Menuntut Kejujuran KPUD
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Dalam pesta demokrasi di tingkat lokal, satu-satunya
institusi yang paling diharapkan kejujurannya adalah KPUD, bukan Parpol atau Panwas,
apalagi BKD (apa
hubungannya?). Mengapa? Sebab parpol hanyalah kenderaan peserta, baik sebagai pendukung maupun
sebagai pengusung. Panwas hanyalah komplemen supaya kelihatan ada wasit (demokratis), sekalipun
tak jelas kemana sampah pemilukada dibuang pada akhirnya.
Lebih-lebih BKD, jelas sekali tak ada hubungannya, sebab BKD urusannya
adalah menertibkan pegawai supaya bersikap netral, bukan menjadi bagian dari tim sukses, apalagi
menentukan siapa pemenang pemilukada. Sudah menjadi rahasia umum, dimana-mana BKD menjadi
momok bagi sebagian besar PNS di lingkungan pemerintah daerah. Ia menjadi
kepanjangan tangan sekaligus kepanjangan nafsu birahi kepala daerah. Kepala BKD biasanya menjadi mata-mata (spionase) bagi PNS yang tak berpihak
pada incumbent. Kalau anda PNS dan kurang berhati-hati, bisa
jadi anda akan menerima panggilan tertulis atau bahkan teguran keras lewat
lidah tak bertulang. Alasannya, anda
melakukan tindakan insubordinasi,
atau bahkan upaya kudeta secara latent
(tersembunyi). Persis rezim orde baru, hanya
kebetulan mengalir dan tumpah ruah di tingkat lokal. Seringkali, karena
rendahnya pengetahuan kewarganegaraan (civic
education), mereka tak bisa membedakan mana hak politik warga masyarakat
dan mana hak serta kewajiban seseorang sebagai pelayan masyarakat (civil servant). Sebagai warga negara biasa, seseorang tak
boleh dilarang dalam menilai siapa pemimpin yang akan menjamin masa depan
mereka. Itu melanggar hak politik
sekaligus hak azasi manusia. Setiap
warga negara berhak menentukan dan menilai siapa yang akan mereka pilih sebagai
pemimpinnya, bukan dikendalikan oleh sebuah institusi bernama BKD. Demikianlah
mengapa seorang pegawai negeri sipil tetap dibolehkan mencalonkan diri sebagai
kandidat kepala daerah. Hal itu untuk menjamin kebebasan sebagai insan politik
yang berhak untuk memilih dan dipilih, apalagi kalau hanya menilai. Dalam konteks hukum administrasi kepegawaian,
seorang pegawai hanya mungkin di tegur secara lisan maupun tertulis jika
perbuatannnya jelas-jelas melanggar secara administratif sebagaimana aturan
yang ditetapkan. Parahnya, kalau hak
warga negara secara politik diterapi dengan hukum administrasi, ini jelas
memalukan, selain menunjukkan rendahnya pengetahuan seseorang terhadap makna hak
politik dan hukum administrasi. Penggunaan kekuasaan secara membabi buta juga
sekaligus melengkapi cacatnya pengetahuan seseorang tentang bagaimana
seharusnya hukum administrasi tersebut bekerja.
Kembali ke
masalah menanti kejujuran KPUD. Publik
berharap banyak sebagai tumpuan akhir penghitungan suara. Soal perselisihan
pasca penetapan, biarlah urusan Mahkamah Konstitusi. Semakin telaten dan jujur
KPUD bekerja, semakin jelas pula siapa kepala daerah yang akan terpilih. Mengapa KPUD dituntut jujur? Sebab mereka
menjadi satu-satunya yang memiliki otoritas dalam menyelenggarakan pesta
demokrasi di tingkat lokal, bukan Pers, Perguruan Tinggi, apalagi LSM. Merekalah yang mendesain perencanaan hingga
bagaimana setiap pemilukada dapat berlangsung dengan prinsip langsung, umum,
bebas, rahasia dan tentu saja jujur.
Untuk meletakkan harapan atas kejujuran tadi, maka para pelaksana
pemilukada biasanya dipilih dari sejumlah orang yang memiliki dan teruji kompetensi
serta kredibilitasnya. Kompetensi
merujuk pada segala bentuk pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan
setiap anggota KPUD mampu merencanakan dan melaksanakan perhelatan demokrasi di
tingkat lokal dengan baik dan benar. Kredibilitas setidaknya menunjukkan
kejernihan pribadi dan sosial pada setiap anggota KPUD sehingga memungkinkan
mereka dipercaya secara haqqul yaqin. Kejernihan pribadi dan sosial di ukur dari
kapasitas moral seseorang dalam masyarakat, apakah yang bersangkutan memiliki
pribadi yang bersih berikut tingkat kepatuhan yang tinggi pada nilai-nilai
ideal yang berlaku dalam masyarakat, seperti agama dan moral universal, atau
sebaliknya. Kalau hanya mengandalkan
kompetensi, lihat saja dimasa lalu banyak anggota KPU tingkat pusat harus
belajar di buih sekalipun menyandang gelar profesor. Jelaslah sudah, tidak cukup kalau hanya
mengandalkan kompetensi semata. Sebaliknya, banyak orang memiliki kredibilitas
yang cukup, namun tak memiliki kompetensi yang memadai sehingga seringkali
mengalami kegagalan pada tingkat teknis operasional. Lihat pula contoh dimana
anggota KPU berasal dari orang yang paham agama, tapi banyak meninggalkan
persoalan pemilu di tingkat teknis operasional.
Lalu, bagaimana mekanisme kejujuran KPUD dapat diwujudkan dalam
pemilukada? Menurut saya, sebaiknya KPUD menempatkan seluruh jajarannnya dari
level paling tinggi hingga PPK dan TPS kelompok orang yang sedikit banyak memiliki
kompetensi dan kredibilitas dimaksud.
Masalahnya, belajar dari pengalaman pemilukada di banyak daerah, anggota
PPK hingga TPS bukanlah mereka yang merepresentasikan kedua variabel diatas,
kecuali keluarga dekat incumbent,
termasuk anggota tim sukses yang dengan berbagai alasan ketika terjadi masalah
berlindung dari kelalaian salah hitung.
Sebaliknya, untuk sebagian kasus, boleh
jadi anggota PPK hingga TPS mungkin telah memperlihatkan kejujuran, tetapi
ketika perhitungan naik pada level KPUD justru disinilah sumber masalahnya,
penuh transaksional dan manipulasi suara yang gaib dimata publik. Satu
suara bisa jadi berharga dua puluh lima
ribu sampai seratus ribu rupiah.
Kontan, alias cash. Kepada publik, kita berharap pengawasan yang
efektif lewat partisipasi sehingga mampu menyelamatkan suara mereka sendiri
dari transaksi yang hanya menguntungkan elit parpol, KPUD dan sekelompok tim
sukses. Kalau suara anda saja dapat dengan
mudah diperdagangkan lewat harga yang teramat murah, bisa jadi kepala daerah
yang kita peroleh hanyalah hasil dari transaksi murahan sebagaimana anda dan
saya membeli barang bekas di Pasar Rumput.
Komentar
Posting Komentar