Makna Lapar
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Dalam
surah Al-Baqorah ayat (185), Allah mentranformasikan eksistensi orang-orang
beriman kedalam status puncak bagi seorang Muslim, yaitu ketaqwaan. Tentu saja kita tak cukup dengan kategori
sebagai orang beriman, ia membutuhkan proses pendewasaan iman pada derajat yang
lebih elitis-spiritual sebagaimana
orang-orang terbaik yang pernah mencapai gelar Muttaqin. Derajat taqwa mencerminkan hirarkhi
kehati-hatian seorang Muslim. Maknanya,
semakin mampu menjaga diri, mengendalikan diri, membentengi diri atau
menghindari diri dari semua ransangan internal dan eksternal yang cenderung
mendistorsi kefitraan manusia, maka semakin tinggi pula kualitas taqwa
dimaksud. Intinya, taqwa berarti mawas
diri atau kewaspadaan diri. Kalau saja
banyak orang dapat mencapai tingkat kewaspadaan tersebut, bukankah gerakan
kewaspadaan nasional sebagaimana pernah digelar bangsa ini tidak perlu menjadi
gerakan panas-panas tahi ayam. Bagaimanakah menggambarkan orang bertaqwa
dalam kehidupan sehari-hari? Ibarat berjalan pada semak belukar penuh onak dan
duri, seseorang mampu melewatinya tanpa goresan sedikitpun. Atau jika seseorang menghadapi kemacetan lalu
lintas di Jakarta, ia mampu melewati semua kekalutan tadi tanpa hambatan yang
berarti, hingga sampai pada tujuan tepat waktu, tak kurang suatu apapun juga. Lalu, media atau cara apakah yang mesti kita
lewati untuk membiakkan keberimanan manusia agar mencapai puncak ketaqwaan
tersebut? Inilah yang diperintahkan
Allah Swt dalam surat Al-Baqorah diatas, puasa.
Puasa merupakan satu-satunya ibadah dalam rukun Islam yang paling sepi
dari hingar-bingar ceremonial,
kecuali kalau memang disengaja oleh para penganutnya. Secara dzahir mereka yang
berpuasa dapat dilihat saat berbuka puasa, namun untuk menentukan apakah
seseorang benar-benar berpuasa, hanya si pelaku dan Allah swt saja yang lebih
mengetahui. Bandingkan dengan syahadat
yang dapat di dengar lewat lafadz, sholat yang dapat di lihat dalam satu set rakaat,
zakat yang dapat disaksikan dalam bentuk serah-terima fisik, atau ibadah haji
yang dapat dihadiri mulai dari keberangkatan hingga penjemputan di bandara. Puasa bertujuan untuk mengantarkan status
seorang muslim kedalam puncak ketaqwaan. Inilah yang kita peroleh seusai
melaksanakan puasa, perasaan suci alias fitrah sebagai manusia ciptaan Tuhan yang
paling sempurna, bukan mahluk Tuhan yang paling seksi seperti dinyanyikan oleh
Mulan Jamila. Puasa mendorong kemampuan
nafsu muthmainna untuk menyeimbangkan
tekanan nafsu syahwat dan nafsu amarah. Tekanan nafsu syahwat merupakan faktor
internal yang seringkali dominan mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku
manusia. Manusia, menurut Sigmund Freud, seorang ahli
psiko-analisis, dominan dikendalikan oleh libido dalam interaksi sosial. Semua motivasi yang terekspresi dalam cara
berpikir dan bertindak praktis dipengaruhi signifikan oleh seksualitas. Pandangan ini terlihat jelas dalam cara
berpikir dan beraktivitas kaum modernis barat, mulai dari politik gender hingga
gaya fashion sehari-hari yang
cenderung memperlihatkan daya sensualitas.
Kecenderungan semacam ini mengakibatkan manusia layaknya diperbudak oleh
hawa nafsu ketimbang akal sehatnya.
Disisi lain, tekanan nafsu amarah pada manusia muncul disebabkan oleh
desakan faktor eksternal. Sosialist Karl Marx menyatakan bahwa pada
dasarnya manusia dikendalikan oleh lingkungan.
Standarisasi moral manusia di ukur dari aspek materialisme. Tekanan lingkungan sedemikian rupa membuat
manusia berusaha mengejar taraf kehidupan ekonomi agar terkesan tidak saja
kaya, juga glamour. Demikianlah kaum
barat memperlihatkan gaya hidup mereka, dimana kompetisi memperebutkan sumber
daya ekonomi seringkali memicu lahirnya perang, pertikaian, konflik, perseteruan
dan permusuhan sebagai manifestasi dari nafsu amarah. Aktivitas kolonisasi,
invasi, aneksasi hingga infiltrasi dalam bentuk sosial budaya dan ekonomi
adalah contoh telanjang tekanan kaum
barat terhadap sejumlah negara jajahan di Timur Tengah dan Asia. Apabila kedua
pandangan tersebut kita sintesa, maka sebenarnya manusia diperbudak oleh faktor
internal (nafsu syahwat), dan faktor eksternal (nafsu amarah). Sekalipun kedua ilmuan tadi mampu
mengindikasikan kedua faktor diatas,
namun mereka gagal mengidentifikasi nafsu yang dapat mengendalikan kedua
faktor tersebut, yaitu nafsu muthmainna. Rasululloh Muhammad Saw mengingatkan para sahabat dan sisa prajurit pasca
perang Uhud yang hebat, bahwa kita baru selesai melakukan perang kecil (jihadul ashgar), beberapa saat lagi kita
akan memasuki perang besar (jihadul akbar)
yang tujuannya mengasah nafsu muthmainna
untuk mengendalikan nafsu syahwat dan nafsu amarah pada diri manusia. Perang besar yang dimaksud oleh Rasululloh
adalah puasa di bulan Ramadhan untuk mengantarkan keberimanan seorang muslim ke
level yang lebih tinggi, yaitu taqwa. Dalam
konteks internal, puasa berfungsi untuk menajamkan nafsu mutmainna agar mampu mengendalikan dorongan seksualitas sebagaimana
terlihat pada sekawanan binatang liar.
Seorang anak berpuasa mungkin hanya sebatas no drink and no food, tetapi seorang Muslim dewasa lebih dari
sekedar itu, yaitu no sex. Ketajaman nafsu muthmainna juga diperlukan untuk mengendalikan dorongan eksternal
yang menimbulkan amarah pribadi dan amarah sosial. Amarah pribadi dapat merusak citra kita
dihadapan manusia lain, sedangkan amarah sosial dapat memporak-porandakan
ketertiban sosial, merusak tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
bahkan dalam jangka panjang menurunkan nilai peradaban manusia dan kemanusiaan.
Kedua faktor pendorong tersebut diperlukan sekaligus dikendalikan, bukan
dimusnahkan. Diperlukan, sebab nafsu syahwat pada batas tertentu berfungsi
menjamin investasi peradaban manusia, sedangkan nafsu amarah dibutuhkan untuk
melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat dari ancaman dan gangguan orang
lain. Kepekaan sosial dibutuhkan agar mampu menangkap sisi penting dalam
dinamika berkehidupan sekaligus berpemerintahan. Sebagai pemimpin, kita
dituntut untuk melayani setiap kebutuhan masyarakat, apapun permintaannya, dan
siapapun dia, minimal dalam bentuk doa.
Ketika Musa didatangani oleh seorang miskin dan menitipkan doa agar
dimohonkan kepada Allah agar dijadikan orang kaya, Musa hanya tersenyum dan
menjawab, banyak-banyaklah kamu bersyukur kepada Allah, niscaya kamu akan
menjadi orang kaya. Si miskin menjawab, jangankan bersyukur, makan dan
berpakaian saja aku tak sanggup, bagaimana mungkin aku disuruh bersyukur kepada
Allah. Dalam kesempatan berbeda, datanglah seorang kaya kepada Musa, ia minta
didoakan agar bisa menjadi seorang yang miskin, sebab kekayaannya terkadang
mengganggu pikiran dan aktivitasnya beribadah kepada Allah. Musa menjawab dengan tersenyum heran,
janganlah kamu bersyukur kepada Allah, niscaya kamu akan menjadi orang miskin.
Si kaya menjawab pula dengan penuh keheranan, bagaimana mungkin aku tak
bersyukur pada Allah, Ia telah memberikan mata sehingga aku dapat melihat
dengan baik, Ia telah mengkaruniai telinga sehingga aku dapat mendengar, Ia
telah membuatkan tangan sehingga aku dapat mengangkat dan memindahkan segala
sesuatu, bahkan Ia telah memberikan kaki sehingga aku dapat berjalan kemanapun
aku suka. Semua itulah justru yang telah
membuat aku bekerja dan menjadi kaya. Disinilah letak strategis puasa, dimana kita
dipanggil secara khusus untuk menajamkan nafsu muthmainna agar mampu mengendalikan tekanan internal dan eksternal
selama sebelas bulan kedepan. Jika kita
mampu meraih sertifikasi taqwa tersebut, maka yakinlah, kita termasuk pribadi
yang cerdas secara internal, sekaligus peka secara eksternal.
Komentar
Posting Komentar