Mengukur Kemampuan Birokrasi Melalui Fit and Proper Test
Oleh.Dr.
Muhadam Labolo
Seorang Bupati terpilih di Gorontalo
mengundang saya. Selain muda dan tampan, Bupati jebolan Golkar tersebut punya
segudang idealisme. Maklum, beliau dua periode malang melintang sebagai anggota
DPRD. Saya tak ingin menceritakan
sejarah bagaimana sampai saya menjadi kawan baik sekaligus penasehat pribadi
beliau khusus bidang pemerintahan. Undangan kali ini bukan melanjutkan upacara
pelantikan sebagaimana undangan terdahulu.
Beliau meminta pada saya untuk melakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) terhadap 21 orang
calon pejabat eselon dua, dan 140 calon pejabat yang akan duduk di eselon tiga.
Apakah Bupati terobsesi pada pemilihan Kapolri atau Ketua KPK di Jakarta, wawlahu alam bissawab. Namun beliau menginginkan agar pelantikan
kabinet baru yang akan mengawal visi misi lima tahun kedepan haruslah diisi
oleh para pejabat yang memiliki kompetensi dibidangnya masing-masing. Agak rumit memang, sebab selama ini
pengangkatan para pejabat di daerah 90% didasarkan pada assement politik dibanding kompetensi. Akibatnya, birokrasi tak lebih dari sekedar
tukang antar jemput kepentingan penguasa.
Birokrasi menjadi centang-perenang
dan rapuh karena dikendalikan oleh sejumlah kawanan hasil kongkalingkong dan nepotisme. Jangan heran kalau seorang lulusan Akademi
Pemerintahan Dalam Negeri bertahun-tahun di suruh menjadi penggembala ternak
lewat posisi sebagai Kepala Dinas Peternakan misalnya. Seorang pejabat eselon dua berpendidikan
sarjana hukum hingga magister hukum selama lima tahun terakhir diberi tugas
sebagai pimpinan nelayan dan bosnya
ikan-ikan di laut selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan. Bahkan, seorang insinyur teknik diminta mengurus
soal lahan pertanian dan seribu satu macam masalah petani berikut penyuluhnya. Sangat jelas bahwa birokrasi selama ini
memang tidak focus, lamban, boros,
bodoh bahkan arogan. Ia menampakkan
fenomena bad government yang
seharusnya diubah menjadi good government. Sungguhpun langkah Bupati melakukan fit and proper test merupakan idealisme yang berani, namun disatu sisi
merupakan langkah maju dalam meletakkan profesionalisme birokrasi. Berani,
karena tak ada dalam aturan main Baperjakat. Langkah maju, sebab fit and proper test merupakan
rasionalisasi guna mengubah gaya pengangkatan kepala dinas, kepala badan,
kepala kantor dan para pejabat di eselon tiga melalui katebelece. Praktek selama
ini, aktivitas Baperjakat yang dipimpin oleh sekertaris daerah tak lebih dari
sekedar memproses tumpukan disposisi, nota, memo, titipan kilat serta
mengakomodir gerombolan tim sukses yang lelah melakukan gerilya bagi kemenangan
kepala daerah terpilih. Baperjakat tak lebih dari tukang stempel. Kita tidak menginginkan gaya kepemimpinan
lama terus dipertahankan dengan mengacak-acak birokrasi demi mengakomodir
kepentingan pemenang Pilkada. Mereka yang mencoba netral sesuai amanah undang-undang,
bahkan terlambat mengambil posisi pada kandidat yang kalah terhadap kepala
daerah terpilih harus kembali ke posisi jabatan paling rendah, bahkan non job.
Pertanyaan selanjutnya apakah dengan fit and proper test pengisian jabatan
pada struktur organisasi pemerintah daerah lepas dari intervensi politik? Saya
harus menjawab dengan jujur, tidak! Namun dengan fit and proper test kita dapat membatasi intervensi dimaksud. Paling tidak Baperjakat di daerah memiliki
dasar pertimbangan dalam pengisian jabatan, bukan sekedar like and dislike. Kalau
kepala daerah paham betul bagaimana memaknai birokrasi sebagai mesin organisasi
untuk mewujudkan visi, misi, program dan kegiatan yang disepakati, maka tak ada
yang sulit untuk dilakukan. Lihatlah
bagaimana pusingnya kepala daerah ketika seorang kepala dinas tak mampu
mencairkan visi dan misinya kedalam program dan kegiatan dilapangan. Lima tahun
berjalan tak ada yang dilakukan kecuali terjebak dalam rutinitas birokrasi.
Saya yakin, mungkin saja karena kepala dinasnya jebolan ilmu sosial politik
yang dipaksa membereskan segala macam jenis projek di Dinas Pekerjaan Umum. Belum
lagi kemampuan para kepala dinas yang pas-pasan dalam mempresentasikan program
kerjanya hingga rendahnya kemampuan berkomunikasi. Menyadari keterbatasan semacam itu, tak heran
banyak calon kepala dinas yang sakit perut, gelisah, demam hingga keringat
dingin menghadapi test kelayakan dan kepatutan. Secara psikologis mereka
sebenarnya tak begitu siap, apalagi dicecar lewat pertanyaan berkaitan dengan
regulasi pada jabatan yang mereka pegang selama ini. Saya melihat Pak Bupati
dan Wakil Bupati merasa sangat dekat dan mengenali face to face, standard dan kualifikasi pejabat yang akan mereka
gunakan lewat wawancara yang dilakukan bersama saya. Fit and proper test dilakukan untuk mengidentifikasi seberapa layak
dan patut seseorang menduduki jabatan yang disiapkan. Sebagai contoh, untuk jabatan sekretaris
daerah, peminat di eselon dua ada empat orang.
Sekarang, bagaimana menilai kelayakan dan kepatutan keempat orang
tersebut dalam jabatan dimaksud. Ketika
saya melakukan fit and proper test,
diantara keempat orang yang berkeinginan duduk dijabatan sekda, hanya dua yang
memenuhi kategori sangat layak dan patut, sisanya cukup layak dan patut. Di tingkat eselon tiga, kurang lebih 20%
sangat layak, 70% layak, 8% cukup layak dan 2% tidak layak. Bagaimana membaca
hasil ini? paling kurang kepala daerah telah memperoleh gambaran berapa persen
yang benar-benar mampu menduduki jabatan yang disediakan. Sisanya dapat di up-grade melalui pembinaan dan pendidikan jangka pendek maupun
pendidikan jangka panjang guna mendorong kelayakan dan kepatutan. Secara umum, para pegawai sebenarnya memenuhi
dari aspek kelayakan seperti pangkat/golongan, pengalaman, latar belakang
pendidikan, maupun pendidikan dan pelatihan yang menunjang profesionalisme. Namun dari aspek kepatutan mereka mungkin tak
relevan duduk di posisi yang ditentukan secara gelap mata oleh kepala
daerah. Bahkan diantaranya tidak patut
pada suatu jabatan karena ditengarai oleh rendahnya integritas, reputasi dan
kejujuran yang dapat ditelusuri lewat rekam jejak (track record) biodata dan wawancara mendalam (intervieuw). Jadi, ada
sejumlah pejabat yang memang layak, namun kurang patut. Atau bahkan patut pada
jabatan dimaksud namun dari segi kepangkatan belum memenuhi unsur kelayakan. Dalam banyak kasus akhir-akhir ini, kepala
daerah bahkan dapat melantik seseorang kendatipun masih dalam masa
prajabatan. Lihatlah bagaimana
bingungnya ketika seorang staf yang lebih senior berpangkat tinggi harus
menyodorkan daftar penilaian kepangkatan (DP3) pada atasannya yang lebih yunior
dan berpangkat lebih rendah. Birokrasi terkesan semacam organisasi tanpa
aturan, melahirkan intrik, menimbulkan gejala diskriminasi, menumbuhkan
perasaan like and dislike, memupuk nepotisme akibat politisasi birokrasi
yang berlebihan. Bukankah dengan hasil fit and proper test kepala daerah
setidaknya dapat mengisi jabatan organisasi pemerintah daerah secara
50:50. Maksud saya, 50% persen berasal
dari hasil fit and proper test dengan
kualifikasi yang tak dapat diragukan lagi, sedangkan 50% merupakan hasil
kompromi politik sebagai balas jasa bagi sejumlah birokrat yang telah bersusah
payah masuk dalam lingkaran tim sukses. Lebih
ideal lagi kalau 60:40, atau mungkin 70:30. Saya dan anda semua tentu tak akan
bersikap munafik dengan mempertimbangkan realitas dari dampak sistem Pilkada
hari ini. Bukankah kabinet SBY juga tak semata mengakomodir kepentingan
politik? Menurut saya, ini jauh lebih rasional daripada seluruh pejabat
organisasi pemda 90% merupakan hasil kompromi politik yang sama sekali tak
membantu terwujudnya visi dan misi kepala daerah terpilih. Terlepas dari
meningkatnya rating kabupaten
tersebut diberbagai harian lokal Gorontalo pasca fit and proper test, serta tingginya permintaan daerah mengundang
saya untuk melakukan hal yang sama, saya hanya ingin mengucapkan selamat pada setiap
kepala daerah yang masih memiliki idealisme dan mampu direalisasikan secara
nyata.
Komentar
Posting Komentar