelas berhubungan dengan apa yang mereka terima, yaitu gaji. Semakin besar gaji yang mereka peroleh, maka
secara rasional kita berharap agar pelayanan mereka semakin efektif, bahkan
produktif. Saya setuju, walaupun pada
saat yang sama sayapun masih pesimis, sebab sedikit penelitian ilmiah yang
mampu membuktikan bahwa kenaikan gaji akan mendorong kinerja dan prestasi para
pelayan masyarakat. Saya lebih setuju
kalau pola pikir mekanistik, mentalitas rapuh dan kultur korup yang selama ini
telah menyatu dan mendarah daging yang mesti diubah. Hanya satu cara paling efektif
untuk menjawab masalah tadi, yaitu lewat pendidikan. Saya sangat percaya bahwa
pendidikan mampu mengubah pola pikir, mentalitas dan tradisi buruk yang hampir
menyatu dalam tubuh para elit politik dan birokrasi. Tentu saja pendidikan yang
berkualitas, bukan sekedar melengkapi gelar sarjana supaya kelihatan pandai dan
berstatus di depan publik sebagaimana lazim terjadi dewasa ini. Pendidikan
tersebut bisa bersifat long time
maupun short time. Pendidikan bisa juga dengan melihat
pengalaman orang lain supaya dapat memetik success
story untuk mengubah lingkungan kita yang jauh dari kemajuan. Sebagai saran
pada tingkat pragmatis, sebelum kenaikan gaji dilakukan perlu barangkali
ditetapkan dulu target yang mesti dicapai oleh setiap pelayan publik. Misalnya, jika selama ini kita membutuhkan
waktu satu tahun untuk menyelesaikan kasus mafia pajak, dapatkah dengan
kenaikan gaji mempercepat penyelesaian kasus dimaksud dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya? Kalau ini bisa
dilakukan, saya pikir tak ada salahnya menaikkan gaji para pelayan
masyarakat. Itu wajar, dan tentu saja
pantas bin rasional, menurut landasan transaksional masyarakat di kota,
termasuk saya. Seorang politisi di
parlemen Amerika mungkin saja tak membutuhkan gaji, sebab mereka hidup dari
kelebihan kekayaan sebelum mereka terpilih menjadi anggota parlemen yang
terhormat (honorable). Atas status yang terhormat tadi, maka mereka
selalu disapa dengan kalimat “anggota
parlemen yang terhormat”. Untuk
jabatan yang terhormat itulah mereka hanya boleh menerima honorarium (uang penghormatan), dan bukan gaji !
Komentar
Posting Komentar