Keadilan, Kebaikan dan Seni dalam Memerintah
Oleh. Dr. Muhadam
Labolo
Menurut Plato, sebagaimana
diterjemahkan oleh Jowett dalam The Web
of Government (Mac Iver:1985), bahwa keadilan, kebaikan dan seni dalam
memerintah adalah variabel besar yang mesti dipenuhi oleh setiap aktor
pemerintahan. Bahkan menurutnya, jauh
lebih berbahaya jika para pelaku pemerintahan kehilangan sensifitas terhadap
nilai-nilai keadilan dan kebaikan dibanding seni memerintah itu sendiri.
Pemaknaan terhadap prinsip keadilan dan kebaikan dalam pribadi seorang
pemerintah jauh lebih penting dibanding seni memerintah itu sendiri yang dapat
dipelajari lewat pengetahuan dan pengalaman. Keadilan seorang pemerintah penting, sebab ia
menjadi jaminan bagi kenyamanan dan kewajaran hidup bersama dalam suatu
pemerintahan. Keadilan menjamin
terpenuhinya kebaikan bersama, dimana setiap orang dapat merasakan manfaat atas
kepemimpinan pemerintahan sesuai proporsinya masing-masing. Dalam batasan filosofinya, keadilan bermakna
terhadap sesuatu yang sama diperlakukan secara sama, dan terhadap sesuatu yang
berbeda diperlakukan secara berbeda. Menyamakan gaji Presiden dengan gaji
seorang Kepala BKD di satu pemerintah daerah adalah pengingkaran akan makna
filosofi dimaksud. Tetapi membagi roti
pada dua orang miskin yang setara kondisinya, baik umur dan kebutuhannya
bukanlah sebuah pelanggaran etis terhadap keadilan. Artinya, keadilan secara fungsional berperan
menciptakan kebaikan sesuai karakteristiknya, sedangkan keadilan secara formal
menciptakan kebaikan secara merata.
Keadilan merupakan nilai penting yang selalu diingatkan oleh Tuhan dan
para Nabi kepada manusia. Contoh paling
konkrit ketika seorang Muslim mengakhiri khotbah Jumat kedua, para khotib
selalu mengingatkan innallaha ya’ murukum
bil adil wal ikhsan, (sesungguhnya Tuhan memerintahkan kamu untuk berbuat
adil dan berlaku baik). Tampaknya, jauh
sebelum Plato merenungkan tentang keadilan dan kebaikan, firman Tuhan menjadi
inspirasi awal bagi mereka. Bagi kita,
memperjuangkan keadilan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Seorang pemimpin paling strategis
mengupayakan terpenuhinya nilai keadilan dimaksud. Dan untuk semua usahanya,
Tuhan menyediakan fasilitas se-kapling
surga bagi pemimpin yang mampu berbuat adil. Bagi sekelompok orang yang ingin
menjadikan keadilan sebagai fondasi utama kesejahteraan, mereka membentuk
partai keadilan. Bahkan, para agamawan yang
ingin membuktikan apakah keadilan itu bisa diwujudkan atau tidak, seringkali
menjadikan alasan keadilan untuk menjawab pertanyaan tentang mengapa
mereka mau beristri lebih dari satu. Betapa pentingnya keadilan tersebut, maka
pemerintah mendekatkan sarana untuk mencari keadilan dari tingkat pengadilan
negeri hingga Mahkamah Agung. Soal bagaimana
agar keadilan tersebut dapat dicapai bergantung pada seberapa kuat seseorang
memperjuangkannya. Kita tau, sangat
sedikit keadilan yang dapat mereka peroleh sekiranya tak diimbangi oleh
kekuatan lain seperti finansial, untuk memperoleh keadilan yang setinggi-tingginya. Ketika pemimpin pemerintahan memahami makna
penting dari kebaikan untuk pada akhirnya menciptakan kebaikan bersama, maka
langkah berikutnya adalah bagaimana mengoperasionalisasikannya dilapangan? Disinilah perlunya seni dalam menjalankan
pemerintahan (the art of government).
Seni dalam memerintah seringkali tak masuk
dalam kurikulum ajar bagi Mahasiswa yang duduk di bangku kuliah politik,
apalagi pemerintahan. Ia lahir seiring
dengan matangnya pemahaman seseorang tentang semua ilmu yang dipelajari. Seni
memerintah lahir dari hasil tangkapan semua jenis panca indra. Ia bisa lahir
dari hasil kedipan mata, pendengaran yang peka, diskusi yang panjang, penciuman
yang tajam, serta insting yang kuat. Kolaborasi dari berbagai macam ilmu tadi
menghasilkan seni memerintah yang dapat dipraktekkan. Demikianlah mengapa seorang dokter gigi bisa
menjadi kepala daerah yang berhasil di Kabupaten Jembrana atau Kota Bontang. Semua dimulai dari pencapaian makna keadilan
dan kebaikan bersama, sehingga dengan sendirinya mendorong mereka menemukan
strategi implementasi yang efektif untuk
mengalirkan semua gagasan cemerlang dilapangan pemerintahan. Mereka yang mencoba mengadu nasib sebagai
pemimpin pemerintahan, penting untuk memperjelas pandangan matanya dengan obat
tetes mata (vision), supaya jelas apa
yang hendak dicapai lewat visi dan misi dalam sekali masa jabatan. Mereka juga harus membersihkan kuping setiap
hari dengan kapas (cottombut), supaya
terbiasa mengembangkan kepekaan yang nyata kalau tak ingin dibilang budek
sebagai pemerintah. Merekapun harus
banyak melakukan diskusi panjang, dimana saja dan kapan saja, supaya mampu
menangkap dan menjawab setiap keluhan dan pertanyaan masyarakat. Keengganan pemerintah dalam membangun diskusi
dengan rakyat menunjukkan ketakutan yang berlebihan terhadap kritik masyarakat
atas apa yang telah, sedang akan diperbuatnya.
Ini juga mengindikasikan terbentuknya karakter pemimpin otoritarianisme.
Dan gejala semacam ini banyak terjadi di seantero pemerintah daerah yang lagi mabuk otonomi. Mereka seyogyanya memiliki penciuman yang
tajam, agar tau dimana rakyatnya yang hanya makan ubi kayu, jagung, sagu atau
bahkan tak sanggup makan sehari tiga kali.
Masalahnya, kemampuan pemerintah menggunakan penciuman yang tajam lebih
pada upaya mengamankan pemerintahan dan mencegah kudeta, sehingga masyarakat
yang tak bersalah kadang menjadi korban penghilangan dan penculikan. Di daerah, para kepala SKPD menjadi instrument untuk memperluas penciuman
kepala daerah, supaya bisa menghukum sejumlah birokrat yang dinilai melakukan
aktivitas insubordinasi. Mereka
semestinya memiliki insting yang
kuat, agar setiap kebijakan semaksimal mungkin memberi faedah sebesar-besarnya,
dan sebisa mungkin mengurangi dampak yang merugikan orang banyak. Kemampuan
memadukan keseluruhan fungsi panca indra diatas dasar-dasar keadilan dan
kebaikan menjadi satu kekuatan dalam memerintah, inilah yang saya sebut seni
memerintah. Sayangnya, sedikit diantara
banyak kepala daerah yang memiliki gagasan keadilan dan kebaikan bersama,
apalagi seni memerintah seperti itu.
Komentar
Posting Komentar