Belanja Pemerintah Daerah yang Tak Terkontrol
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Dalam catatan tempo hari saya telah
menggambarkan tingginya ongkos tukang (belanja aparatur) dibanding belanja
pembangunan (belanja publik) pada sampel 124 kabupaten/kota menurut analisis
NGO Fitra. Bahkan, seandainya hasil
analisis tersebut mewakili realitas yang sesungguhnya, artinya belanja tukang
di level pemerintah daerah benar-benar teramat boros. Kalau benar Kabupaten Lumajang merupakan
pemerintah daerah paling boros dengan angka 83 persen habis untuk biaya tukang,
itu berarti APBD dominan dinikmati oleh 2 persen kelompok birokrasi, mulai dari
puncak hirarkhi hingga pegawai honor daerah (Honda). Maka sisa APBD sebesar 17 persen praktis
menetes pada 98 persen masyarakat luas.
Selain itu, asumsi tadi menggambarkan betapa konsumtifnya birokrasi yang
hanya berjumlah 2 persen rata-rata dari total penduduk di daerah tersebut
ketika menghabiskan 83 persen dari proporsi APBD. Sementara yang 98 persen hidup miskin
memperebutkan sisa APBD sebesar 17 persen. Logika sederhana itu menunjukkan
betapa tingginya kesenjangan antara pemerintah daerah dengan rakyatnya,
sekaligus menunjukkan betapa rendahnya nilai keadilan dalam penganggaran di
daerah. Dengan asumsi yang sama, kita bisa membayangkan redistribusi APBD Kota
Palu yang termasuk salah satu daerah paling boros dari aspek belanja pegawai. Kalau belanja pegawai Kota Palu sebesar 71
persen dari total APBD tahun 2011 (Republika, 5 Juli 2011,hal.1), maknanya ada
2 persen dari kelompok birokrasi yang menikmati APBD secara konsumtif,
sedangkan 98 persen masyarakat Kota Palu hanya mengais sisa APBD sebesar 29
persen. Yang aneh, melonjaknya ongkos
tukang tidak saja menerpa kabupaten/kota yang jauh dari prestasi pengelolaan
pemerintahan daerah selama 5 tahun terakhir ini. Daerah yang sering disebut memiliki prestasi
luar biasa dan menjadi pilot project
dalam efisiensi pelayanan seperti Kabupaten Sragen ternyata mengidap penyakit
yang sama, dimana 70 persen APBD habis untuk belanja aparatur. Selain itu tentu saja terdapat Kabupaten
Simalungun (72%), Agam (72%), Padang Sidempuan (70%), Pemalang (70%), Kuningan
(71%), Purworejo (70%), Klaten (70%), Karanganyar (75%), Bantul (71%), dan Kulonprogo
(71%). Untuk sampel kota dapat dilihat
kenaikan belanja aparatur seperti Kota Tasikmalaya (70%), Ambon (73%) dan
Bitung (70%). Pertanyaan yang muncul
adalah mengapa biaya aparatur yang hanya 2 persen dari total penduduk di satu
daerah mampu menyerap APBD lebih besar dari 98 persen penduduk yang dilayani? Mengapa mereka yang semestinya dilayani
dengan jumlah yang lebih banyak justru memperoleh alokasi yang lebih kecil?
Sangat jelas bahwa gambaran diatas memperlihatkan kondisi ketimpangan dan
ketidakadilan dalam pola penganggaran di daerah. Jika pertanyaan diatas perlu dijawab, maka
yang mesti ditelusuri adalah seberapa besar biaya yang dibutuhkan oleh
birokrasi yang 2 persen tadi untuk melayani yang 98 persen selaku pemilik saham
utama dalam pemerintahan? Dalam konteks
ini perlu dilihat aspek kuantitas dan kualitas birokrasi itu sendiri. Apakah jumlah birokrasi sebesar 2 persen pada
setiap daerah telah melampaui rasio pelayanan, sebagaimana rasio pelayanan
antara polisi dan masyarakat. Ini
penting dijawab tidak saja oleh Pemerintah Daerah masing-masing, demikian pula
oleh Kementrian Keuangan, Kemendagri dan Kemenpan-Reformasi Birokrasi. Kalau rasio birokrat dengan masyarakat yang
dilayani terpenuhi, maka kebijakan yang mesti diambil adalah menjaga agar
jumlah birokrat di daerah tetap ideal antara yang pensiun dan rekrutmen baru.
Dengan demikian maka prinsip zero growth
dapat diterapkan, selain melakukan kebijakan ketat distribusi birokrat pada
sebagian daerah di Jawa yang mengalami kelebihan pada daerah luar Jawa hasil pemekaran
yang mengalami kelangkaan sumber daya aparatur. Hal ini untuk menjaga keseimbangan, serta
mengisi kekosongan jabatan pada sebagian besar organisasi pemerintah daerah
hasil pemekaran. Kalau dari sisi kuantifikasi (jumlah pegawai) dapat diminimalisasi
melalui kebijakan zero growth dan moratorium, maka dari aspek kualifikasi
birokrasi diperlukan identifikasi riil berapa kebutuhan setiap birokrat dalam
setiap jabatan mulai dari tukang potong rumput dihalaman kantor sampai SPPD
seorang kepala daerah. Dengan mengurai
tugas pokok masing-masing pejabat fungsional umum hingga pejabat struktural,
kita dapat menentukan berapa besar belanja tukang pada setiap entitas pemerintah
daerah. Selama ini, kelemahan pemerintah
daerah adalah jarang melakukan analisis jabatan serta analisis beban kerja
untuk mengukur ongkos pengeluaran.
Akibatnya, belanja aparatur benar-benar kehilangan kontrol, alias boros.
Patologi lain seperti pembengkakan size
organisasi yang terkesan di sengaja, mengakibatkan rekrutmen pegawai untuk
mengisi sejumlah posisi menjadi trend
di berbagai daerah. Pengisian jabatan
fungsional umum seperti pengantar surat, pengetik, sopir hingga cleaning service mengalami perluasan
hingga bertumpuk di sudut-sudut warung dilingkungan pemerintah daerah. Sementara sebagian besar birokrat
bersertifikat sarjana muda hingga sarjana lengkap alergi menyentuh jabatan fungsional umum. Semuanya ingin
mendapatkan jabatan struktural, agar kelihatan prestisius sekaligus dapat mengendalikan
staf honorer. Ketiadaan
analisis beban kerja secara umum telah mendorong setiap pejabat birokrasi
mendesain anggaran berdasarkan selera masing-masing. Asumsinya, semakin besar
biaya yang dapat dianggarkan semakin besar pula peluang untuk memperoleh
keuntungan pada setiap aktivitas program dan kegiatan. Tingginya nafsu menghabiskan anggaran tanpa analisis
kebutuhan yang jelas di dorong oleh kompetisi konsumtif akibat tekanan
lingkungan, baik individual, keluarga hingga kepentingan kelompok tertentu. Contoh
paling mudah ditemukan adalah pola penganggaran biaya perjalanan dinas oleh
setiap pejabat struktural dimasing-masing SKPD. Seseorang yang duduk di eselon tiga
Pemda Kabupaten/Kota bisa berkali-kali menghabiskan anggaran dengan alasan
rupa-rupa seperti konsultasi, koordinasi, rapat dan diklat. Semakin tinggi jabatan dan eselon yang
diduduki semakin tinggi pula frekuensi perjalanan dinas. Ini berakibat pada penyerapan belanja
aparatur yang tak terkirakan besarnya.
Bahkan, semakin jauh orbitasi daerah dengan pusat pemerintahan semakin
besar pula biaya yang akan dianggarkan.
Dalam kaitan ini, pemerintah seharusnya mendesain kebijakan yang memaksa
pemerintah daerah untuk mengontrol kebutuhan masing-masing agar lebih
efisien. Harus ada patokan agar belanja
aparatur dapat dibatasi. Ini dapat
dilakukan dengan memaksa daerah agar disiplin menghitung kembali berapa
kebutuhan biaya riil yang mesti dialokasikan pada masing-masing jabatan. Ironis rasanya jika APBD Provinsi Banten tahun 2011 yang hanya 1,3 triliun
nekat menganggarkan tunjangan eselon satu hingga sebesar 50 juta, dibanding
Provinsi Jawa Timur yang memiliki APBD sebesar 5 triliun. Pada sisi lain, pemerintah seharusnya lebih serius menjadikan
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) sebagai basis data dalam
pengambilan kebijakan berikutnya.
Sekedar mengumumkan sepuluh besar terbaik dan sepuluh besar terburuk setiap
tahun tanpa dibarengi punishment dan reward yang tegas, membuat daerah terkesan
ogah memperbaiki kinerja dengan
menggenjot produktivitas birokrasinya.
Mengapa produktivitas birokrasi di daerah mesti digenjot? Tentu saja sangat beralasan, sebab merekalah
yang paling banyak menikmati APBD selama ini dibanding masyarakat. Kalau birokrasi di daerah sudah menghabiskan
lebih dari separoh APBD, lalu cara dan bentuk macam
apakah yang lebih pantas untuk meminta pertanggungjawaban moralitas mereka,
selain menggenjot kinerjanya agar benar-benar produktif dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Saya kira,
hanya inilah alasan yang dapat kita terima lewat akal sehat, guna mengobati
sakit hati yang teramat perih, akibat ketidakadilan belanja aparatur yang boros
dibanding belanja pembangunan untuk masyarakat.
Saya cukup optimis sekiranya komitmen ini ditransformasikan lewat revisi
undang-undang pemerintahan daerah, sekaligus undang-undang perimbangan keuangan
pusat-daerah yang selama ini tak pernah terkoreksi sama sekali.
Komentar
Posting Komentar