Produktivitas Birokrasi dan Problem SPPD
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Sebagai sebuah negara yang paling
banyak libur, Indonesia dinilai kurang produktif dibanding negara sekecil
Singapura, walaupun untuk hal lain tak bisa disejajarkan begitu saja.
Negara ini dipandang serba tanggung. Tanggung
untuk hal-hal tertentu, apalagi kalau menguntungkan. Kalau ada hari dalam
seminggu yang kebetulan terjepit di tengah atau di belakang hari libur
nasional, maka sudah pasti ia dikorbankan atas nama cuti bersama. Inilah yang kita sebut sebagai Harkitnas, atau
Hari Kejepit Nasional. Alasannya seperti saya sebut diatas, serba tanggung jika
tidak diliburkan, sebab akan lebih banyak orang yang bolos bekerja daripada
masuk kantor. Maknanya, pemerintah lebih berpihak pada kelompok aparat yang
cenderung suka bolos, daripada berada di belakang aparat yang rajin. Dampaknya, kelompok aparat yang disiplin dikorbankan,
sekaligus dilegalkan berbaur dengan
aparat yang tanggung masuk kantor lewat kebijakan libur bersama. Semua itu membuat pemerintah kurang kerjaan
sekaligus kurang produktif. Lihat saja
bagaimana output Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) setiap tahun. Dari 497
kabupaten/kota tahun 2011, tak lebih dari 10 kabupaten dan kota yang memperoleh
pencapaian optimal otonomi daerah menurut standar yang telah ditentukan. Lebih dari
50 persen daerah membuang APBD tanpa ouput
yang jelas. Semua tergambar terang-benderang dalam laporan tersebut. Lalu,
berapa rupiah negara membayar mereka yang bekerja serba tanggung tadi dalam
setahun? Atau, berapa harikah seorang aparat bekerja dan digaji oleh negara
dalam setahun? Marilah kita ambil sampel pada seorang pejabat eselon dua di
tingkat kabupaten/kota. Taruhlah pejabat eselon dua setingkat Kepala BKD
Kabupaten di pulau Jawa. Kita mengambil contoh itu karena jabatan tersebut
cukup prestisius sekaligus rentan dengan perilaku suap-menyuap saat rekrutmen
pegawai negeri sipil. Kata kawan saya,
seorang pejabat eselon dua di kabupatennya memiliki anggaran SPPD (Surat
Perintah Perjalanan Dinas) sebesar Rp. 444.740.000,. Ia memperkirakan bahwa
rata-rata seorang pejabat eselon dua di daerahnya membuang 150 hari kerja untuk
urusan tetek-bengek di Ibukota Negara
saban tahun. Kalau ditambah dengan perjalanan dinas ke Provinsi dan Kecamatan,
seorang pejabat eselon dua telah meninggalkan kantor selama lebih kurang 210
hari. Kalau jumlah waktu kerja sama
dengan 365 hari dikurangi 52 hari minggu dan 52 hari sabtu, maka seorang
pejabat eselon dua tadi hanya menyisakan 251 hari kerja. Dengan begitu maka
waktu efektif kerja bagi seorang pejabat eselon dua adalah 251 hari dikurangi
hari libur nasional ditambah cuti bersama.
Artinya, 251 hari dikurangi 21 hari, sama dengan 230 hari. Kalau 230 hari kita kurangi dengan waktu untuk
perjalanan dinas diatas, (230 hari - 210 hari) maka tersisa 20 hari. Dengan demikian seorang pejabat eselon dua
digaji selama 12 bulan hanya untuk bekerja di kantor selama 20 hari. Maka kalau gaji dan tunjangan seorang pejabat
eselon dua sebulan sebesar kurang lebih 5 juta rupiah, artinya selama 20 hari
mereka digaji negara sebesar 60 juta. Itu berarti setiap hari seorang pejabat
eselon dua digaji sebesar 3 juta rupiah.
Ini prakiraan untuk pejabat eselon dua yang tinggal tak begitu jauh dari
Jakarta, bagaimana kalau para pejabat eselon dua tersebut bertugas di wilayah
Indonesia Timur, tentu saja jauh lebih besar lagi. Apakah yang diurus oleh
seorang pejabat eselon dua? Saya yakin urusan itu mulai dari konsultasi, diklat
teknis hingga mendampingi kepala daerah ke sejumlah departemen terkait. Maklum saja, fungsi pejabat eselon dua setingkat
kepala dinas dan badan tak lebih dari sekedar koordinator program dan kegiatan,
bukan pekerja yang sesungguhnya.
Faktanya, semua pekerjaan di desain habis oleh pejabat di eselon tiga,
bahkan konkritnya bergantung pada kecepatan para pekerja di eselon empat. Di
dunia birokrasi yang penuh manipulasi itu, SPPD adalah instrumen paling
berharga dan paling mudah dipertanggungjawabkan dibanding cara lain dalam
urusan tilap-menilap APBD. Barangkali inilah
salah satu masalah besar yang digelisahkan oleh Dirut PLN Dahlan Iskan ketika
membatasi mobilitas penggunaan SPPD yang menguras sedemikian besar biaya di
Perusahaan Listrik Negara yang sering padam mendadak. Bagaimana kalau gebrakan tak populer tersebut
kita terapkan di level pemerintah daerah.
Bukankah hal-hal sepele untuk urusan koordinasi dengan pusat cukup
dilakukan melalui teknologi informasi. Bukankah untuk urusan peningkatan SDM
cukup mendatangkan para ahli sehingga lebih banyak orang yang mendapatkan
informasi dibanding satu dua orang yang kadang hanya menghabiskan waktu untuk
belanja di pojok ibukota? Kecuali perjalanan dinas yang benar-benar beralasan
untuk ditolerir. Cobalah anda hitung
belanja SPPD seorang pejabat eselon tiga, dugaan saya selisihnya sekitar 50
hari, atau eselon tiga dalam setahun sebenarnya digaji untuk bekerja selama 50
hari saja. Bahkan belanja SPPD bawahannya-pun sering raib dibawa pergi
diam-diam. Kita boleh sependapat bahwa sesungguhnya yang lebih banyak berada di
kantor hanya eselon empat dan kelompok non eselon saja. Semakin tinggi eselonnya semakin jarang di
kantor. Di seberang kita sama saja, bahkan seorang anggota DPRD dapat
menghabiskan biaya SPPD sebelum APBD disahkan. Aneh memang, tapi di negeri ini
semua nampak dalam kerapian pertanggungjawaban administrasi. Lebih gila lagi ada anggota DPRD yang membuat
anggaran perjalanan dinasnya melampaui 365 hari. Bisa anda bayangkan, bahwa seorang
anggota dewan yang terhormat tadi pastilah tidak pernah duduk di kantor,
apalagi rapat. Semua masa kerjanya habis
dalam bentuk perjalanan dinas yang tak berkesudahan. Jika orientasi birokrasi di negeri maju adalah
mencapai efisiensi dan efektivitas melalui pengurangan belanja aparatur yang
tak produktif, di negeri kita malah sebaliknya. Saya pikir ada baiknya jika
kita baca kembali kesimpulan Agus Dwiyanto (2011:24), bahwa problem reformasi
birokrasi tidak saja bergantung pada struktur, tetapi juga kultur birokrasi itu
sendiri. Pada tingkat perencanaan kita
gemar membengkakkan anggaran, sedangkan pada tahap implementasi kita suka
menghabiskan anggaran agar dikira pandai mengelola anggaran, supaya tidak
dituduh oleh pemerintah pusat berkelebihan silva. Dapat dipahami mengapa seorang pejabat eselon
tertentu dan seorang anggota DPRD berlomba-lomba pergi kemana saja, bahkan tergesa-gesa
bolak-balik ke Jakarta dengan alasan menghabiskan sisa anggaran yang telah di
plafon sejak awal. Akibatnya, SPPD
digunakan bukan untuk program dan kegiatan yang produktif, tapi untuk
menggugurkan anggaran agar keinginan meraup dan menumpuk keuntungan dari APBD
benar-benar efektif. Saya agak pesimis
untuk sebuah perubahan yang lebih baik dimasa mendatang, sebab para kepala
daerah sebagian besar juga terjebak pada persoalan yang sama, yaitu menumpukkan
SPPD diatas meja, lalu mencairkan kolektif di depan bendahara kas daerah. Tentu saja nilai SPPD seorang aparat jauh
lebih besar dari gaji pokoknya. Jika
gaji seorang kepala daerah plus tunjangan kurang lebih Rp.8,5 juta, maka SPPD bisa
jadi dua kali lipat lebih dari nilai tersebut.
Nafsu untuk menghabiskan SPPD tanpa alasan jelas bukan saja dipraktekkan
pada lingkup sekretariat pemerintah daerah semata. Gejala ini hampir menular kemana-mana. Seorang guru agama bersahaja di Jakarta
mengeluh, sebab kepala sekolah mengintimidasi mereka agar tak protes jika SPPD
dihabiskan tunggal oleh kepala sekolah tersebut. Jangan tanya soal dana BOS, hanya
Bos-lah yang tau kemana dihabiskan. Saya
tanya mengapa anda tidak melapor, ia frustasi sebab para pengawas sekolah sudah
menjadi bagian dari transaksi suap-menyuap.
LSM sebagai benteng terakhir juga dirasakan tak ada gunanya, sebab sang
kepala sekolah suka bersembunyi di toilet kalau di investigasi. Kalau wartawan lebih gampang lagi katanya, sang
kepala sekolah cukup menyiapkan amplop secukupnya, supaya semua berita bisa
disulap menjadi prestasi sekolah. Tak usah bicara di lembaga pemerintah
setingkat kementrian yang cenderung mengalami gejala sama, di sebuah perguruan
tinggi bertitel agama, seorang Rektor bukan mustahil melakukan hal yang
bernilai haram, semua SPPD dikumpulkan menjadi satu lalu dibawa pergi ke
Jakarta supaya di stempel berjamaah sehingga lebih banyak yang dapat dibayarkan
oleh bendahara. Itu baru SPPD, bagaimana
menghitung keuntungan untuk setiap program dan kegiatan yang mengandung beban
APBD, sudah pasti melampaui hitungan kasar di atas. Kalau saja anda menemukan seorang pejabat
eselon tertentu yang memiliki kekayaan melampaui rata-rata gaji dan tunjangan
yang selayaknya ia terima setiap bulan tanpa bukti hasil transaksi jual-beli
tanah warisan nenek moyangnya, saya kira patut dicurigai. Bagi kita yang awam tentu saja mudah menebak
lewat kalkulasi pragmatis saja. Sebagai
contoh, kalau bawahan seorang pejabat bupati dan wakil bupati mengenderai mobil
dinas berkapasitas diatas 2400 cc tentulah melanggar aturan. Kalau anda pejabat
eselon dua yang tak memiliki penghasilan lain kecuali sebagai pejabat semata
tentu wajar mengenderai mobil dinas berkapasitas 2000 cc. Dengan status yang sama, tentulah tidak etis
apabila anda mengenderai mobil sekelas Pajero Sport, Captiva Chevrolet atau
Fortuner di tengah kerumunan masyarakat dan birokrasi yang tampak bersahaja
minus lahan kelapa sawit ratusan hektar. Saya kira para penegak hukum seperti
Polisi dan Jaksa sedang digoda, di uji, sekaligus dipermainkan dengan barang
bukti (novum) yang jelas lalu-lalang di
depan mata. Kasus yang sama pernah dialami
seorang pejabat eselon tiga di suatu daerah, pasca penerimaan pegawai negeri
sipil ia berubah menjadi hedonis
dengan mobil CR-V parkir di depan kantor dengan bangga, akhirnya meringkuk di
penjara berbulan-bulan lamanya. Hari ini
ia kembali menjadi aparat yang hidup wajar, bersahaja, disiplin dan penuh
dedikasi. Mereka yang pernah belajar
menjadi abdi masyarakat paham betul doktrin ketika diangkat menjadi pelayan
masyarakat, bukankah kita ditasbihkan untuk melayani masyarakat, bukan dilayani
hingga ke liang lahat.
Komentar
Posting Komentar