Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance
0leh. Dr.
Muhadam Labolo[1]
Pendahuluan
Reformasi birokrasi merupakan upaya
penataan mendasar yang diharapkan dapat berdampak pada perubahan sistem dan
struktur. Sistem berkaitan dengan hubungan antar unsur
atau elemen yang saling mempengaruhi dan berkaitan membentuk suatu
totalitas. Perubahan pada satu elemen
kiranya dapat mempengaruhi unsur lain dalam sistem itu sendiri. Struktur berhubungan dengan tatanan yang
tersusun secara teratur dan sistematis. Perubahan
struktur mencakup mekanisme dan prosedur, sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, organisasi dan lingkungannya dalam kerangka pencapaian tujuan
efisiensi penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Perubahan tersebut meliputi
keseluruhan aspek yang memungkinkan birokrasi memiliki kemampuan yang memadai
dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya.
Kegagalan birokrasi dalam melayani masyarakat selama ini sekaligus
menggambarkan buruknya penyelenggaraan pemerintahan baik di level pemerintah pusat
maupun daerah.
Urgensi
reformasi birokrasi di Indonesia setidaknya di dorong oleh sejumlah catatan
penting, pertama, meningkatnya
belanja aparatur disebabkan oleh bertambahnya rekrutmen pegawai tanpa
pengendalian yang jelas, disamping membesarnya struktur birokrasi pemerintahan.
Peningkatan belanja aparatur dapat dilihat dari hasil evaluasi FITRA (2011),
dimana 124 pemerintah daerah cenderung memperlihatkan gejala kebangkrutan. Kabupaten Lumajang menjadi contoh nyata
dimana belanja aparatur membengkak hingga mencapai 83% dari total APBD. Ini berarti, lebih kurang 2% pegawai
kemungkinan menikmati belanja aparatur, sisanya sebesar 17% diperebutkan oleh
98% masyarakat dalam bentuk alokasi belanja modal/pembangunan. Bertambahnya
pegawai hasil rekrutmen tanpa kompetensi yang jelas serta kebiasaan
mengembangkan struktur organisasi membuat pemerintah pusat maupun daerah
mengalami defisit anggaran layaknya gali-lubang,
tutup-lubang. Kedua, membengkaknya ongkos demokrasi (pemilukada) mengakibatkan
beban kas pemerintah daerah khususnya mengalami peningkatan signifikan.
Ironisnya, perhelatan tersebut tak jelas melahirkan kepemimpinan pemerintahan
yang handal. Besarnya anggaran pemilukada, serta dampak yang ditimbulkan
terhadap birokrasi mengakibatkan pemerintah kelimpungan dalam menutup defisit
anggaran. Lebih dari itu birokrasi
mengalami dilemma loyalitas akibat terpecahnya konsentrasi pada setiap pesta
pemilukada. Ketiga, tingginya gairah
penggemukan organisasi birokrasi pemerintahan tanpa perencanaan dan analisis
yang jelas memicu pembiayaan dan rekrutmen pegawai dalam jumlah tak sedikit.
Akibatnya, birokrasi di daerah mengalami overload,
atau bahkan kekurangan, khususnya daerah di luar pulau Jawa. Disisi lain
rendahnya pendapatan asli daerah menciptakan ketergantungan pada pemerintah
pusat, sementara belanja pemerintah daerah jauh dari efisiensi, bahkan tak
terkontrol akibat tingginya beban organisasi.
Keempat, meluasnya perilaku
koruptif mendorong birokrasi kehilangan kepercayaan sebagai pelayan masyarakat.
Kelima, lemahnya pengawasan
mengakibatkan pemerintah cenderung bertindak konsumtif, boros, sewenang-wenang
dan tak transparan. Keseluruhan catatan
negatif tersebut di dukung pula oleh perilaku buruk birokrasi dalam pelayanan
masyarakat seperti sikap yang lamban dan reaktif, arogan, nepotisme,
berbelit-belit, boros, bekerja secara naluriah (insting), enggan berubah, serta kurang berorientasi pada
kepentingan masyarakat. Masalahnya, bagaimanakah sebaiknya reformasi birokrasi
dilakukan, apakah tantangan yang dihadapi, serta bagaimanakah desain reformasi
birokrasi yang mesti dilakukan dalam meminimalisasi meluasnya masalah yang
dihadapi? Tulisan singkat ini akan mendeskripsikan tentang makna birokrasi dan good governance, karakteristik
pemerintahan yang baik, masalah dan tantangan yang dihadapi dalam upaya
reformasi birokrasi, serta upaya strategis reformasi birokrasi dan implementasi
tata kelola pemerintahan yang baik. Perubahan tersebut diharapkan tidak saja
bersifat incremental semata, namun
fundamental. Hal itu disadari bahwa upaya
reformasi birokrasi merupakan bagian dari grand
desain penciptaan tata pemerintahan yang baik (good governance). Konsep ini
diharapkan mampu menjembatani suatu kondisi pemerintahan yang buruk (bad government) kearah terbentuknya
pemerintah yang baik (good government). Tentu saja birokrasi pemerintahan sebagai
instrument pelaksana menjadi fokus utama yang mesti diperbaiki melalui
kebijakan reformasi birokrasi. Cakupan
tulisan ini juga akan menyentuh reformasi birokrasi pemerintahan baik pusat
maupun daerah, sekalipun pada akhirnya lebih menampilkan potret masalah
birokrasi di level pemerintah daerah. Bagaimanapun juga, kita semua paham bahwa
reformasi birokrasi di level pemerintah daerah merupakan bagian dari kebijakan
reformasi birokrasi secara nasional.
Birokrasi dan Good Governance
Konsep
birokrasi sendiri lazim merujuk pada gagasan Maximilliam Weber
(1864-1920). Sekalipun demikian, Albrow[2]
banyak mengembangkan konsep birokrasi dari berbagai sudut pandang. Secara
etimologis, birokrasi berasal dari kata bureaucracy
(Inggris), atau burocratie (Jerman), burocrazia (Italia) dan bureaucatie (Perancis),
yang berarti meja atau kantor. Istilah ini dimunculkan kembali
oleh filosof Perancis, Baron de Grimm atas catatan Vincent de Gournay[3].
Cracy (kratos) sendiri menunjukkan arti kekuasaan atau aturan. Dalam
padanan lain seringkali dihubungkan dengan istilah pemerintahan (proses), sebab
pemerintahlah yang paling mungkin memiliki kekuasaan membuat aturan, atau
bahkan proses dan sumber dari semua aturan dalam hubungan antara yang
memerintah dan yang diperintah. Statement ini setidaknya sejalan dengan
pikiran Gornay dan Laski (1930), yang kemudian mendefenisikan birokrasi sebagai
suatu sistem pemerintahan dimana kontrol sepenuhnya berada di tangan para
pejabat yang sampai pada batas tertentu dapat menunda atau mengurangi
kemerdekaan warga negara biasa[4]. Dua contoh lain hasil asimilasi yang sebangun
dengan kata itu misalnya konsep demokrasi dan oligarkhi. Apabila sumber
kekuasaan berasal dari rakyat banyak lazim disebut demokrasi. Demikian pula apabila sumber kekuasaan tersebut
dikendalikan oleh sekelompok rakyat pintar (profesional) dikenal dengan istilah
oligarkhi. Bahkan, lewat kalimat provokatif Michel (1962)[5]
menyatakan bahwa siapa yang bicara tentang organisasi, pastilah bicara tentang
oligarkhi. Pada tingkat pragmatis, pelayanan urusan yang lebih rinci pastilah
berhubungan dengan apa yang lazim kita sebut dengan birokrasi.
Makna bureau (baca:biro) identik dengan
kenyataan dalam birokrasi, dimana struktur di bentuk lebih banyak menyelesaikan
pekerjaan di atas meja. Pejabatnya biasa duduk di belakang meja. Semua masalah relatif diselesaikan di atas
meja. Logikanya, jika urusan diselesaikan di bawah meja mungkin saja bertentangan dengan makna etimologisnya. Ini
bisa dimaklumi, sebab secara historis, birokrasi traditional di Perancis (abad
18) menampilkan wajah demikian, boros, eksploitatif, represif, oportunis,
kolutif, koruptif dan nepotism. Sinisme atas gejala tersebut melahirkan istilah
bureaumania. Secara fungsional, realitas
pelayanan justru menjadi lebih efisien dan efektif jika tanpa melalui meja
birokrasi yang terkadang berbelit-belit dan menguras energi. Mungkin inilah yang di sebut Rahardjo (2010)[6]
sebagai pendekatan hukum progresif dalam pelayanan birokrasi menurut perspektif
hukum. Secara faktual, kita banyak menemukan istilah biro pada struktur
organisasi. Di Indonesia, di level organisasi provinsi dan pusat misalnya,
terdapat jabatan biro yang dipimpin oleh seorang kepala biro setingkat eselon
dua. Sebagai contoh, biro hukum, biro organisasi, biro pemerintahan, biro umum
dan sebagainya. Ia membawahi sejumlah bagian dan subbagian pada level paling
rendah. Bahkan, untuk membedakan secara teknis, seorang pejabat memiliki meja
dengan ukuran biro atau setengah biro. Sejauh ini, tak ada istilah lain untuk ukuran
meja selain biro, misalnya meja ukuran bagian
atau setengah bagian.
Pengertian
kedua (kantor), merujuk pada hampir semua bentuk organisasi baik sipil maupun
militer. Kita sering menyebut kantor
pada hampir semua organisasi yang secara fisual terlihat melalui bangunan
megah, lengkap dengan sistem dan peralatannya. Demikian pula kantor pada
organisasi swasta. Dalam konteks Indonesia, struktur organisasi pemerintah
daerah misalnya menggunakan istilah kantor untuk membedakan unit tersebut
dengan dinas dan badan. Kantor menjadi unit paling kecil ukurannya sebelum
menanjak menjadi Badan atau Dinas. Di level provinsi, kantor menjadi instrument
pemerintah pusat di daerah, seperti kantor wilayah (kanwil) dan kantor departemen
(kandep). Pada pemerintahan yang
bersifat sentralistik, instrument pemerintah pusat dapat menjangkau hingga ke
level pemerintahan paling rendah (dekonsentratif).
Sebaliknya, pemerintahan yang bernuansa demokratik biasanya meletakkan kontrol
pada level pemerintahan tertentu yang untuk selanjutnya melakukan pengawasan
secara berjenjang (desentralistik).
Dalam
perspektif Weber, birokrasi adalah organisasi rasional dengan segenap
karakteristik yang melekat didalamnya. Karakteristik dimaksud antara lain adanya
suatu jabatan, tugas, wewenang, hierarkhi, sistem, formalitas, disiplin,
profesional, kecakapan dan senioritas. Karakteristik tersebut membentuk
birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan kolektif. Birokrasi, dalam makna
konkrit adalah organisasi yang memiliki rantai komando berbentuk piramidal,
dimana lebih banyak orang berada di tingkat bawah daripada tingkat atas, baik
pada instansi militer maupun sipil. Semakin ke puncak semakin langka pemegang
kekuasaan, sebab ia mengokohkan kepemimpinan dengan wewenang yang lebih luas.
Sebaliknya, semakin ke bawah semakin banyak pegawai, tetapi ia semakin
menunjukkan wewenang yang lebih terbatas. Kekuasaan tersebut pada akhirnya
habis terbagi dalam bentuk spesialisasi dan struktur yang lebih kecil.
Demikianlah kekuasaan mengalir menurut hukum alam (natural of law). Ia dimulai dari suatu kekuasaan yang maha besar,
lalu mengalir kedalam struktur yang dibagi secara khusus. Dalam pendekatan ilmu alam, kekuasaan
tersebut mengalir sebagaimana siklus air hujan.
Dimulai dari gumpalan awan yang di pandang sebagai pemberian Tuhan (teosentris). Dari aspek ilmu pengetahuan (antroposentris), air hujan merupakan
hasil serapan dari laut berupa uap akibat tekanan panas matahari yang dibawa
angin membentuk gumpalan awan hitam. Tidak semua menguap, sebagian besar
tersisa menjadi lautan luas. Pada suatu ketika, gumpalan awan hitam tersebut
pecah menjadi butiran hujan yang jatuh dan mengumpul di suatu tempat, apakah
terserap oleh akar pohon atau terkumpul
pada wadah perbukitan yang mengalir melalui sungai-sungai besar dan kecil
menuju laut. Siklus air hujan secara sederhana dapat kita persamakan dengan
siklus kekuasaan. Kekuasaan lahir dari
rakyat kebanyakan (demokrasi),
sekalipun dalam teori kedaulatan dapat bersumber dari Tuhan (teokrasi) dan atau sedikit orang (aristokrasi). Tekanan konflik dan sejumlah motivasi
tertentu mendorong terbentuknya representasi pemegang kekuasaan. Para pemegang kekuasaan (pemerintah) baik
diyakini merupakan representasi dari kedaulatan Tuhan (teokrasi) atau hasil pilihan masyarakat (demokrasi) secara konkrit membentuk organisasi pemerintahan yang
untuk selanjutnya mengalirkannya dalam bentuk struktur-struktur formal
birokrasi dari tingkat pusat hingga level pemerintahan paling rendah. Birokrasi pada akhirnya dapat dipandang
sebagai cerminan dari pelembagaan kekuasaan yang mengalir deras dari tingkat
atas hingga bawah. Dari aspek ini
birokrasi secara praktis merupakan instrument/alat dari kekuasaan untuk mencapai
tujuan pemimpin maupun tujuan bersama yang diemban oleh pemimpin dimaksud. Pada
contoh yang lebih nyata, seorang presiden hasil pilihan rakyat memiliki
kekuasaan luas. Kekuasaan tersebut dialirkan
secara hirarkhis melalui Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Lurah
hingga Kepala Desa. Pada level gubernur, kekuasaan dibagi berdasarkan jumlah
wewenang yang diterima, lalu dilembagakan dalam struktur formal seperti biro
pemerintahan, bagian pemerintahan dan seterusnya. Demikian pula aliran
kekuasaan pada level kabupaten/walikota hingga pemerintah desa. Kekuasaan dalam
konteks ini mengalami formalisasi yang dirinci dan dipertanggungjawabkan secara
jelas. Inilah yang disebut dengan
wewenang (authority). Dalam kaitan itu, birokrasi hadir dan merujuk
pada bagaimana cara pemerintah melaksanakan dan membuat peraturan-peraturan
yang sah secara sosial. Keabsahan
tersebut diharapkan mampu merefleksikan suatu pemerintahan yang baik dengan
berbagai ciri yang terkandung didalamnya.
Seperti digambarkan
oleh Mark Robinson (2000:417), fenomena pemerintahan dewasa ini telah meluas
tidak saja pada dunia pemerintah semata, tetapi juga pada ruang non pemerintah
seperti perusahaan. Upaya-upaya dalam
rangka penerapan kekuasaan melalui serangkaian mekanisme untuk menjamin
akuntabilitas, legitimasi dan tranparansi pada berbagai sektor diluar
pemerintah menunjukkan gejala pemerintahan yang semakin menguat. Setidaknya hal ini terlihat dalam pembentukan
serangkaian aturan atau struktur otoritas dalam komunitas tertentu yang
memainkan peran atau fungsi pengelolaan sumber daya termasuk dalam menjaga
tatanan sosial. Meluasnya upaya untuk
menata pemerintahan kearah yang lebih baik mendorong donor international untuk
mengembangkan konsep good governance
(pemerintahan yang baik).
Pengembangan konsep ini didorong oleh gejala meningkatnya
hambatan-hambatan administrasi dan politik dalam pembangunan dunia ketiga. Gejala tersebut antara lain meningkatnya
korupsi, kolusi, nepotisme, individualisme serta hilangnya legitimasi politik
khususnya pada negara-negara yang kurang mampu dan tanpa sistem demokrasi yang
memadai. Berlawanan dari konsep ideal
yang ingin dikembangkan, bad government (pemerintah yang buruk) menjadi
alasan bagi lembaga international untuk mengembangkan pola yang lebih mungkin
dalam kaitan dengan manajemen ekonomi dan politik global.
Dalam perspektif
negara-negara maju, dua alasan utama yang mendorong lahirnya gagasan penciptaan
pemerintahan yang baik adalah pertama, gagalnya pemerintah menjalankan
fungsinya yang ditandai oleh tidak bekerjanya hukum dan tata aturan sehingga
menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah tentang bagaimana seharusnya
pemerintah berinteraksi dengan masyarakatnya.
Ini tentu saja berkaitan dengan tanggungjawab pemerintah pada masyarakatnya,
demikian pula kewajiban dan hak yang saling mengikat antara mereka yang
memerintah dan mereka yang diperintah. Kedua,
tekanan dari kelompok neo-liberal yang mendukung dikuranginya peran negara dan
pengimbangan kekuasaan kepada penyediaan layanan oleh pembeli dan
pengatur. Atau dengan kata lain,
pemangkasan peran pemerintah sejauh mungkin dengan cara penyerahan kepentingan
antara penjual dan pembeli pada mekanisme pasar.
Sekalipun
upaya-upaya untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik dilakukan misalnya
melalui desentralisasi kekuasaan, reformasi pemerintahan, reorientasi birokrasi
serta perluasan partisipasi publik untuk mengembalikan akuntabilitas,
legitimasi dan transparansi, namun tidak berarti sepi dari dampak pengelolaan
pemerintahan. Di negara-negara
berkembang, kebijakan demikian semakin memperkokoh tumbuhnya demokrasi liberal
yang pada akhirnya mendorong kembalinya pemerintah (eksekutif) meningkatkan
kontrol yang lebih represif.
Bagaimanapun kita masih percaya bahwa menciptakan pemerintahan yang kuat
mutlak dibutuhkan bagi stabilitas politik yang dapat menjamin keberhasilan
pembangunan.
Karakteristik
Good Governance
Menurut UNDP
(1997), pemerintahan yang baik setidaknya memiliki karakteristik akuntabilitas, transparansi, partisipasi,
tertib hukum, responsif, konsensus, adil, efisiensi dan efektivitas, serta
memiliki visi strategis. Komponen yang terlibat tidak saja domain pemerintah
sebagai pelaksana, tetapi juga meliputi kelompok swasta sebagai pemegang modal
dan masyarakat selaku civil society. Ketiga
komponen tersebut sepatutnya berjalan secara paralel, saling mendukung dan
saling berinteraksi. Interaksi tersebut
hendaknya dilandasi oleh sejumlah karakteristik yang memungkinkan tata kelola
pemerintahan berjalan baik. Dalam konteks ini, good governance lebih menitikberatkan pada aspek proses melalui
pendekatan fungsional guna mencapai tujuan yang diinginkan. Uraian selanjutnya
akan mengembangkan makna dari sejumlah karakteristik yang melekat dalam konsep good governance.
Akuntabilitas,
merujuk pada tanggungjawab setiap aktor dalam interaksi berpemerintahan.
Meletakkan tanggungjawab satu-satunya pada sektor pemerintah bukanlah gagasan
terbaik untuk menciptakan pemerintahan yang baik. Tanggungjawab merupakan nilai penting yang
semestinya berlaku pada semua elemen dalam proses pemerintahan. Sebagai pemerintah, tanggungjawab diperlukan
sebagai konsekuensi terhadap semua jenis kontrak dari level paling bawah hingga
pusat pemerintahan. Tanggungjawab merupakan nilai yang mampu menjembatani relasi
antara pemerintah dan masyarakat untuk menjamin keberlangsungan
pemerintahan. Tanggungjawab pemerintah
pada segenap stakeholders selaku
pemetik manfaat setidaknya memicu tumbuhnya trust
sebagai modal bagi kontinuitas pemerintahan. Tanggungjawab pada elemen
masyarakat dibutuhkan agar masyarakat sadar akan apapun output pelayanan yang diberikan merupakan upaya paling maksimal
yang dapat di produk pemerintah. Pada
akhirnya, tanggungjawab masyarakat tidak saja memanfaatkan seefektif mungkin
apa yang diberikan oleh pemerintah, juga memelihara semua produk pelayanan yang
diberikan, termasuk bertanggungjawab terhadap kegagalan pemerintah yang dipilih
oleh mereka sendiri. Demikian pula pada
elemen lain, para pemegang modal (swasta) seyogyanya memegang prinsip
tanggungjawab dalam interaksi dengan masyarakat dan pemerintah. Setiap tindakan yang secara praktis berkaitan
serta membebani masyarakat dan pemerintah, seharusnya dapat dipertanggungjawabkan
secara murni dan konsekuen. Kasus Lumpur Lapindo di Indonesia (2005)
mereflesikan tanggungjawab keseluruhan elemen, bukan saja pemerintah, swasta
dan masyarakat. Sulit membayangkan jika pihak swasta lari dari tanggungjawab
tersebut, sebab ketiga elemen tadi memiliki batasan terhadap tanggungjawab
masing-masing. Transparansi, merupakan
karakteristik yang memungkinkannya terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap
apa yang diartikulasikan pemerintah dalam hal kepentingan dan kebutuhan
masyarakat. Rendahnya transparansi
pemerintah berkenaan dengan perencanaan dan implementasi kebijakan menunjukkan
lemahnya itikad baik dalam mewujudkan tujuan dan harapan masyarakat. Salah satu sorotan utama dewasa ini adalah
seberapa efektif pemerintah mampu memperjuangkan kepentingan masyarakat melalui
anggaran yang tersedia. Perencanaan yang
transparan meyakinkan masyarakat tentang sejauhmana kepentingan mereka mampu
didokumentasikan secara jujur oleh pemerintah.
Pada tingkat yang lebih jauh, seberapa kuat komitmen pemerintah dalam
merealisasikan semua perencanaan yang telah disepakati. Ketiadaan nilai transparansi seringkali
ditunjukkan oleh mandeknya semua dokumen perencanaan tanpa realisasi, atau
mengalami perubahan dipersimpangan jalan sesuai kepentingan pribadi maupun
kelompok tertentu. Akibatnya, semua
perencanaan pemerintah kehilangan koneksitas dengan kepentingan masyarakat.
Selain itu, indikasi meluasnya perilaku koruptif dalam pemerintahan semakin
meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah kehilangan karakteristik transparansi
dalam menjalankan fungsi pelayanan. Penyakit demikian bukan saja melanda
pemerintah, demikian pula sektor swasta dan masyarakat pada tingkat tertentu.
Hal ini dapat dilihat dalam kasus projek Pembangunan Wisma Atlit di Kemenpora. Partisipasi, menunjukkan keterlibatan
masyarakat dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan. Partisipasi aktif masyarakat lebih jauh
menggambarkan sejauhmana kepentingan mereka telah terakomodir dengan baik,
selain melibatkan mereka dalam hal tanggungjawab yang lebih luas. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
pemerintahan disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya
partisipasi dalam pembangunan. Faktor
pendidikan menjadi kunci penting dalam mendorong kesadaran masyarakat. Masalah berikut
justru terletak pada rendahnya
keterbukaan pemerintah dalam melibatkan partisipasi masyarakat. Kondisi ini tentu saja berhubungan dengan
nilai transparansi, sehingga pemerintah terkesan sulit melibatkan partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah yang buruk seringkali mengidap perasaan curiga yang
berlebihan ketika masyarakat terlibat dalam setiap proses perencanaan
pembangunan. Disini terlihat jelas bahwa
jika partisipasi masyarakat rendah, kemungkinan kesadaran mereka rendah pula
disebabkan rendahnya tingkat pendidikan yang diperoleh sehingga bersikap
apatis. Sebaliknya, jika pemerintah enggan melibatkan partisipasi masyarakat,
kemungkinan kesadaran pemerintah juga rendah sehingga mendorong kecurigaan
terhadap setiap keterlibatan masyarakat. Tertib
hukum merupakan karakteristik yang memungkinkan terciptanya masyarakat taat
hukum. Ketaatan hukum memberikan
landasan bagi pemerintah dalam menjalankan visi dan misi yang diemban, sekaligus
memperlihatkan tingkat aksebilitas masyarakat terhadap pemerintah. Semakin rendahnya kepatuhan hukum masyarakat
menunjukkan semakin rendah pula tingkat penerimaan masyarakat terhadap
pemerintahnya. Tertib hukum dimaksudkan
untuk menciptakan social order, yaitu
suatu kondisi tertib bermasyarakat, sadar akan aturan yang diperuntukkan bagi
kepentingan masyarakat itu sendiri.
Dalam hubungan itu, dibutuhkan kesadaran pemimpin untuk memberikan
contoh sehingga mampu mendorong terwujudnya tertib hukum. Kehadiran pemerintah dalam setiap pelayanan
masyarakat mengindikasikan hadirnya perlindungan bagi masyarakat, sekaligus
menunjukkan adanya hukum itu sendiri.
Itulah mengapa seringkali gejala pemerintahan dipandang sebagai gejala
hukum. Responsif, adalah karakteristik pemerintah yang mampu memberikan
tanggapan sedini mungkin, terhadap setiap masalah yang dihadapi
masyarakat. Kemampuan memberikan jawaban
atas setiap masalah yang dihadapi masyarakat menunjukkan kemampuan pemerintah
dalam memahami apa yang menjadi kebutuhan utama masyarakat. Kegagalan merespon
setiap masalah yang dihadapi masyarakat menunjukkan ketidakpedualian pemerintah
serta hilangnya sense of belonging
atas problem yang dialami oleh masyarakat.
Dalam perspektif masyarakat, jangankan kehadiran, statement pemerintah sekalipun dapat dinilai sebagai respon positif
terhadap masalah yang sedang mereka hadapi. Konsensus,
adalah karakteristik yang menggambarkan kemampuan pemerintah dalam membangun
kesepakatan antara tuntutan secara bottom-up
dan top-down. Konsensus juga merujuk pada bagaimana
pemerintah membangun kesepahaman yang memungkinkan semua kepentingan dapat
diakomodir pada saluran yang tersedia. Konsensus
merupakan landasan bagi pencapaian komitmen bersama. Komitmen bersama berkaitan dengan kepentingan
stakeholder dalam mewujudkan tujuan
yang diamanahkan pada pemerintah. Kegagalan membangun konsensus dapat
meruntuhkan kepercayaan masyarakat dimana pemerintah dapat dinilai mengkhianati
amanah yang diberikan. Kemampuan pemerintah memelihara konsensus yang telah
dibangun dapat diartikan sebagai kemampuan pemerintah dalam memelihara amanah.
Adil
merupakan karakteristik yang dapat mendorong akseptabilitas masyarakat pada
pemerintahnya. Keadilan merupakan salah
satu tujuan ingin dicapai oleh setiap pemerintah. Keadilan lazimnya melekat pada para pelaku
pemerintahnya, khususnya pemimpin.
Keadilan bertujuan untuk menciptakan pemerataan, sekaligus memberikan
hak dan kewajiban secara proporsional.
Efisiensi
dan efektivitas merupakan karakteristik good governance yang merefleksikan
kemampuan pemerintah dalam pencapaian tujuan secara tepat guna dan hasil
guna. Pencapaian tujuan dengan
mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas dapat mendorong produktivitas
pemerintahan menjadi lebih berkualitas tanpa membuang modal yang besar. Kegagalan pemerintah dalam mempertimbangkan
efisiensi dan efektivitas membuat pemerintah kehilangan modal serta tak mampu
berbuat banyak, kecuali membiayai pegawai dilingkungannya masing-masing. Kondisi tersebut membuat pemerintah mengalami
beban anggaran yang cukup besar selain tak mampu membuat kebijakan strategis.
Karakteristik visi strategis berkaitan dengan
kemampuan pemerintah dalam mewujudkan cita-cita ideal namun realistis
berdasarkan kebutuhan masyarakat. Tanpa
visi yang jelas pemerintah sebenarnya hanya menjalankan fungsi secara instingtif, tanpa penalaran jauh kedepan.
Visi diharapkan menjadi petunjuk yang dapat dikonkritkan dalam bentuk misi,
program hingga kegiatan teknis. Visi
menggambarkan masa depan pemerintahan dan memuat cita-cita ideal masyarakat
yang dapat diwujudkan oleh pemimpinnya sejauh ia mampu dan konsisten. Visi strategis membutuhkan kesinambungan
dalam mengawal agenda-agenda yang telah ditetapkan. Pemerintahan yang bertolak dari visi adalah
pemerintahan yang memiliki pandangan jauh kedepan, serta memiliki cita-cita
yang bersifat jangka panjang serta berkelanjutan. Inilah sejumlah karakteristik pemerintahan yang
baik (good governance) menurut UNDP.
Secara umum, karakteristik tersebut menjadi variabel penting tidak saja
bagi pemerintah, demikian pula pihak swasta dan masyarakat luas. Penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik
bukanlah semata-mata menjadi bagian dari kebijakan pemerintah, namun
bersentuhan pula dengan nilai dan sikap yang dianut oleh pihak swasta dan
masyarakat. Menurut Gerry Stoker (1998),
proposisi governance meliputi lima hal yaitu; pertama, merujuk pada seperangkat institusi
dan aktor yang terdapat pada dan di luar pemerintah. Kedua, mengidentifikasi kekaburan batas dan tanggungjawab untuk
menangani isu-isu sosial ekonomi. Ketiga,
mengidentifikasi ketergantungan kekuasaan yang terdapat dalam hubungan antara
institusi yang melakukan tindakan kolektif. Keempat,
adalah tentang jaringan aktor yang bersifat mandiri dan mengatur sendiri. Kelima,
mengakui kapasitas guna menyelesaikan sesuatu yang tidak bersandar pada
kekuasaan pemerintah untuk memberikan komando atau menggunakan otoritasnya. Governance memandang pemerintah
mempunyai kemampuan untuk menggunakan alat dan teknik baru dalam mengarahkan
dan menuntun. Disamping itu, Hayden (dalam Hamdi, 2002:14), menyebutkan empat
variabel dalam konsep governance,
yaitu; authority yang berarti eksistensi
kekuasaan yang legitimate, reciprocity,
yaitu pengembangan pandangan penggunaan kekuasaan tidak selalu merupakan zero-sum game, tetapi juga dapat menjadi
positive sum game. Trust, yang diartikan hidup bersama dan
terikat, secara kompetitif atau koperatif dalam mengejar tujuan bersama. Accountabilitypada dasarnya memperkuat
kepercayaan masyarakat dan sebaliknya.
Tantangan
Reformasi Birokrasi dan Good Governance
Menurut
Muhammad (2007), tantangan reformasi birokrasi meliputi tiga masalah pokok,
yaitu pertama, faktor internal yang meliputi ketidakmampuan birokrasi mengubah
dirinya menjadi lebih baik. Kedua,
faktor eksternal berkenaan dengan tingginya intervensi politik yang membuat
birokrasi kehilangan konsentrasi dalam menjalankan fungsi pelayanan. Ketiga,
faktor keraguan publik terhadap efektivitas kebijakan yang direncanakan dan
diimplementasikan oleh birokrasi. Faktor
pertama disebabkan oleh kelemahan birokrasi dalam memperbaharui kinerjanya
sesuai perkembangan lingkungan.
Tingginya dinamika masyarakat dalam menuntut pelayanan yang lebih baik
tak serta merta diimbangi oleh kemampuan birokrasi dalam mengembangkan
kecerdasan, kecakapan dan keterampilan dalam pengelolaan pemerintahan.
Pola-pola pendekatan dan pelayanan kepada masyarakat secara nyata menunjukkan
indikasi perilaku traditional. Pelayanan
birokrasi disandarkan pada hubungan kekeluargaan yang bersifat emosional, jauh
dari karakter ideal birokrasi, yaitu suatu hubungan yang bersifat impersonal. Harus diakui bahwa perbedaan kultur di dunia barat
dan timur merupakan kenyataan yang harus diakui dalam pemberian pelayanan pada
masyarakat. Menyandarkan pelayanan
dengan meletakkan prinsip impersonalitas secara kaku sebagaimana dimaksud Weber
tidaklah menciptakan rasa keadilan yang memadai. Setiap masyarakat yang dilayani terdiri dari
masyarakat yang mampu dan tak mampu secara fisik dan non fisik. Mereka yang secara fisik tak mampu, tentu saja
membutuhkan pendekatan untuk dilayani secara jemput-bola. Sedangkan mereka yang tak mampu secara non fisik,
seperti masalah finansial, harus diberikan insentif yang seimbang agar
pelayanan tetap diberikan secara merata. Sebaliknya, menyandarkan pelayanan
dengan meletakkan hubungan personalitas secara keseluruhan sama halnya dengan
menciptakan diskriminasi bagi kelompok masyarakat yang tak memiliki akses
secara langsung pada pemerintah, sebab hanya mereka yang dikenal secara
personal saja yang akan dilayani. Ketidakmampuan
birokrasi memahami pluralitas dalam masyarakat seringkali menimbulkan
ketidakadilan dalam pelayanan. Dalam
konteks ini diperlukan birokrasi yang mampu beradaptasi dengan perkembangan
masyarakat, serta mampu menjawab setiap persoalan tidak saja secara struktural,
namun fungsional. Pendekatan struktural
dalam pelayanan seringkali berhadapan dengan aturan dan norma yang berlaku,
sehingga sulit menyelesaikan masalah secara tuntas. Pola penyelesaian masalah dengan menyandarkan
semua pada aspek regulasi tak selalu membawa hasil maksimal. Masyarakat seringkali merasa frustasi karena
pelayanan mereka mengalami kebuntuan hanya karena ketidakmampuan birokrasi saat
menerjemahkan aturan yang berlaku. Sebaliknya, kelompok birokrat terkesan
seperti robot yang kehilangan rasa kemanusiaan ketika semua perkara
diselesaikan berdasarkan aturan yang berlaku.
Persoalaannya, bagaimana jika tuntutan masyarakat melampaui aturan itu
sendiri yang kadangkala datang terlambat, atau bahkan terjadi kekosongan
regulasi. Apakah dengan alasan yang sama pemerintah mesti menolak pelayanan
kepada masyarakat? Oleh sebab itu,
diperlukan pendekatan fungsional yang dapat menyelesaikan hingga ke akar
masalah. Dalam konteks ini birokrasi
seringkali menyimpan dan merawat masalah untuk kepentingan tertentu, tidak
berupaya menyelesaikan masalah secara tuntas.
Pendekatan fungsional dalam pelayanan merupakan pola pendekatan untuk
mengimbangi pendekatan struktural yang terkadang menghambat, berbelit-belit,
membutuhkan waktu lama serta mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Perlu diingat bahwa melandaskan semua
pelayanan secara fungsional juga tidak tepat, sebab semua pelayanan pada
dasarnya membutuhkan pelembagaan formal sehingga dapat diawasi dan dikendalikan. Dewasa ini, pola pendekatan fungsional
mengalami banyak kemajuan, khususnya di level pemerintah pusat. Lahirnya badan, lembaga dan komisi yang
bersifat mezzo-struktur disamping
lembaga formal yang telah ada,
merupakan cerminan dari pola penyelesaian masalah dengan menggabungkan
pendekatan struktural dan fungsional.
Sekalipun demikian bukan berarti tanpa catatan, lembaga-lembaga tersebut
tidak saja membebani anggaran birokrasi pemerintah secara umum, namun
menimbulkan overlap serta kurang
produktif.
Faktor
kedua yang menjadi tantangan reformasi birokrasi adalah tingginya intervensi
politik dalam birokrasi. Politisasi
birokrasi mendapatkan ruang ketika kelompok elit partai politik memanfaatkan
momentum pemilukada untuk menggerakkan birokrasi sebagai mesin politik
sekaligus aktivis politik. Akibatnya,
seperti yang dikatakan oleh Dwiyanto (2011), birokrasi mengalami pemecahan
konsentrasi, sekaligus pada saat yang sama gagal melayani masyarakat sesuai
misi yang dipikulnya. Pecahnya
konsentrasi birokrasi disebabkan sirkulasi kepala daerah setiap lima tahun
sekali. Mereka yang dominan bersandar pada calon incumbent seringkali mengalami disorientasi
saat kalah dalam kompetisi pemilukada.
Politisasi birokrasi menciptakan hubungan antara eksekutif dan
legislatif mengalami dinamisasi serius kalau tidak ketegangan yang
berkesinambungan. Akibatnya, birokrasi
yang mengambil jalan kompromi pada akhirnya turut mempersubur tingkat kebocoran
anggaran baik di pusat maupun daerah, karena melakukan persengkokolan kolektif. Indikasi tersebut bisa diketahui lewat
ramainya kebocoran anggaran APBN oleh Badan Anggaran, serta bobolnya APBD pada
saat perencanaan dan penetapannya.
Birokrasi yang mengambil jarak secara tegas dengan kelompok politisi
justru mengalami ketegangan karena rentan kehilangan jabatan. Sisanya kelompok birokrat yang mengambil
sikap apatis terhadap dinamika yang terjadi dalam setiap rotasi pemerintahan. Intervensi
politik terhadap birokrasi telah merangsang nafsu aparat untuk membangun
komitmen rahasia dengan para elit dalam masa sirkulasi kekuasaan. Komitmen tersebut berupa transaksi politik
yang berujung pada persoalan siapa dapat apa, berapa banyak dan kapan. Dalam konteks ini terbangun koalisi efektif
antara eksekutif dan legislatif dalam pembobolan anggaran. Kekuasaan yang besar membuat birokrasi
terombang-ambing serta sulit menentukan netralitasnya sebagai pelayan
masyarakat. Semua itu di dukung oleh
kemampuan kepala daerah dalam memobilisasi sumber daya melalui sebagian anggota tim sukses yang
berasal dari jajaran birokrasi. Mobilisasi sumber daya dilakukan bahkan secara
terang-benderang melalui rekrutmen pegawai berdasarkan hubungan primordial dan patronase, bukan merit sistem apalagi kompetensi. Keadaan ini jelas
mengembangkan perilaku koruptif dalam birokrasi sebagai konsekuensi dari
hubungan yang bersifat transaksional. Akibatnya,
birokrasi terkesan bukan milik masyarakat namun elit berkuasa, yang dapat
dilihat dari sikap dan orientasinya yang cenderung melihat keatas, daripada
melihat kebawah.
Faktor
ketiga tantangan reformasi birokrasi adalah keraguan masyarakat terhadap setiap
kebijakan yang dilaksanakan oleh birokrasi.
Rendahnya pendidikan serta kurangnya analisis terhadap setiap kebijakan
yang diproduk, menjadikan birokrasi tak mampu membuat kebijakan yang efektif dalam
menyelesaikan masalah. Tingginya resistensi yang ditandai oleh meningkatnya
demonstrasi masyarakat dan pihak swasta yang merasa dirugikan oleh setiap
kebijakan yang ditetapkan menunjukkan dua alasan diatas. Keraguan masyarakat dan pihak swasta terhadap
efektivitas kebijakan birokrasi disebabkan selain oleh dua faktor diatas, juga
masalah kredibilitas birokrasi. Rendahnya kredibilitas birokrasi dalam
mendesain suatu kebijakan dapat diketahui dari rendahnya keterlibatan pakar
dalam bentuk asistensi, ketiadaan naskah akademik terhadap rancangan peraturan
(khususnya peraturan daerah), serta rendahnya konsultasi publik terhadap
rancangan peraturan yang dibuat.
Keseluruhan indikasi tersebut bermuara pada rendahnya kualitas rancangan
kebijakan sehingga menimbulkan resistensi dari para pemangku kepentingan (stakeholders). Kelemahan rancangan
kebijakan pada tahap perencanaan hingga tahap implementasi tak serta merta
membuat birokrasi melakukan evaluasi yang berkelanjutan, namun berusaha menutupi
kelemahan kebijakan tersebut. Sikap
ekslusivisme dan seakan tau semua masalah mendorong birokrasi pada perilaku
arogan ketika merespon setiap tuntutan masyarakat. Disamping itu, keraguan masyarakat terhadap
efektivitas kebijakan birokrasi tumbuh disebabkan oleh melimpahnya program yang
dijanjikan namun kehilangan fokus saat implementasi. Akibatnya, lebih banyak program yang bersifat
list service, daripada realitas yang
diharapkan. Masyarakat terkadang merasa
muak terhadap kelambanan dan kerakusan birokrasi sebagaimana disinyalir oleh Barzelay (1982) dalam ‘Breaking Through
Bureaucracy’. Pada akhirnya, keraguan
masyarakat terhadap reformasi birokrasi secara umum tumbuh disebabkan oleh rendahnya
kepercayaan pada sistem dan sumber daya manusianya. Buruknya sistem dalam
pelayanan birokrasi membuat masyarakat tak merasa jelas dalam penyelesaian
masalahnya. Demikian pula buruknya
perilaku birokrasi dalam hal pelayanan membuat masyarakat tak percaya apa yang selama
ini dikerjakan oleh pemerintah. Gambaran ini setidaknya disinggung oleh Osborne
& Gaebler (1992) dalam ‘Reinventing Government, bahwa masalah
pemerintah terkadang bukan pada apa yang mereka kerjakan, namun bagaimana
pelayanan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.
Reformasi
Birokrasi dan Implementasi Good
Governance
Seperti
telah disinggung dalam pendahuluan, reformasi birokrasi merupakan upaya
penataan kapasitas kelembagaan yang menyangkut sistem dan struktur birokrasi dalam
menjalankan fungsi pokok sebagai pelayan masyarakat. Jika secara politis birokrasi merupakan
instrument kekuasaan dalam mewujudkan visi dan misi penguasa sesuai amanah
rakyat yang dituangkan dalam bentuk kebijakan politik formal, maka reformasi
birokrasi semestinya diarahkan pada upaya penciptaan situasi yang kondusif agar
birokrasi netral dari pengaruh kekuasaan yang berlebihan. Apabila secara
sosiologis birokrasi dipandang sebagai organisasi paling rasional yang memiliki
sejumlah karakteristik sebagai pelaksana interaksi antara pemerintah disatu
sisi dan masyarakat disisi lain, maka reformasi birokrasi selayaknya diarahkan
pada penguatan karakteristik dimaksud, sekalipun mesti dengan sejumlah catatan
pengecualian pada tahap implementasi. Jika secara administratif birokrasi
dipandang sebagai media yang memudahkan pelayanan, menitikberatkan aspek
efisiensi dan efektivitas serta memiliki mekanisme dan standarisasi yang jelas
dalam interaksinya, maka reformasi birokrasi seharusnya diarahkan pada sejumlah
alternatif pilihan kebijakan seperti reformasi struktural, kapasitasi dan
instrumentasi. Kini, marilah kita cermati bagaimanakah desain kebijakan
reformasi birokrasi sebaiknya dilakukan dalam mewujudkan fungsi birokrasi
sekaligus mendorong penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Pertama,
reformasi organisasi (struktural). Organisasi dapat diartikan dalam dua
macam, pertama dalam arti statis, yaitu organisasi sebagai wadah tempat
dimana kegiatan kerjasama dijalankan. Kedua dalam arti dinamis, yaitu organisasi
sebagai suatu sistem proses interaksi antara orang-orang yang bekerjasama, baik
formal maupun informal. Uraian selanjutnya akan lebih menitikberatkan pada
pengertian kedua, yaitu organisasi dalam arti dinamis. Hal ini sebabkan oleh faktor eksternal dan
internal. Secara internal organisasi di
dorong oleh tingginya tekanan kekuasaan, sedangkan secara eksternal di dorong
oleh perubahan lingkungan yang lebih luas. Kedua faktor tersebut cukup dominan
menjadikan organisasi pemerintah tampak dinamis. Desain reformasi struktural dapat
dilakukan dengan meletakkan landasan kuat bahwa organisasi adalah alat untuk mencapai tujuan, bukan
tujuan itu sendiri. Perbedaan pemahaman
dalam manajemen pemerintahan seringkali menjadikan birokrasi tak efektif
menjalankan tugas dan fungsinya. Boleh jadi dalam perspektif seorang kepala
daerah birokrasi adalah alat untuk mewujudkan gagasan ideal dalam bentuk visi
dan misi selama lima tahun, namun dalam perspektif
aparatur birokrasi adalah tujuan akhir berkenaan dengan bagaimana jabatan paling
tinggi sebagai refleksi kekuasaan dapat dicapai. Masalah kemudian bertambah ketika sebagian
besar kepala daerah justru berpikir sama dengan aparatnya, yaitu bagaimana
menjadikan birokrasi sebagai alat untuk memperoleh akses bagi keseluruhan
sumber daya yang tersedia. Reformasi oganisasi tidaklah sekedar slogan kaya
fungsi miskin struktur, namun lebih dari itu organisasi didesain berdasarkan
kebutuhan, bukan kepentingan politik atau kelompok tertentu. Pada level hirarkhis diperlukan pemangkasan
yang memungkinkan jenjang struktural lebih pendek. Dalam jarak tertentu
dibutuhkan pendelegasian yang memungkinkan pelayanan lebih efisien dan efektif. Pada level horizontal dibutuhkan organ
fungsional yang lebih fleksibel dalam menjawab tuntas akar masalah yang
dihadapi. Dominasi aspek struktural
selama ini telah menciptakan kekakuan, selain membuang waktu dan biaya yang tak
sedikit. Panjangnya jalur hirarkhis
membuat setiap masalah terkesan basi ketika kembali pada masyarakat, bahkan
sulit bersentuhan langsung dengan para pengambil keputusan (decition maker).
Organisasi
sebaiknya disusun berdasarkan hasil analisis jabatan dan beban kerja, bukan
kompromi politik. Harus diakui bahwa
budaya penyusunan organisasi di daerah selama ini cenderung mempraktekkan
cara-cara penyusunan organisasi di tingkat pusat. Sistem pemilukada telah
menjebak kepala daerah untuk melakukan rekonstruksi organisasi pemda lewat
cara-cara resuhffle kabinet jilid
satu, dua dan seterusnya. Pola penjenjangan karier kurang diperhatikan, bahkan
hasil Baperjakat hanyalah unsur formalitas dalam penempatan personil pada
struktur organisasi pemda. Kasus pencopotan pejabat setingkat sekretaris daerah
dalam tempo singkat dan mutasi besar-besaran adalah contoh yang dapat diamati
dalam wilayah pemerintah daerah. Akibatnya, organisasi Pemda memperlihatkan
gejala obesitas yang sarat kepentingan politik para elit lokal sehingga sulit
bergerak mencapai tujuan. Praktis
organisasi dibentuk untuk menjawab kepentingan rezim berkuasa, bukan menjawab
masalah yang dihadapi masyarakat. Kondisi ini tidak saja berlaku di daerah,
namun dipraktekkan terang-benderang di level pusat melalui perluasan organisasi
pemerintahan. Potret tersebut terlihat tidak saja pada perluasan kementerian
departemen, namun tampak pada puluhan organisasi setingkat lembaga, badan dan komisi. Ironisnya, pengetatan organisasi agar lebih
ramping dan kaya fungsi diutamakan pada pemerintah daerah melalui kebijakan PP
No. 41 Tahun 2007, namun gagal melakukan efisiensi organisasi di level
organisasi pemerintah pusat. Melebarnya ukuran organisasi tanpa analisa
kebutuhan jabatan dan beban kerja membuat performance
organisasi pemda khususnya terkesan tambun dan statis. Ini bisa dipahami
jika dihubungkan dengan bertambahnya rekrutmen pegawai setiap tahun tanpa
pengendalian berdasarkan kompetensi. Rekrutmen pegawai tanpa kompetensi pada
akhirnya hanya akan menyerap besaran APBD yang tak sedikit guna meningkatkan
kecakapan dan keterampilan pegawai, disamping tersisihnya peluang bagi
rekrutmen pegawai yang memiliki kompetensi ideal seperti guru, analis
kebijakan, dokter, apoteker dan perawat. Postur organisasi Pemda yang mengalami
kegemukan tentu saja dapat menyedot belanja aparatur lebih besar dibanding
belanja pembangunan. Realitas ini dapat ditemukan pada sejumlah kabupaten
seperti Lumajang, Tasikmalaya, Sragen, Palu, Ambon dan Bitung misalnya, dimana
lebih dari 70% APBD habis untuk belanja aparatur (FITRA:2011).
Kedua,
diperlukan reformasi kapasitasi yang memadai guna meningkatkan kemampuan
aparatur dalam melayani masyarakat. Reformasi kapasitasi adalah upaya untuk
meningkatkan kemampuan sumber daya birokrasi dalam pelayanan agar mampu
mengimbangi dinamika masyarakat. Reformasi kapasitasi berkaitan dengan
kemampuan birokrasi baik secara individual maupun kelompok yang ditunjukkan
pada kemampuan menerjemahkan visi dan misi, program dan kegiatan. Pengembangan
kapasitas aparatur berfokus pada aspek pendidikan dan pengalaman yang akan
menentukan nilai profesionalisme birokrasi dihadapan masyarakat. Profesionalisme
sekurang-kurangnya ditunjukkan oleh sertifikasi pendidikan dari jenjang dasar
hingga jenjang yang lebih tinggi. Aspek tersebut diimbangi oleh segudang
pengalaman pada berbagai organisasi yang memiliki nilai dan kompetensi utama. Kedua aspek tadi setidaknya dapat membentuk
kemampuan individual, sekaligus pada saat yang sama mendorong kemampuan
kolektivitas birokrasi.
Rendahnya
pendidikan aparatur mengakibatkan kesenjangan antara mereka yang dilayani dan
mereka yang melayani. Kesenjangan ini
seringkali menimbulkan ketegangan sekaligus kecurigaan terhadap kinerja
birokrasi. Parahnya, tertutupnya kebijakan pengembangan pendidikan dan lahirnya
diskriminasi dalam pengembangan sumber daya di daerah melahirkan kasus jalan
pintas lewat indikasi ijazah palsu dan gelar pendidikan tanpa jelas
asal-usulnya. Untuk mengantisipasi hal itu diperlukan desain kebijakan reformasi
kapasitasi jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang diperlukan
pendidikan yang berbasis pada kebutuhan dan karakteristik organisasi pemerintah
daerah. Sebagai perbandingan,
daerah-daerah yang berbasis kompetensi kelautan, perikanan, pertanian dan jasa,
kiranya membutuhkan aparat yang menguasai sektor unggulan dimaksud. Ini penting
untuk mendorong perkembangan daerah lebih cepat dan kompetitif. Pembangunan berbasis keunggulan lokal
membutuhkan birokrasi yang mampu menjawab tantangan yang muncul. Dalam jangka panjang dibutuhkan aparatur yang
memiliki pengetahuan yang memadai guna penyusunan rencana kegiatan hingga
keterampilan mengimplementasikan suatu program secara efektif. Pada akhirnya, semakin tinggi kapasitas
pemerintah daerah semakin rendah pula resiko yang akan dihadapi dimasa
mendatang. Sebaliknya, semakin rendah
kapasitas pemerintah daerah, semakin tinggi resiko yang akan dihadapi.
Dampaknya, birokrasi dan pemerintah secara keseluruhan dapat kehilangan
kepercayaan masyarakat.
Dalam
jangka pendek, diperlukan desain kebijakan praktis, pertama, peningkatan insentif yang berfungsi mendorong spirit dan
kinerja birokrasi. Spirit tersebut
diarahkan untuk melahirkan nilai kompetitif sehingga mampu menciptakan keadilan
bagi birokrasi yang berprestasi. Keadilan dapat diterapkan melalui pembayaran
insentif berdasarkan penilaian kinerja birokrasi. Pemerataan selama ini hanya membuktikan bahwa
mereka yang kerja dan tidak, sama-sama mendapatkan perlakuan khusus. Fakta ini jelas kurang mendorong kompetisi serta
menciptakan ketidakadilan, termasuk menurunkan penghargaan bagi mereka yang
benar-benar memiliki profesionalisme. Pola penggajian dan insentif yang
bervariasi sebagaimana pernah diterapkan sejumlah pemerintah daerah seperti
Kabupaten Jembrana Provinsi Bali, menunjukkan dampak positif dalam mendorong kinerja
birokrasi.
Kedua, reformasi
birokrasi dalam jangka pendek hendaknya mampu menciptakan sistem internal yang dapat
mendorong secara perlahan tumbuhnya kesadaran birokrasi sebagai pelayan
masyarakat. Kesadaran yang terus meningkat hingga membuahkan inovasi,
kreativitas dan kemandirian hendaknya memperoleh penghargaan yang setimpal guna
mendorong semangat yang sama pada aparat yang lain. Demikian pula pola
penerapan sanksi dibutuhkan semaksimal mungkin dengan maksud pembinaan secara
proporsional. Penerapan sanksi bukanlah
tujuan akhir, jauh lebih penting dari itu adalah lahirnya dampak positif bagi
birokrasi untuk kembali pada tugas dan fungsinya masing-masing. Pembiaran
terhadap tumbuhnya kreativitas tanpa apresiasi dapat menurunkan semangat untuk
berkarya dan mengabdi pada organisasi.
Pada sisi lain membiarkan kelalaian birokrasi sama maknanya dengan
menyetujui sekaligus membolehkan kesewenang-wenangan dalam pelayanan
masyarakat. Oleh sebab itu harus dipahami bahwa penarapan reward and punishment memiliki arti strategis bagi organisasi,
yaitu mendorong berkembangnya birokrasi agar lebih disiplin dan
bertanggungjawab serta mampu merespon perkembangan masyarakat, sekaligus
melindungi birokrasi dari perilaku buruk aparatur yang berinteraksi didalamnya.
Ketiga,
diperlukan penataan sistem yang secara eksternal efektif dapat mengurangi
politisasi birokrasi yang dapat memecahkan konsentrasi aparatur dalam melayani
masyarakat. Lewat sistem yang ada, birokrasi sangat rentan diintervensi oleh
elit lokal guna memenuhi kepentingan
kelompok tertentu dalam sirkulasi kekuasaan.
Guna mengurangi kepentingan politik maka birokrasi sebaiknya mengambil
jarak untuk bersikap netral. Statement ini tentu saja tidak mudah
diperoleh dilapangan empirik, faktanya sebaliknya, birokrasi sulit menolak
ransangan para elit untuk berkoalisi memenangkan calon tertentu. Semua konsekuensi tersebut dilakukan tentu
saja berdasarkan transaksi minimum lewat jabatan-jabatan strategis dan
menggiurkan. Politisasi birokrasi membuat aparat menjadi bulan-bulanan elit
lokal. Mengambil jarak terlalu jauh
beresiko kehilangan jabatan, terlalu dekat sama artinya menceburkan diri dalam
ketidakpastian lebih beresiko, sebab itu diperlukan sistem eksternal yang dapat
membentengi birokrasi dari kepentingan politik yang berlebihan.
Keempat,
reformasi birokrasi dalam jangka pendek diarahkan pada upaya pencegahan (preventive) perilaku korupsi dalam tubuh
birokrasi. Sejauh ini, indeks persepsi korupsi di Indonesia belum berubah
sesuai catatan International Transparancy,
sebesar 2,8. Hal ini menunjukkan bahwa
perilaku buruk birokrasi perlu diperbaiki.
Korupsi merupakan kejahatan extra
ordinary sehingga membutuhkan upaya-upaya yang bersifat luar biasa.
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dimaksudkan untuk membantu pemerintah
dalam meminimalisasi gejala korupsi.
Bercermin pada China yang berani menerapkan tindakan tegas bagi pelaku
korupsi, maka dibutuhkan reformasi birokrasi yang mampu mencegah terjadinya
tindak pidana korupsi dilingkungan birokrasi pemerintahan. Korupsi bukanlah budaya positif yang tumbuh
pada masyarakat, sebab semua norma sosial termasuk agama tidaklah mentolerir
perilaku buruk semacam itu. Perlu dipahami bahwa sistem insentif sebagaimana
dikemukakan sebelumnya bukanlah jalan satu-satunya dalam mengurangi tindak
pidana korupsi. Perilaku birokrasi yang
korup cenderung termotivasi oleh pengaruh lingkungan serta tuntutan domestik. Berkaitan dengan reformasi birokrasi
diperlukan sistem yang mengikat secara ketat, disamping penerapan sanksi berat
dalam setiap tindakan yang disangkakan.
Tentu saja reformasi birokrasi dalam jangka panjang termasuk jangka
pendek sulit dilakukan tanpa dimulai dari perubahan budaya kerja kearah
positif. Perubahan budaya kerja yang diawali dari kebiasaan menanamkan
keseluruhan karakteristik pemerintahan yang baik diharapkan mampu menghasilkan birokrasi
yang dapat menjalankan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sebagai
abdi negara, birokrasi membutuhkan legitimasi de jure untuk menjalankan semua keputusan politik pemerintah. Sedangkan sebagai abdi masyarakat, birokrasi
membutuhkan legitimasi de facto
sebagai penyambung kepentingan kepada pemerintah yang berkuasa. Budaya kerja positif diharapakan tidak saja
menular pada pemerintah, demikian pula pada elemen masyarakat dan wiraswasta.
Bagian
ketiga
dari gagasan reformasi birokrasi berkenaan reformasi instrumentasi yang
mencakup penyiapan regulasi baik undang-undang di tingkat pusat hingga
peraturan pada level pemerintah daerah.
Reformasi instrumentasi berfungsi sebagai landasan kebijakan yang
bersifat legalistik-formal untuk menghindari tuntutan masyarakat terhadap
kinerja birokrasi. Landasan kebijakan
secara umum diharapkan mampu melindungi pemerintah dan segenap pemangku
kepentingan dalam lingkup good governance.
Dalam banyak kasus birokrasi seringkali dianggap gagal menyiapkan instrumen
bagi landasan pelayanan masyarakat. Gejala tersebut dapat dilihat pada sejumlah
hasil temuan BPK dimana pengeluaran anggaran pemerintah daerah khususnya
kehilangan landasan yuridis. Reformasi
instrumentasi pada tingkat teknis setidaknya dapat memperjelas mekanisme dan
prosedur pelayanan oleh birokrasi pemerintahan. Tanpa standar
operational procedure, birokrasi layaknya berjalan menggunakan insting dimana pada kondisi tertentu dapat
berbenturan dengan norma dan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, ketatnya mekanisme dan prosedur
dapat membentuk budaya birokratisme yang
pada gilirannya mendorong perilaku “melambung” (by pass) untuk mempercepat pelayanan. Situasi demikian seringkali menyuburkan
praktek suap, kolusi dan berkembangnya jaringan mafia dalam tubuh
birokrasi. Kendati dengan alasan
efisiensi, pada akhirnya menimbulkan masalah lebih kompleks yaitu ekonomi biaya
tinggi (high cost economy). Kasus
Bank Century, Wisma Atlit, surat palsu di Mahkamah Konstitusi hingga
Kemenakertrans adalah contoh gamblang dalam konteks terbentuknya jaringan mafia
birokrasi antara pemerintah, pemegang modal dan masyarakat biasa. Reformasi
instrumentasi diharapkan tidak hanya berkaitan dengan landasan hukum, mekanisme
dan prosedur, juga berhubungan dengan seperangkat alat baik sarana dan
prasarana yang memungkinkan birokrasi mampu mengembangkan dirinya dalam
memberikan pelayanan yang bermutu. Strategi
pelayanan jemput bola melalui penggunaan sarana dan prasarana yang tersedia
seperti teknologi informasi dan transportasi merupakan keseluruhan paket
reformasi instrumentasi dalam kerangka besar reformasi birokrasi dan
implementasi good governance.
Berkaitan dengan implementasi good governance, pemerintah pada dasarnya telah banyak melakukan
terobosan melalui berbagai regulasi yang memberikan peluang diterapkannya
karakteristik tata kelola pemerintahan yang baik. Salah satu contoh dapat
dilihat dalam kebijakan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana
prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan menjadi landasan penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, walaupun disadari belum sepenuhnya dapat dilaksanakan
secara baik. Contoh konkrit lain dapat dilihat dalam instrumen evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memuat sejumlah variabel dan indikator
sebagai refleksi dari tercapainya karakteristik tata kelola pemerintahan yang
baik, seperti landasan yuridis kebijakan serta tingkat partisipasi
masyarakat. Indikator lain yang bisa
diamati adalah persyaratan adanya SOP sebagai pedoman bagi setiap pemerintah
daerah dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya dilapangan. Pada
karakteristik transparansi misalnya, dilahirkannya regulasi tentang keterbukaan
informasi publik oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi menunjukkan komitmen pemerintah dalam
memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat. Karakteristik konsensus dilakukan melalui
upaya dokumentasi perencanaan APBN dan APBD sebagai bentuk kesepakatan bersama
antara eksekutif dan legislatif yang notabene dipilih dan mewakili masyarakat
itu sendiri. Pengembangan kesetaraan sebagai bagian dari karakteristik tata
kelola pemerintahan yang baik dapat dilihat dalam mekanisme pemilihan pemimpin
politik yang ramah gender serta
terbuka bagi setiap warga negara menurut batasan konstitusi dan undang-undang. Karakteristik efisiensi dan efektivitas
merupakan prinsip yang senantiasa diakomodir dalam undang-undang pemerintahan
daerah termasuk peraturan yang menjadi turunannya, terlepas bahwa prinsip
tersebut masih sering dilanggar oleh pemerintah daerah. Karakteristik visi strategis menjadi syarat
mutlak bagi setiap kandidat pemimpin pemerintahan ketika mencalonkan diri
sebagai pejabat publik. Strategi ini dilakukan melalui persyaratan fit and proper test yang dilakukan pada
sejumlah calon pejabat setingkat kepala daerah maupun pimpinan lembaga, badan
dan komisi. Prinsip akuntabilitas dapat dilihat pada sejumlah instrument
pertanggungjawaban seperti PP No.3/2007 tentang Pertanggungjawaban Kepala
Daerah yang meliputi LPPD, LKPJ dan LIPD.
Prinsip ini mengalami perkembangan sejak lahirnya lembaga yang berfungsi
melakukan evaluasi serta pengawasan baik secara internal, eksternal,
fungsional, politik maupun pengawasan publik. Penyampaian laporan perkembangan harta
kekayaan yang dimiliki oleh setiap pejabat publik mencerminkan diterapkannya
prinsip akuntabilitas dan tranparansi. Bahkan, pencanangan pendidikan karakter
sejak usia dini oleh Kementrian Pendidikan Nasional merupakan terobosan jangka
panjang dalam upaya menanamkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan,
tanggungjawab, tranparansi, kesetaraan, dan akuntabilitas. Kesemua itu merupakan modal dasar dalam
rangka penumbuhan, pengembangan dan implementasi karakteristik good governance.
Daftar Pustaka
Duverger,
Maurice, 1998. The Study of Politics
(Terjemahan), Rajawali Pers, Jakarta
Dwiyanto,
Agus, 2011. Reformasi Birokrasi,
Gramedia Pustaka Utama
Effendy,
Khasan, 2010. Sosiologi Pemerintahan,
CV. Indra Prahasta, Bandung
Gerth,
H dan Mills, C.W (1946) From Max
Weber:Essays in Sociology, New York.
Istianto,
Bambang, 2010. Demokratisasi Birokrasi,
STIAMI, Jakarta
Jones, Pip,
2010. Introducing Social Theory, (terjemahan), Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta
Kuper,
Adam dan Jessica Kuper, 2000. Ensiklopedi
Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafindo, Jakarta
Laski, H, Bureaucracy dalam Encyclopaedia of the Social Sciences, volume 3, New York dan
London.
Martin
Albrow dalam Donald P.Warwick, Theory of
Public Bureucracy, Cambridge Massachussets, Harvard Universty Press.
Martin,
Roderick, 1993. Sosiologi Kekuasaan,
Rajawali 1Pers, Jakarta
Max
Weber dalam Martin Albrow (Terj), 1996. Birokrasi,
Yogyakarta, Tiara Wacana
Michaels, R, Political Parties, New York, 1962.
Muhammad,
Fadel, 2007, Reformasi Birokrasi
(Gorontalo), Makalah
N.Haass,
Richard, 2005. The Bureaucratic
Entrepreneur (terjemahan), Ina Publikatama, Jakarta
Rahardjo,
Satjipto, 2010. Membedah Hukum Progresif.
Kompas, Jakarta
Sanderson,
Stephen K, 2000. Macrosociology,
(terjemahan), Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soekanto,
Soerjono, 2001. Sosiologi Suatu Pengantar.
Rajawali Pers, Jakarta
Setiono, Budi,
2002. Jaring Birokrasi, Tinjauan dari
Aspek Politik dan Administrasi, Gugus Press, Bekasi
Dino
Patti Djalal, Harus Bisa, Seni Memimpin
SBY, Red and White Publishing, 2008, Jakarta
Sudirman,
2009. Praktek Birokrasi Weberian di
Indonesia, Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Vol.XXXV No.1 Tahun,
Jakarta
Tjokrowinoto, dkk, 2001. Birokrasi dalam Polemik, Pustaka
Pelajar, Unismuh, Malang
Toha, Miftah,
1999. Demokrasi dalam Birokrasi
Pemerintah, Peran Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi. Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Fisipol UGM.
Ackermen-Susan
Rose, 2000, Corruption and Government
Causes, Consequences, And Reform, Cambridge University Press
Aini, Nurul, 2000, Bahan
Ajar Sistem Politik Indonesia, IIP Press, Jakarta
Blau, Peter
M, 2000, Bureaucracy in Modern Society
(terj), Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Dahl, Robert
A, 1982, Dilemma Of Pluralist Democracy,
New haven and London, Yale University Press
Haris, Jhon, 2004, Politicising
Democracy, Palgrave, Macmillan ltd
Haris, 2006, Politik
Organisasi, Perspektif Mikro Diagnosa Psikologis, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Istianto,
Bambang, 2011. Demokratisasi Birokrasi,
Mitra Wacana Media, Jakarta
Koswara, 2004, Otonomi
dan Pemerintahan Daerah, IIP-Press
Rasyid,
Ryaas, 1999, Pemerintahan Yang Amanah,
Yayasan Bina Pembangunan, Jakarta
Sorenson,
Georg, 1993, Democracy and
Democratization, Precesses and Prospects in Changing World, Westview Press
Setiono, Budi, 2002, Jaring
Birokrasi, Gugus Press, Bekasi
Subagyo,
Untung, 2006, Reformasi Birokrasi,
Terobosan Otonomi Satu Tingkatan, (Makalah), LPM-IIP, Jakarta
Suwandi, 2004, Makalah, Pembagian Kewenangan Menurut UU 32 Tahun 2004, PKSP, Jakarta
Tjokrowinoto, Moeljarto, dkk, 2004, Birokrasi
Dalam Polemik, Pusataka Pelajar, Yogyakarta
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol.XXXII No.3 Tahun
2006, Jakarta, hal 209-22
Republika,
Agustus 2011, Jakarta
[1] Dosen tetap pada Pasca
Sarjana Institut
Pemerintahan Dalam Negeri Cilandak dan
Unlam Banjarmasin Jurusan Ilmu Pemerintahan, Direktur Eksekutif Pusat Kajian
Strategik Pemerintahan.
Email:
muhadamlabolo@yahoo.com
[2] Martin Albrow dalam
Donald P.Warwick, Theory of Public
Bureucracy, Cambridge Massachussets, Harvard Universty Press.
[3] Adam
Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi
Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafindo, Jakarta, 2000, hal.74-75.
[4] Laski, H,
Bureaucracy, dalam Encyclopaedia of the
Social Sciences, volume 3, New York dan London.
[6] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas,
Jakarta, 2010.
Komentar
Posting Komentar