Logika dan Logistik Tim Sukses
Oleh.
Dr. Muhadam
Labolo
Logika
dan logistik adalah dua konsep yang berbeda.
Logika menunjukkan cara berpikir dengan alur dan sistematika tertentu
sehingga mengandung kesimpulan yang rasional dan abstraktif. Seringkali, sesuatu
dianggap logis kalau masuk di akal. Para
penyelidik suka membuat pertanyaan bagi para tersangka agar mereka mampu menyimpulkan
setiap kasus secara logis. Sedangkan logistik cenderung dimaknai sebagai segala
sesuatu yang berbentuk materi, bahkan sumber daya yang menyokong segala hal
yang lahir dari logika. Karenanya,
logika tanpa logistik apalah gunanya. Ibaratnya, logika adalah konsepnya,
sedangkan logistik adalah operasionalisasinya.
Untuk apa logika hebat sekalipun, kalau logistiknya tidak jelas, demikian
kata kawan saya. Logika sebaiknya
berbanding lurus dengan logistik, supaya semua beres. Para tim sukses suka menyambangi setiap
kandidat kepala daerah dengan dua istilah tersebut. Kalau ingin menang, sekalipun anda pintar, konsepnya
logis, berapa dulu logistiknya. Berapa
banyak mantan birokrat cerdas dengan segudang pengalaman dan pengetahuan tak
mampu bersaing ketika mencoba terjun dalam pesta demokrasi langsung di daerah.
Mereka yang hanya mengandalkan logika nyatanya harus tunduk pada kandidat yang
lebih kuat logistiknya. Inilah dilema demokrasi yang kurang memenuhi
syarat. Demokrasi kadang tak
mempedulikan mereka yang memiliki logika, demokrasi cenderung memihak pada
mereka yang mengendalikan logistik. Pada
akhirnya, mereka yang cerdas dikendalikan oleh sekumpulan pemegang logistik. Bagi
rakyat kebanyakan, tak penting apakah anda cerdas atau tidak, sejauh anda mampu
menjamin masa depan mereka, dalam artian mampu menjamin logistik dan membuat
mereka tidur nyenyak tanpa gangguan, silahkan pimpin daerah ini. Kalau anda orang cerdas, maka seharusnya
kecerdasan anda diarahkan pada logika masyarakat kebanyakan. Sekalipun logika umum belum tentu benar
seluruhnya. Lalu carilah logistik untuk membiayai serangkaian logika masyarakat
itu. Maka, kepala daerah yang ideal sesungguhnya bila ia mampu menjamin
logikanya mewujud dalam bentuk logistik di lapangan. Jika tidak, sebaiknya anda menjadi pengamat
sebelum menjadi pecundang dihadapan para pemegang logistik. Memang, masyarakat
traditional relatif tak begitu memperkarakan berapa banyak logistik yang anda
bawa, sebab sebagian besar akan memilih asal punya hubungan idiologis dan sosiologis
yang memungkinkan terbentuknya akses kuat sekaligus merepresentasikan
kelompoknya. Soal lain terserah anda.
Yang penting ini suatu kebanggaan, suatu simbol, mungkin juga suatu
hegemoni budaya. Pada masyarakat
transisi (traditional-modern)
cenderung mengharapkan bantuan sekalipun tidak bagi individu semata, tetapi
pada institusi yang menjadi simbol solidaritas seperti Masjid, Gereja,
Kerapatan Adat maupun lembaga sosial lainnya. Berbeda dengan masyarakat modern di perkotaan,
logika perlu, logistik apalagi. Sekalipun
logistik anda benar-benar cukup, belum tentu anda akan terpilih menjadi kepala
daerah kalau logika anda benar-benar di bawah garis mistar gawang. Jika anda
orang yang memiliki sedikit banyak pengalaman dan pengetahuan yang kredibel
dimasa lalu, saya yakin logistik andalah yang paling banyak ludes. Masyarakat kota membutuhkan kepala daerah
yang tidak hanya kuat logistik, tetapi juga cerdas dan memiliki segudang
pengalaman teruji untuk menjamin masa depan mereka. Idealnya, masyarakat kota itu bergengsi,
berkelas dan borju, sehingga daya elektabilitasnya relatif tinggi. Sayangnya, di kota besar bukan sedikit
masyarakat yang masih berada di level transisi, sehingga antara logika dan
logistik kadang menjadi kabur. Logistik
anda tetaplah harus lebih banyak dari sekedar logika. Bagi seorang Tukang Becak
dan Sopir Bajaj tak begitu penting logika, yang penting logistiknya kuat. Variabelnya jelas, yaitu tingkat pendidikan
dan pendapatan masyarakat. Logika normal
sebenarnya semakin rendah tingkat pendidikan masyarakat, diharapkan semakin
rendah logistik yang dibutuhkan. Demikian
sebaliknya. Namun di negara-negara
transisi demokrasi seperti Indonesia, semakin rendah tingkat pendidikan
masyarakat semakin besar logistik yang dibutuhkan, sebab pilihan dan uang
adalah dua masalah yang sulit dipisahkan.
Ada uang, ada pilihan. Ada pilihan, ada suara. Ada suara, ada kursi. Ada kursi, ada jabatan. Ada jabatan, ada kebijakan. Ada kebijakan, ada penguasaan sumber daya.
Kembali lagi, ada sumber daya, ada logistik. Ada logistik, ada logika. Maka,
bagi sekelompok tim sukses, semakin banyak kandidat semakin jelas masa
depannya. Masa depan itu bisa berbentuk
logistik secara langsung berupa modal atau projek. Sedangkan logika bisa berbentuk jabatan. Umpamanya, kalau saya menjadi anggota tim
sukses salah satu kandidat, maka sangat logis jika saya dilantik pada satu
jabatan yang disiapkan. Sebaliknya, jika
anda bukan bagian dari tim sukses, jangan berharap anda akan dilantik pada suatu
jabatan prestisius, kecuali jabatan portofolio yang tak begitu diperhitungkan.
Dalam konteks inilah tim menjadi sukses, bukan sekedar tim sukses. Maka, semakin banyak kandidat kepala daerah,
semakin banyak peluang bagi tim sukses.
Lebih-lebih kalau kandidat kepala daerah adalah mereka yang tidak saja
berpengalaman menjadi Bupati, tetapi juga memiliki logistik yang memadai hasil
dari akumulasi menjadi Pamong Praja bertahun-tahun. Bukankah semua proses tersebut logis
to ?
Komentar
Posting Komentar