Menimbang Ongkos Demokrasi


oleh. Dr. Muhadam Labolo

Bayangkan saja, ongkos demokrasi kita saat ini terlalu besar. Bisa berlipat-lipat dari APBD di daerah kita. Bukan saja harga dari sisi ekonominya yang mahal, lebih dari itu harga sosial politiknya juga gede. Skarang saja, rata-rata setahun kita melaksanakan kurang lebih 103 kali Pilkada (Saefulloh:2008). Artinya, jika pakai logika tukang parkir, tiap sebulan ada kurang lebih 8 kali Pilkada, seminggu ada 2 kali Pilkada, atau boleh dibilang setiap tiga hari ada satu kali Pilkada.
Berapa ongkosnya? Jika benar menurut Wapres JK (2008) setiap tahun kita mengeluarkan biaya sebesar 200 Triliun untuk Pilkada. Menurut data kasar, pemilu legislatif dan presidenakan menghabiskan biaya kurang lebih 45-50 Triliun. Pemilihan Bupati/Walikota ditingkat Kabupaten/Kota menghabiskan anggaran antara 5 sd 500 Milyar. Pemilihan Gubernur ditingkat Provinsi di wilayah Jawa menyedot biaya rata-rata antara 500 sd 1 Triliun. Kasus pemilihan Gubernur Jawa Timur dengan 3 putaran menghabiskan dam 830 Milyar. Sedangkan pemilihan Gubernur Jawa Tengah menghabiskan anggaran 650 Milyar. Pemilihan satu kepala desa diluar Jawa rata-rata menyedot APBD antara 5 sd 150 juta. Persoalannya bukan disitu, masalahnya apakah demokrasi telah menghasilkan pemimpin yang berkualitas sehingga mampu menunaikan amanah rakyat sekaligus mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih baik alias sejahtera? Faktanya, banyak sindiran yang menyakitkan telinga, produknya baru menghasilkan pemimpi, bukan pemimpin. Mereka bahkan tak meninggalkan apa-apa, kecuali hutang piutang Pemda dari satu rezim ke rezim berikutnya. Rakyatlah yang harus menyicilnya. Kata kawan saya, ada juga yang berubah, yaitu mobil dinas dan rumah dinas. Hari ini, lebih separuh APBD kita habis untuk ongkos tukang, tukang mensejahterakan rakyat, yaitu eksekutif dan legislatif.
Menurut Suwandi (2005), APBD untuk biaya tukang saja rata-rata menyedot 50%. Kalau satu putaran Pilkada menghabiskan biaya 15%, dan biaya perawatan Pemda membuang sekitar 10%, maka APBD praktis tersedot sebesar 75% untuk ongkos tukang "mensejahterakan rakyat". Maka, buat rakyat tinggal keraknya, yaitu 25%. Kalau itu efeknya trickle down bagus,tapi kalau trickle up, maka yang kaya pastilah yang punya modal (kekuasaan dan uang). Mengapa kesejahteraan tidak muncrat ke bawah, tapi muncrat ke atas? Karena para elit pengen kembalikan modal. Minimal pengeluaran untuk ikut Caleg ditingkat Kabupaten/Kota taruhlah sebesar 50-250 juta, Caleg Provinsi antara 250-500 juta, Caleg pusat antara 500-1 Milyar. Jadi, sangat masuk akal jika tahun pertama hingga tahun kedua rata-rata para politisi pengen balik modal. Tahun ketiga idealisme baru dimunculkan, tahun keempat menabung, tahun kelima cari modal baru buat kompetisi berikutnya. Kalau asumsi ini benar, maka ke depan bangunan APBD kita pasti goyah.
Demokrasi hanyalah alat atau instrumen yang digunakan dalam sistem politik untuk menjadi kanal bagi lahirnya pemimpin yang mumpuni dalam mengemban amanah rakyat. Demokrasi bukan terminal akhir, ia hanyalah pilihan sistem diantara sistem lain yang pernah kita tinggalkan, yaitu sistem otoriter dan totaliter. Jadi, jika kita bosan dengan sistem demokrasi, maka terbuka jalan lurus untuk memilih sistem lain yang dipandang lebih akomodatif dan marketable. Kita perlu berhemat dalam membangun demokrasi. Supaya kita bisa membangun dan memberi prioritas bagi keperdingan publik. Pemilu hanyalah salah satu di antara pondasi dasar yang akan kita bangun, tetapi bukanlah satu­-satunya.
Memang, semakin tinggi sistem demokrasi yang akan kita bangun semakin rendah efisiensi, demikian sebaliknya. Kadang kita pesimis dengan pilihan sistem hari ini. Tapi kita tidak ingin melihat kebelakang, sekalipun dibelakang kita masih banyak pengalaman berharga yang patut dan tak perlu malu untuk dipetik kembali. Demokrasi bukannya tanpa kebaikan, bahkan mungkin jauh lebih terhormat jika ditimbang dengan sistem lain, sekalipun tidak sedikit memiliki kelemahan. Kalau pakai data Pak Boediono (Gubernur BI), demokrasi punya hubungan yang kuat dengan efisiensi.  Katanya, kalau income suatu negara di bawah 1500 USD, maka usia harapan hidup demokrasinya hanya 5 tahun. Antara 1500-3000 USD, usia harapan hidup demokrasinya hanya 8 tahun. 3000-5000 USD hanya 10 tahun, 5000-6000 USD hanya 15 tahun, di atas itu probabilitas usia harapan hidup demokrasinya lebih stabil seperti USA dan Inggris.
Kalau Indonesia, dengan mengambil data income perkapita tahun 2006 (purcashing power purity) sebesar 4000-4500 USD/tahun, maka kemungkinan hanya bisa survive selama 9 tahun, artinya hanya sampai tahun 2015. Mengutip prediksi sosiolog Thamrin Tomagola (2008) pada suatu seminar, kalau Indonesia pecah pada tahun 2015, kemungkinan pecah menjadi 17 negara, yaitu Negara Jawa, Negara Sunda dan Negara Banten. 14 negara lain disumbangkan dari wilayah Indonesia Timur. Tentu saja, tidak menutup kemungkinan lahirnya negara sekelas Sulawesi Timur misalnya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian