Nurani Pemerintahan
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Kalau anda mendapati di suatu daerah
rakyat tak sudi lagi membayar pajak, membangkang terhadap setiap kebijakan yang
dikeluarkan pemerintahnya, tak peduli dengan aktivitas pemerintahan, bahkan
sensitif terhadap semua pendekatan yang dilakukan, maka pemerintah yang baik
seharusnya paham bahwa terdapat masalah krusial yang selama ini mendekam di
tengah-tengah masyarakat. Sikap apatis
yang diperlihatkan sebenarnya adalah pesan positif (early warning) sebelum terjadi amuk massa sebagai ekspresi
ketidakpuasan yang paling esktrem.
Pemerintah yang buruk seringkali menilai pembangkangan sipil sebagai ancaman
yang mesti ditiadakan. Satu-satunya pilihan menciptakan kepatuhan sipil adalah
dengan cara menekan lewat berbagai bentuk kekerasan. Maka jangan salahkan kalau kekerasan
pemerintah selama ini menular secara endemik pada komunitas masyarakat. Pemerintah seringkali menjadi contoh pelaku
kekerasan yang paling konkrit. Perilaku
diam rakyat adalah simbol dari pesan yang ingin disampaikan. Pesan simbolik
demikian semestinya diterjemahkan kedalam bahasa mereka tentang apa kemauan
yang selama ini mereka inginkan, bukankah pemerintah dipilih dengan maksud
menjalankan amanah mereka, bukan sekedar melaksanakan aturan. Saya pikir, kalau
pemerintah sekedar melaksanakan aturan tanpa memahami keinginan nyata, maka
pemerintah sesungguhnya telah kehilangan hati nuraninya. Pemerintah bukan robot yang dapat di kontrol semata-mata
lewat regulasi secara ketat. Pemerintah membutuhkan kearifan atau kebijaksanaan
sesuai karakter lokal supaya mampu memahami kemauan masyarakat. Disinilah makna pemerintahan, dimana gejala
sosial tak melulu diselesaikan lewat aturan yang kadang tak sesuai dengan
karakteristik lokal. Dibutuhkan kearifan
lokal sejauh menyangkut kepentingan orang banyak tanpa berbenturan dengan
kebijakan pemerintah. Apakah bisa ? Mengapa
tidak? Hanya saja kita membutuhkan kepemimpinan yang berpandangan luas, penuh
wawasan, berpengalaman, berkarakter, negawaran serta berorientasi kebawah. Lihat
saja kasus di beberapa daerah di Indonesia dewasa ini, pemerintah daerah
seringkali menutup mata dan telinga terhadap keinginan masyarakat. Bahkan, untuk menjawab pertanyaan masyarakat,
respon dalam bentuk statement paling
enteng adalah mengalihkan persoalan sebagai tanggungjawab pemerintah
pusat. Masyarakat yang bodoh dibuat
frustasi, padahal tanpa sadar mereka telah dibohongi, sebab lewat otonomi
sebagian besar kewenangan pemerintah telah berpindah ke daerah. Konsekuensinya, pemerintah daerah semestinya
paham apa yang mesti dilakukan dengan kewenangan yang dimiliki untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat. Cara
lain melempar tanggungjawab adalah dengan menekan kelompok-kelompok masyarakat supaya
muncul rasa takut yang berlebihan hingga tak berani menyampaikan aspirasi. Perilaku otoriter pemerintah daerah demikian
menunjukkan buruknya pengetahuan tentang pemerintahan, bahkan sebuah cara
memerintah yang tak populer lagi sejak kejatuhan rezim Soeharto. Parahnya,
dibeberapa daerah hal semacam ini masih dapat kita temukan, seperti sebuah
kerajaan kecil di tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Marah pada rakyat,
sama artinya menutupi kebodohan pemerintah untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi, sebab tugas pemerintah adalah menyelesaikan masalah, bukan menjadi
sumber masalah. Benci pada rakyat sama dengan membenci demokrasi. Tinggal
membedah mana aspirasi rakyat yang masih berbentuk sampah, dan mana aspirasi positif
yang sepatutnya dapat di telan mentah-mentah kalau perlu. Pada saat yang sama, para
penguasa di daerah seringkali seringkali mempertontonkan penggunaan fasilitas
negara untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan kepentingan politik
praktis. Ini melukai hati nurani rakyat banyak. Contoh nyata adalah penggunaan
kenderaan dinas untuk kepentingan pribadi dan keluarga secara telanjang,
rekayasa tender yang menguntungkan kelompoknya, pencopotan para pejabat birokrasi
dari eselon puncak hingga bawahan yang tak jelas dosa dan kesalahannya,
mobilisasi pendukung di jajaran birokrasi untuk memuluskan kemenangan dalam
rangka Pilkada, bahkan penggunaan kekerasan latent
untuk menekan aspirasi kelompok masyarakat yang di pandang sebagai ancaman. Para
penguasa di daerah seperti kehilangan akal dan rasa malu, bahkan jauh dari
etika pemerintahan. Mereka tak
berpengalaman mengelola dinamika demokrasi.
Akibatnya, cara-cara cut off
dipandang lebih efektif daripada melakukan pembinaan pada bawahan. Semua
tindakan terkesan politis dalam rangka melindungi kepentingan penguasa, bukan
untuk kepentingan masyarakat setempat.
Disisi lain, media massa lokal sebagai bagian dari civil society yang berfungsi mengontrol penguasa dan menyampaikan
kepentingan masyarakat masih banyak yang bersikap diskriminatif. Tengok saja bagaimana kasus-kasus yang
terjadi di daerah, pemberitaannya sangat bergantung pada seberapa besar subsidi
yang diterima. Kalau kelompok masyarakat
yang bersikap destruktif dan marah, beritanya menjadi headline selembar halaman penuh, tapi cobalah tengok kalau penguasa
di daerah yang bersikap arogan, destruktif dan marah karena lalai dalam
melindungi kepentingan masyarakat seperti kebakaran pasar, jalanan hancur,
tersangka melarikan diri dari penjara, rumah sakit kekurangan oksigen, koruptor
lepas, sebagian media massa lokal tiarap. Media massa lokal seakan kehilangan
semangat artikulasinya di depan publik.
Kalau sudah demikian, penguasa di daerah yang jauh dari kontrol
pemerintah pusat semakin bersikap otoriter, koruptif, nepotis dan kolutif,
sebab pengawasan lembaga-lembaga sosial, perguruan tinggi dan media massa lokal
tak berfungsi sama sekali. Padahal, kepada mereka kita berharap lebih netral
dan kritis untuk mengawal demokratisasi di tingkat lokal. Bukankah ini merupakan
salah satu makna penyelenggaraan otonomi daerah?
Komentar
Posting Komentar